Oleh Hamdani Mulya
lamurionline.com -- Sejarah adalah cermin yang tak pernah retak, meski waktu terus menggoreskan garis-garis baru di permukaannya. Aceh, tanah yang pernah diguncang oleh tragedi tsunami 2004, kini kembali menorehkan kisah pilu melalui banjir besar yang melanda pada akhir November 2025. Dua peristiwa ini, meski berbeda bentuk, memiliki benang merah yang sama, keduanya adalah peringatan alam, sekaligus ujian bagi manusia untuk menakar daya tahan, kebijaksanaan, dan solidaritas.
Refleksi akhir tahun ini bukan sekadar catatan tentang bencana, melainkan sebuah renungan mendalam tentang hubungan manusia dengan alam, tentang sejarah yang berulang, dan tentang masa depan yang menuntut kesiapan. Dalam bahasa sastra ilmiah, kita mencoba menyingkap makna di balik gelombang dan genangan, menimbang antara luka lama dan luka baru, serta merajut harapan di tengah ketidakpastian.
Tsunami Aceh 2004 Luka Kolektif yang Tak Pernah Hilang
Tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 adalah salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Gelombang besar yang lahir dari gempa berkekuatan 9,1 skala Richter di Samudra Hindia itu menelan ratusan ribu jiwa, meruntuhkan kota, dan meninggalkan trauma yang membekas hingga kini.
Dimensi Kehilangan. Tidak hanya rumah dan harta benda yang hilang, tetapi juga keluarga, sahabat, dan masa depan yang telah direncanakan.
Dimensi Sosial. Tsunami mengubah wajah masyarakat Aceh. Dari konflik bersenjata yang sebelumnya membayangi, tiba-tiba muncul solidaritas global yang mengalir ke tanah Serambi Mekkah.
Dimensi Spiritual. Banyak yang menafsirkan tsunami sebagai teguran, sebagai panggilan untuk kembali pada nilai-nilai ajaran agama.
Tsunami 2004 adalah luka kolektif yang tidak pernah benar-benar sembuh. Ia menjadi bagian dari identitas Aceh, sebuah kenangan yang terus hidup dalam cerita, monumen, dan doa.
Banjir Aceh 2025 Luka Baru di Tanah yang Sama
Dua puluh satu tahun setelah tsunami, Aceh kembali diguncang oleh bencana besar: banjir yang melanda pada akhir tahun 2025. Hujan deras yang turun tanpa henti, ditambah dengan kerusakan hutan dan buruknya tata kelola lingkungan, menyebabkan sungai-sungai meluap dan menenggelamkan pemukiman.
Dimensi Ekologis. Banjir ini adalah buah dari ketidakseimbangan ekosistem. Penebangan hutan, alih fungsi lahan, dan lemahnya pengawasan lingkungan menjadi faktor utama.
Dimensi Sosial-Ekonomi. Ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian rusak, dan aktivitas ekonomi lumpuh.
Dimensi Psikologis. Trauma lama kembali terkuak. Banyak yang merasa seakan-akan sejarah berulang, meski dalam bentuk yang berbeda.
Banjir Aceh 2025 bukan hanya peristiwa alam, melainkan juga cermin dari kelalaian manusia. Jika tsunami adalah takdir yang datang tanpa bisa dicegah, maka banjir adalah akibat dari pilihan-pilihan yang salah dalam mengelola alam.
Antara Tsunami dan Banjir, Benang Merah Refleksi
Mengapa kita perlu membandingkan tsunami 2004 dengan banjir 2025? Karena keduanya adalah dua wajah dari satu kenyataan, kerentanan manusia di hadapan alam.
1. Kesamaan dalam Kehilangan
a. Tsunami dan banjir sama-sama merenggut nyawa, harta, dan harapan.
b. Keduanya meninggalkan trauma yang mendalam.
2. Perbedaan dalam Sebab
a. Tsunami lahir dari gempa tektonik, sebuah fenomena geologi yang tak bisa dikendalikan manusia.
b. Banjir lahir dari kombinasi hujan ekstrem dan kerusakan lingkungan, yang sebagian besar adalah ulah manusia.
3. Pelajaran yang Sama
a. Kesiapsiagaan adalah kunci.
b. Solidaritas sosial adalah penyelamat.
c. Hubungan manusia dengan alam harus dibangun atas dasar keseimbangan, bukan eksploitasi.
Refleksi Akhir Tahun, Menimbang Makna
Akhir tahun adalah saat yang tepat untuk menengok ke belakang, menimbang apa yang telah terjadi, dan merancang langkah ke depan. Dari tsunami dan banjir, kita belajar bahwa:
Alam adalah Guru. Ia mengajarkan tentang keterbatasan manusia, tentang pentingnya kerendahan hati.
Sejarah adalah Peringatan. Luka lama tidak boleh dilupakan, karena ia bisa menjadi panduan untuk mencegah luka baru.
Solidaritas adalah Kekuatan. Dalam setiap bencana, yang menyelamatkan bukan hanya bantuan material, tetapi juga rasa kebersamaan.
Refleksi ini bukan sekadar catatan akademik, melainkan juga panggilan moral. Aceh, dengan segala luka dan harapannya, adalah simbol dari perjuangan manusia untuk bertahan, belajar, dan bangkit.
Sastra Ilmiah sebagai Medium Refleksi
Mengapa menggunakan bahasa sastra ilmiah? Karena bencana bukan hanya data dan angka, melainkan juga rasa dan makna. Sastra memberi ruang bagi emosi, sedangkan ilmu memberi kerangka bagi analisis.
Sastra. Menghidupkan pengalaman, memberi warna pada luka, dan menyalakan harapan.
Ilmu. Menjelaskan sebab, menimbang akibat, dan menawarkan solusi.
Dalam perpaduan keduanya, kita menemukan refleksi yang utuh, refleksi yang menyentuh hati sekaligus menajamkan pikiran
Harapan untuk Masa Depan
Dari tsunami dan banjir, kita belajar bahwa masa depan Aceh harus dibangun dengan:
Kebijakan Lingkungan yang Tegas. Hutan harus dijaga, sungai harus dirawat, dan tata ruang harus diperhatikan.
Kesiapsiagaan Bencana yang Sistematis. Pendidikan kebencanaan harus menjadi bagian dari kurikulum, sistem peringatan dini harus diperkuat.
Solidaritas Sosial yang Berkelanjutan. Bukan hanya saat bencana, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan ini bukan sekadar mimpi, melainkan sebuah keharusan. Karena tanpa perubahan, sejarah bisa saja berulang dengan wajah yang berbeda.
Penutup
Antara tsunami 2004 dan banjir 2025, Aceh telah menorehkan dua babak besar dalam sejarah bencananya. Keduanya adalah luka, tetapi juga pelajaran. Refleksi akhir tahun ini adalah ajakan untuk tidak melupakan, untuk tidak mengabaikan, dan untuk tidak menyerah.
Aceh adalah simbol dari keteguhan manusia di hadapan alam. Dari gelombang hingga genangan, dari kehilangan hingga harapan, dari luka hingga doa—semua berpadu dalam satu narasi, narasi tentang manusia yang terus belajar dari sejarah, dan terus berusaha merajut masa depan.
Aceh Utara-Lhokseumawe, 10 Desember 2025
Riwayat Penulis
Hamdani Mulya Guru SMAN 1 Lhokseumawe. Lahir di desa Paya Bili, Kec. Meurah Mulia, Kab. Aceh Utara 10 Mai 1979. Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Syiah Kuala (USK). Karya Hamdani Mulya dipublikasikan di harian Serambi Indonesia, Kutaradja, Waspada, Haba Rakyat, Majalah Fakta, Santunan Jadid, Seumangat BRR, Meutuah Diklat, dan Jurnal Al-Huda.
Puisinya juga terkumpul bersama penyair Indonesia dalam buku antologi puisi Dalam Beku Waktu (2003), Paru Dunia (2016), Yogja dalam Nafasku (2016), Aceh 5:03 6,4 SR (FAM 2017), dan Gempa Pidie Jaya (2017). Alamat email tengkuhamdani@yahoo.com. Selain menulis puisi dan cerpen Hamdani Juga menulis artikel pendidikan, sejarah, dan esai bertema lingkungan.

0 facebook:
Post a Comment