Oleh: Yayang Mutiara
Di tengah kehidupan digital yang semakin cepat, kita semua hidup dalam banjir informasi yang datang tanpa jeda. Notifikasi bermunculan setiap menit, video pendek berseliweran tanpa kita minta, dan pesan yang terus masuk membuat pikiran tidak pernah benar-benar beristirahat. Kita mungkin duduk diam, tetapi pikiran terus bergerak. Kita mungkin sedang libur, tetapi otak seperti tetap bekerja. Dan tanpa sadar, kelelahan itulah yang semakin hari semakin menumpuk.
Namun, di antara hiruk-pikuk dunia yang serba daring itu, sebenarnya masih ada satu ruang yang menawarkan ketenangan: perpustakaan. Ruang sunyi yang jarang kita ingat, padahal ia bisa menjadi tempat paling sederhana untuk memulihkan diri. Ketika seseorang memutuskan untuk “offline sejenak”, langkah kecil itu bisa menjadi cara yang tepat untuk kembali bernapas.
Fenomena kelelahan digital atau digital fatigue bukan lagi hal yang asing. DataReportal dalam laporan Digital 2024: Indonesia mencatat bahwa Indonesia memiliki sekitar 185 juta pengguna internet, dan 139 juta di antaranya adalah pengguna media sosial aktif. Rata-rata, orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk sosial media — sebuah angka yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi media sosial tertinggi di Asia Tenggara.
Angka ini menunjukkan bahwa kita hidup dalam dunia di mana layar telah menjadi bagian utama kehidupan. Banyak hal terasa harus dibagikan, harus diposting, harus diberi opini, harus dilihat orang lain. Sementara itu, tubuh dan pikiran kita butuh ruang untuk pelan-pelan. Butuh ruang untuk memproses apa yang kita alami. Butuh ruang untuk istirahat dari kesibukan yang seolah tak ada akhirnya.
Di sinilah perpustakaan hadir sebagai ruang tenang yang sebenarnya sangat kita butuhkan. Perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku. Ia adalah tempat di mana kita bisa berhenti sejenak, duduk tanpa terburu-buru, dan menikmati keheningan yang jarang kita temukan di ruang publik lainnya. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada tuntutan untuk segera membalas pesan, tidak ada dorongan untuk terus menggulir layar. Yang ada hanya deretan rak-rak buku, halaman kertas yang siap dibuka, serta suasana tenang yang memberi kesempatan kepada pikiran untuk pulih.
Membaca di perpustakaan bukan hanya soal mendapatkan informasi. Ia adalah pengalaman batin yang menenangkan. Sebuah studi dari University of Sussex yang sering dikutip menunjukkan bahwa membaca dapat menurunkan stres hingga 68%, bahkan lebih efektif dibandingkan mendengarkan musik atau berjalan santai.
Enam menit membaca saja sudah cukup untuk menurunkan ketegangan. Bayangkan apa yang terjadi jika seseorang meluangkan satu jam di perpustakaan–membuka buku, menarik napas perlahan, dan membiarkan dirinya terbenam dalam suasana sunyi. Itu bukan sekadar aktivitas, tapi bentuk perawatan diri yang sederhana dan murah, bahkan gratis.
Saat ini, banyak perpustakaan di Indonesia mulai berkembang menjadi ruang publik yang sangat inklusif. Beberapa perpustakaan kampus, perpustakaan daerah, hingga perpustakaan komunitas kini menghadirkan ruang-ruang yang lebih nyaman, estetik, dan ramah bagi pengunjung. Ketika ruang perpustakaan didesain dengan baik, ia dapat menjadi tempat yang menenangkan bagi mahasiswa yang lelah, pekerja yang ingin melarikan diri sejenak dari tekanan, atau siapa pun yang ingin beristirahat dari kebisingan digital. Bahkan tanpa fasilitas modern sekalipun, keheningan dalam perpustakaan sudah cukup menjadi alasan untuk datang.
“Offline sejenak” bukan berarti anti-teknologi. Ini bukan ajakan untuk meninggalkan gawai selamanya. Justru sebaliknya: ini cara agar kita tetap waras di tengah dunia yang serba cepat. Dunia digital memberikan banyak manfaat, tetapi tubuh dan pikiran kita tetap manusia — tetap membutuhkan keheningan, waktu lambat, dan ruang yang stabil.
Perpustakaan mengajarkan kita untuk memperlambat langkah. Untuk membuka halaman, bukan menggulir layar. Untuk mendengarkan diri sendiri, bukan kebisingan orang lain. Untuk hadir sepenuhnya, bahkan dalam diam. Dalam dunia yang terus mendorong kita untuk terus online, perpustakaan memberi izin untuk sejenak disconnect — bukan untuk lari dari kenyataan, tetapi untuk kembali ke diri.
Mungkin kita tidak selalu sadar bahwa kedamaian bisa ditemukan di ruang sederhana seperti perpustakaan. Tapi kadang, yang kita butuhkan bukan liburan mahal, bukan kafe baru, bukan konten hiburan yang mengalihkan perhatian. Yang kita butuhkan adalah tempat sunyi, tempat di mana kita bisa merapikan kembali isi kepala kita.
Perpustakaan menawarkan itu semua. Ia tidak memaksa, tidak menuntut. Ia hanya membuka pintunya, menunggu kita datang, dan membiarkan kita pulih dalam diam. Di tengah dunia yang bising, perpustakaan adalah rumah bagi ketenangan. Dan mungkin, yang sebenarnya kita cari selama ini adalah kesempatan untuk duduk tenang, membuka satu buku, dan memberi diri kita ruang untuk bernapas kembali.
*Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh

0 facebook:
Post a Comment