Oleh: Hamdani, SE.,M.Si.C.FTax, CWC


Aceh merupakan wilayah  berkali-kali diuji  bencana. Dari gempa bumi, banjir, longsor, hingga tsunami pada akhir 2004 yang meninggalkan luka mendalam, sejarah Aceh selalu beririsan dengan peristiwa-peristiwa besar yang menguji ketahanan sosial, ekonomi, dan spiritual masyarakatnya. 

Namun di balik setiap musibah, Aceh juga menunjukkan daya bangkit yang khas, yang berpijak pada nilai-nilai agama, solidaritas sosial, dan kearifan lokal. 

Dalam konteks inilah, pendekatan wakaf layak ditempatkan sebagai strategi penting dalam membangun Aceh pascabencana.

Pendekatan wakaf bukan sekadar instrumen filantropi, melainkan suatu paradigma pembangunan berbasis nilai yang berakar kuat pada identitas masyarakat Aceh. Sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekkah, wakaf telah lama menjadi bagian dari denyut kehidupan sosial. Tanah wakaf untuk masjid, dayah, kuburan, dan fasilitas publik lainnya tersebar hampir setiap gampong. 

Oleh karena itu, membangun Aceh dengan wakaf bukanlah gagasan yang asing, melainkan upaya menghidupkan kembali praktik sosial-keagamaan yang telah lama hidup di tengah masyarakat.

Dalam konteks pascabencana, wakaf menawarkan karakter  yang tidak dimiliki oleh banyak skema bantuan konvensional, yaitu keberlanjutan. Bantuan darurat memang penting untuk merespons kebutuhan mendesak korban, tetapi sering kali berhenti pada fase pemulihan jangka pendek. 

Wakaf, sebaliknya, menghadirkan aset yang manfaatnya terus mengalir. Tanah wakaf dapat digunakan untuk membangun hunian tetap, fasilitas pendidikan, atau layanan kesehatan yang beroperasi lintas generasi. Wakaf produktif, seperti kebun, tambak, atau bangunan usaha, menjadi sumber penghidupan baru bagi masyarakat terdampak sekaligus menopang pembiayaan sosial jangka panjang.

Lebih jauh, pendekatan wakaf  berpotensi mengurangi ketergantungan Aceh terhadap anggaran negara dan bantuan eksternal. Pengalaman rekonstruksi pascatsunami 2004  menunjukkan bahwa derasnya aliran dana bantuan tidak selalu berbanding lurus dengan kemandirian masyarakat. Banyak infrastruktur yang akhirnya terbengkalai karena tidak disertai skema pengelolaan dan pembiayaan berkelanjutan. 

Wakaf, dengan prinsip kepemilikan publik dan amanah, mendorong keterlibatan masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima bantuan. Hal ini menciptakan rasa memiliki (sense of ownership) yang kuat terhadap aset-aset publik yang dibangun.

Selain itu, wakaf memiliki dimensi keadilan sosial yang relevan dalam situasi pascabencana. Bencana sering kali memperlebar kesenjangan sosial, memukul kelompok rentan seperti perempuan kepala keluarga, anak yatim, petani kecil, dan nelayan. Melalui pengelolaan wakaf yang tepat sasaran, kelompok-kelompok ini dapat memperoleh akses terhadap modal, pelatihan, dan sarana produksi. 

Dengan demikian, wakaf tidak berhenti pada belas kasih, tetapi bergerak menuju pemberdayaan yang memulihkan martabat dan kemandirian korban.

Agar pendekatan wakaf benar-benar efektif, wakaf perlu diintegrasikan dengan tata kelola modern. Wakaf tidak bisa lagi dipahami sebatas penyerahan aset tanpa perencanaan. Diperlukan nazhir yang profesional, transparan, dan akuntabel. 

Di Aceh, peran Baitul Mal dan dukungan regulasi daerah melalui qanun menjadi hal inti dalam memastikan bahwa wakaf dikelola secara produktif dan berkelanjutan. 

Pemanfaatan teknologi digital, seperti wakaf uang berbasis platform daring dan sistem pendataan aset wakaf, merupakan langkah penting menjawab tantangan zaman.

Meski demikian, membangun Aceh pascabencana dengan pendekatan wakaf bukan tanpa tantangan. Masih terdapat persoalan kapasitas pengelola, sengketa lahan, rendahnya literasi wakaf produktif, serta potensi politisasi aset wakaf. 

Tantangan-tantangan ini menuntut keseriusan semua pihak (ulama, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil) untuk membangun ekosistem wakaf yang sehat. Pendidikan wakaf, pemetaan aset secara menyeluruh, dan penguatan kelembagaan menjadi prasyarat yang tidak dapat diabaikan.

Pada akhirnya, pendekatan wakaf menawarkan lebih dari sekadar solusi teknis pembangunan. Wakaf menunjukkan cara pandang bahwa rekonstruksi pascabencana bukan hanya tentang membangun kembali bangunan yang runtuh, tetapi juga tentang menata ulang hubungan sosial, ekonomi, dan ketakwaan. 

Wakaf mengajarkan bahwa dari musibah dapat berwujud solidaritas, dari kehilangan  tumbuh keberlanjutan, dan dari kepedulian terbangun masa depan yang lebih adil dan bermartabat.

Dalam konteks Aceh, membangun dengan wakaf berarti membangun dengan jati diri,  memadukan iman, kearifan lokal, dan visi jangka panjang. Suatu ikhtiar  memastikan  setiap bencana tidak hanya meninggalkan puing, tetapi juga membuka jalan menuju kebangkitan yang lebih kuat dan abadi.

Penulis, Nazhir Wakaf Uang bersertifikat BNSP

SHARE :

0 facebook:

 
Top