Karya Rasya Ramadhani (Siswa SMAN 1 Lhokseumawe)
Hujan terus mengguyur, membasahi bumi Serambi Mekah yang kini berubah menjadi lautan luas. Sungai-sungai meluap, menyapu bersih rumah-rumah warga yang berdiri di tepinya. Aisyah berdiri sendirian di atas genteng rumahnya yang hampir tenggelam, menatap banjir yang merendam kampung halamannya. Ia memeluk erat tas berisi kenangan masa kecil, sementara air mata terus mengalir deras.
"Ayah, Ibu, di mana kalian?" teriaknya, suaranya tenggelam dalam gemuruh air. Ia mencari-cari kedua orang tuanya, tapi tak ada jawaban. Yang ada hanya air dan lumpur yang terus naik.
Banjir besar ini bukan hanya menghancurkan rumah-rumah, tapi juga menghancurkan harapan. Aisyah kehilangan banyak hal: rumah, kenangan, dan mungkin juga orang-orang yang dicintainya. Ia merasa sendirian di dunia yang kini begitu hampa.
Di pengungsian, Aisyah bertemu dengan banyak orang yang juga kehilangan segalanya. Mereka semua terpisah dari keluarga mereka, dan kini hanya bisa berharap bahwa orang-orang yang mereka cintai masih hidup. Aisyah melihat seorang nenek tua yang kehilangan cucu satu-satunya, melihat seorang ayah yang kehilangan istri dan anaknya. Ia melihat luka-luka yang tak hanya fisik, tapi juga mental.
Aisyah merasa tak berdaya, tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan berdoa. Ia berdoa agar orang tuanya masih hidup, agar dia tidak sendirian di dunia ini. Tapi, doa-doa itu tak kunjung terjawab.
Hari-hari berlalu, dan air mulai surut. Aisyah kembali ke rumah, atau lebih tepatnya, ke tempat di mana rumahnya dulu berdiri. Yang tersisa hanya puing-puing dan lumpur. Ia menangis keras, merasa kehilangan yang tak terperi.
Tiba-tiba, ia mendengar suara yang familiar. "Aisyah, Aisyah!" Suara itu semakin dekat, dan Aisyah melihat sosok ibunya berlari menuju ke arahnya. "Ibu!" teriak Aisyah, berlari menuju ibunya dan memeluknya erat.
"Aku selamat, Nak. Ayah juga selamat," kata ibunya, sambil menangis bahagia.
Aisyah merasa seperti terbangun dari mimpi buruk. Ia memeluk ibunya erat, merasa bahagia yang tak terperi. Mereka berdua berjalan menuju tempat pengungsian, berharap ayahnya sudah menunggu di sana.
Saat mereka tiba, Aisyah melihat ayahnya sedang menunggu dengan senyum lebar di wajahnya. "Ayah!" teriak Aisyah, berlari menuju ayahnya dan memeluknya erat.
Mereka bertiga bersatu kembali, menangis bahagia dan bersyukur atas keselamatan mereka. Aisyah tahu bahwa hidup akan terus berjalan, dan mereka akan menghadapi tantangan bersama-sama. Mereka akan membangun kembali rumah mereka, membangun kembali hidup mereka. Dan Aisyah tahu bahwa cinta dan kasih sayang akan selalu menjadi kekuatan mereka.
Lhokseumawe 06 Desember 2025
Editor : Hamdani Mulya

0 facebook:
Post a Comment