![]() |
| Meutia Ullyatussyifa - Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh |
lamurionline.com -- Setiap kali bencana alam terjadi, perhatian publik pasti tertuju pada penyelamatan jiwa, pemenuhan pangan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal sementara. Dalam situasi darurat, kebutuhan dasar memang harus menjadi prioritas utama. Namun, setelah fase kritis berlalu, muncul persoalan lain yang kerap luput dari perhatian seperti terputusnya akses literasi dan pendidikan masyarakat akibat bencana.
Banjir, longsor, gempa, dan bencana alam lainnya tidak hanya merusak rumah dan infrastruktur, tetapi juga menghancurkan fasilitas pendidikan, termasuk perpustakaan. Buku-buku basah, rak roboh, ruang baca tidak dapat digunakan, dan layanan informasi terhenti. Kerusakan ini mungkin tampak sepele dibandingkan korban jiwa atau kelaparan, tetapi dampaknya bersifat jangka panjang dan menyentuh masa depan.
Literasi bukan sekadar aktivitas membaca di waktu senggang. Literasi adalah kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi, memahami situasi, dan mengambil keputusan yang tepat. Dalam konteks bencana, literasi berperan penting untuk memahami informasi evakuasi, bantuan sosial, kesehatan, dan mitigasi risiko. Ketika akses literasi terhambat, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap kebingungan dan kesalahan dalam menerima informasi.
Perpustakaan merupakan bagian penting dari ekosistem literasi. Ia berfungsi sebagai pusat pengetahuan, ruang belajar, dan sumber informasi publik yang relatif netral dan dapat dipercaya. Namun, ketika bencana melanda, perpustakaan sering kali tidak masuk dalam daftar prioritas pemulihan. Fokus utama tertuju pada pembangunan fisik, sementara pemulihan akses pengetahuan cenderung tertunda.
Padahal, bagi anak-anak dan remaja, keberadaan buku dan ruang belajar sangat penting untuk menjaga keberlanjutan pendidikan dan kesehatan mental. Aktivitas membaca dan belajar dapat membantu memulihkan rasa aman, mengurangi stres, serta memberikan rutinitas positif di tengah situasi yang tidak menentu. Tanpa dukungan literasi, proses pemulihan sosial dan psikologis masyarakat bisa berjalan lebih lambat.
Pemulihan literasi pascabencana tidak harus menunggu segalanya pulih. Perpustakaan sementara, sudut baca di tempat pengungsian, layanan buku keliling, atau akses bahan bacaan digital bisa menjadi langkah awal. Peran pemerintah, komunitas, lembaga pendidikan, dan relawan literasi sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa akses pengetahuan tidak terhenti terlalu lama.
Selain itu, pengalaman berulang dari berbagai bencana menunjukkan perlunya perencanaan literasi yang lebih tangguh terhadap risiko. Perlindungan koleksi, digitalisasi bahan bacaan, dan integrasi perpustakaan dalam rencana mitigasi bencana menjadi hal yang patut dipertimbangkan ke depan. Perpustakaan yang tangguh bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga berperan aktif dalam proses pemulihan masyarakat.
Bencana memang memaksa masyarakat untuk bertahan hidup hari demi hari. Namun, pemulihan sejati tidak hanya diukur dari bangunan yang kembali berdiri, melainkan juga dari kemampuan masyarakat untuk belajar, berpikir, dan membangun masa depan. Literasi adalah bekal penting agar masyarakat tidak hanya pulih, tetapi juga bangkit dengan lebih kuat.
Karena itu, di tengah berbagai upaya kemanusiaan yang berlangsung, literasi dan perpustakaan tidak boleh sepenuhnya dilupakan. Menjaga akses pengetahuan berarti menjaga harapan. Dan harapan adalah fondasi utama bagi masyarakat untuk melangkah maju setelah bencana.

0 facebook:
Post a Comment