Oleh: Tgk. Avicenna Al Maududdy, M.Hum
Dosen Tetap Prodi Pengembangan Masyarakat Islam di Universitas Islam Al-Aziziyah (UNISAI) Samalanga, Kabupaten Bireun, Aceh

Sejarah Aceh tidak pernah sunyi dari perlawanan. Dari medan jihad melawan Portugis dan Belanda, hingga pergulatan politik dalam negara-bangsa Indonesia, Aceh selalu hadir sebagai wilayah dengan kesadaran sejarah, identitas, dan kedaulatan yang kuat. Namun justru karena kekuatan historis itulah, Aceh kerap ditempatkan dalam posisi yang problematik oleh kekuasaan pusat. Salah satu kritik paling tajam atas relasi timpang tersebut datang dari Hasan Muhammad di Tiro melalui karyanya Atjeh Bak Mata Donja (Aceh di Mata Dunia) yang terbit pada tahun 1968. Buku ini bukan sekadar catatan emosional seorang anak Aceh yang kecewa, melainkan sebuah gugatan historis dan politik terhadap sentralisme Jawa yang meminggirkan Aceh dari hak-hak dasarnya sebagai bangsa yang pernah berdaulat.

Hasan Tiro menulis Atjeh Bak Mata Donja pada konteks pasca kemerdekaan Indonesia, ketika harapan Aceh untuk mendapatkan posisi terhormat dalam republik mulai memudar. Janji-janji keadilan, otonomi, dan penghargaan atas jasa Aceh dalam perjuangan kemerdekaan terasa semakin jauh dari realitas. Dalam buku ini, Hasan Tiro menegaskan satu tesis utama: Aceh diperlakukan seolah-olah bukan subjek sejarah, melainkan objek kekuasaan pusat—bahkan lebih jauh, seolah Aceh adalah milik Jawa. Kritik ini bukan lahir dari kebencian etnis, melainkan dari pembacaan struktural terhadap praktik sentralisme negara yang berpusat di Jawa.

Sentralisme Jawa yang dikritik Hasan Tiro bukan semata persoalan geografis, tetapi menyangkut cara berpikir negara. Jawa, dalam konstruksi kekuasaan Indonesia modern, bukan hanya pusat administrasi, tetapi pusat definisi: pusat menentukan apa yang disebut pembangunan, stabilitas, nasionalisme, dan bahkan loyalitas. Dalam kerangka ini, Aceh tidak diberi ruang untuk mendefinisikan dirinya sendiri. Segala sesuatu dari kebijakan ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, hingga penentuan arah politik harus mendapatkan legitimasi dari pusat. Hasan Tiro menyebut kondisi ini sebagai bentuk kolonialisme internal, di mana relasi pusat–daerah mereproduksi pola penjajahan dengan aktor yang berbeda.

Dalam Atjeh Bak Mata Donja, Hasan Tiro berulang kali menegaskan bahwa Aceh memiliki sejarah kenegaraan jauh sebelum Indonesia lahir. Kesultanan Aceh Darussalam bukan entitas pinggiran, melainkan kekuatan regional yang diakui dunia internasional. Aceh memiliki sistem pemerintahan, hukum, diplomasi, dan militer yang mapan. Oleh karena itu, ketika Aceh dilebur ke dalam Republik Indonesia tanpa pengakuan yang adil terhadap sejarah dan kedaulatannya, yang terjadi bukan integrasi setara, melainkan subordinasi. Inilah akar dari kritik Hasan Tiro terhadap sentralisme Jawa: sebuah sistem yang mengabaikan fakta sejarah demi kepentingan politik pusat.

Kritik tersebut menjadi semakin tajam ketika Hasan Tiro menyinggung praktik pengambilan keputusan. Ia menggambarkan situasi di mana “apa-apa yang dilakukan oleh bangsa Aceh harus mendapat izin dari Jawa.” Pernyataan ini bukan retorika kosong. Ia merefleksikan realitas birokrasi dan politik, di mana Aceh tidak memiliki kewenangan penuh atas tanahnya sendiri. Kekayaan alam Aceh dieksploitasi, namun hasilnya lebih banyak mengalir ke pusat. Kebijakan ditentukan di Jakarta, sementara Aceh hanya menjadi pelaksana, sering kali tanpa ruang tawar. Dalam kondisi seperti ini, Aceh kehilangan makna otonomi, bahkan sebelum istilah otonomi itu secara formal dibicarakan.

Hasan Tiro juga melihat sentralisme Jawa sebagai bentuk kekerasan simbolik. Negara, melalui bahasa dan kebijakan, membangun narasi bahwa pusat selalu benar dan daerah harus patuh. Aceh, ketika bersuara kritis, dicap sebagai pembangkang atau ancaman terhadap keutuhan negara. Kritik dipersempit menjadi separatisme, bukan dipahami sebagai ekspresi ketidakadilan struktural. Dalam Atjeh Bak Mata Donja, Hasan Tiro membongkar logika ini dan menunjukkan bahwa perlawanan Aceh justru lahir dari kegagalan negara dalam membangun relasi yang adil.

Yang menarik, kritik Hasan Tiro tidak berhenti pada negara, tetapi juga pada elite Aceh sendiri yang menurutnya gagal mempertahankan martabat politik Aceh. Ia menyesalkan sikap kompromistis sebagian elite yang lebih memilih kenyamanan dalam struktur pusat ketimbang memperjuangkan hak kolektif rakyat Aceh. Dalam perspektif ini, sentralisme Jawa bukan hanya dipaksakan dari luar, tetapi juga dibiarkan tumbuh dari dalam melalui kooptasi elite lokal. Kritik ini menjadikan Atjeh Bak Mata Donja sebagai teks yang tidak romantik, melainkan reflektif dan tajam.

Jika dibaca hari ini, lebih dari setengah abad setelah diterbitkan, Atjeh Bak Mata Donja terasa belum kehilangan relevansinya. Meski Aceh telah mendapatkan status otonomi khusus pasca-perdamaian Helsinki, relasi pusat–Aceh masih menyisakan banyak persoalan. Banyak kebijakan strategis tetap ditentukan oleh pusat, dan logika “izin dari Jakarta” masih membayangi pengambilan keputusan di Aceh. Dalam konteks ini, kritik Hasan Tiro dapat dibaca sebagai peringatan historis: bahwa tanpa perubahan cara pandang negara terhadap daerah, sentralisme akan terus melahirkan ketegangan.

Namun penting untuk dicatat, kritik Hasan Tiro terhadap sentralisme Jawa tidak identik dengan penolakan terhadap Indonesia sebagai bangsa. Yang ia tolak adalah Indonesia yang dibangun di atas ketidakadilan sejarah. Hasan Tiro menginginkan relasi yang setara, di mana Aceh dihormati sebagai entitas dengan identitas, sejarah, dan hak politiknya sendiri. Dalam kerangka ini, Atjeh Bak Mata Donja bukan hanya buku tentang Aceh, tetapi juga cermin bagi Indonesia untuk bercermin atas praktik kekuasaannya.

Sentralisme Jawa, sebagaimana dikritik Hasan Tiro, pada dasarnya adalah persoalan epistemik: siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran dan arah bangsa. Selama pusat merasa paling tahu, paling berhak, dan paling menentukan, daerah akan terus diposisikan sebagai pinggiran. Aceh, dengan seluruh pengalaman historisnya, menjadi contoh paling nyata dari dampak buruk cara berpikir tersebut. Oleh karena itu, membaca Atjeh Bak Mata Donja hari ini bukan untuk menghidupkan luka lama, tetapi untuk memahami akar struktural dari ketegangan pusat–daerah.

Pada akhirnya, Atjeh Bak Mata Donja adalah seruan agar Aceh tidak dilihat dengan “mata pusat,” tetapi dengan mata sejarah dan keadilan. Hasan Tiro mengajak pembaca untuk memahami Aceh bukan sebagai wilayah administratif semata, melainkan sebagai bangsa dengan martabat. Kritiknya terhadap sentralisme Jawa adalah kritik terhadap negara yang lupa bahwa persatuan tidak bisa dibangun di atas pemaksaan, dan keutuhan tidak lahir dari penyeragaman. Selama Aceh masih harus “meminta izin” untuk menjadi dirinya sendiri, selama itu pula kritik Hasan Tiro akan terus relevan sebagai pengingat bahwa keadilan adalah syarat utama bagi persatuan yang sejati.

SHARE :

0 facebook:

 
Top