Oleh: Khairina

Anggota Badan Baitul Mal Aceh periode 2020-2025 dan Mahasiswa Pascasarjana IAI SEBI konsentrasi Filantropi Islam


Aceh menjadi satu-satunya Provinsi di Indonesia yang berlandaskan pada Syari’at Islam, hal tersebut  dilakukan  secara  sah  dengan berlandaskan  Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2006  tentang  Pemerintahan  Aceh, salah satu keistimewaan Aceh dengan keberadaan aturan hukum tersebut adalah  diberikannya keleluasan untuk mengelola dan mengembangkan zakat.

Undang-Undang   Nomor   11   Tahun   2006   tentang   Pemerintahan   Aceh   telah memberi peluang yang cukup luas dalam penanganan zakat, yaitu: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Pasal 180ayat (1) huruf (d) menyebutkan bahwa “Zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)Kabupaten/Kota” dan pasal 191 ayat (1) Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota

Baitul Mal Aceh sebagai lembaga pengelola dana ummat  memiliki peran strategis sebagai lembaga pengelola dana zakat, infak, wakaf, dan harta keagamaan lainnya dapat menjadi motor penggerak kesejahteraan sosial dan ekonomi berbasis syariah.

Peran Baitul Mal sebagai Lembaga Sosial Islam di Aceh selalu menarik perhatian banyak pihak, wacana mengenai pengelolaan zakat oleh Baitul Mal Aceh sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal, Aceh memang memiliki kekhususan dalam mengelola zakat. Namun, di balik peluang besar yang dimilikinya, muncul pula pertanyaan kritis: sejauh mana zakat dapat diposisikan sebagai pendapatan daerah tanpa menghilangkan nilai spiritual dan sosialnya

Zakat Bukan Sekadar Angka di Laporan Keuangan

Dalam ajaran Islam, zakat adalah ibadah wajib dan bentuk nyata solidaritas sosial. Ia bukan sekadar “uang” yang dikumpulkan, melainkan amanah yang harus dikelola sesuai dengan ketentuan delapan golongan penerima (asnaf). Karena itu, ketika Baitul Mal Aceh mengelola zakat dengan pendekatan kelembagaan yang menyerupai manajemen fiskal

Menjadikan zakat sebagai bagian dari “pendapatan publik” memang dapat membantu memperkuat anggaran pembangunan daerah, terutama untuk program sosial, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan ekonomi umat. Namun, jika tidak dikelola secara hati-hati, ada risiko terjadinya reduksi makna zakat dari ibadah dan amanah umat menjadi sekadar instrumen fiskal.

Antara Spirit Syariah dan Tuntutan Tata Kelola Modern

Di sinilah dilema Aceh muncul: bagaimana menyeimbangkan antara spirit syariah dan tata kelola modern, Baitul Mal harus mampu tampil sebagai lembaga publik yang transparan dan profesional tanpa kehilangan nilai religiusnya. Zakat bukan sekadar dana sosial, tetapi energi moral yang menggerakkan solidaritas umat.

Digitalisasi pengumpulan zakat, pelaporan berbasis data terbuka, dan kolaborasi dengan lembaga keuangan syariah bisa menjadi langkah penting. Selain meningkatkan kepercayaan publik, inovasi ini juga memperluas dampak sosial zakat dan infak, dari sekadar bantuan konsumtif menuju pemberdayaan ekonomi produktif.

Menjaga Amanah, Memperkuat Kemandirian

Baitul Mal Aceh tidak seharusnya hanya dilihat sebagai lembaga pengumpul dana keagamaan, melainkan sebagai pengelola keadilan sosial. Namun, lembaga ini juga tidak boleh terjebak dalam persepsi sebagai “instansi fiskal” yang menghitung zakat seperti pajak daerah.

Keseimbangan antara amanah keagamaan dan profesionalisme publik harus terus dijaga. Pemerintah Aceh perlu memperkuat regulasi yang membedakan secara tegas antara zakat sebagai instrumen spiritual dan sosial, bukan hanya sebagai bagian dari pendapatan fiskal.

Potensi Besar, Tantangan Serius

Dari sisi potensi, Aceh memiliki peluang luar biasa. Dengan mayoritas penduduk Muslim, pengumpulan zakat mencapai ratusan miliar hingga Trilyunan rupiah setiap tahun. Dana ini, jika dikelola secara profesional, dapat menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat miskin, mendukung UMKM, hingga membiayai pendidikan dan kesehatan berbasis umat.

Selain itu, kekhususan otonomi Aceh melalui qanun memungkinkan sinergi antara kebijakan pemerintah daerah dan nilai-nilai Islam. Hal ini tidak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.

Namun, di sisi lain, tantangan besar masih menghadang. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan zakat sering kali menjadi sorotan. Laporan keuangan Baitul Mal di beberapa daerah belum sepenuhnya terbuka kepada publik. Kapasitas sumber daya manusia juga belum merata, sebagian amil belum dibekali kemampuan manajerial modern. Akibatnya, efektivitas penyaluran dana dan kepercayaan masyarakat bisa menurun.

Selain itu, terdapat persoalan konseptual yang lebih mendasar: apakah zakat boleh dipandang sebagai bagian dari pendapatan daerah atau Negara, Jika zakat masuk dalam kategori pendapatan publik, maka pengelolaannya berpotensi dikaitkan dengan mekanisme fiskal dan politik anggaran. Padahal, secara teologis, zakat adalah amanah keagamaan yang harus dikelola dengan niat ibadah, bukan kepentingan birokrasi.

Keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa se-Indonesia VIII Nomor 06/Ijtima’ Ulama/VIII/2024 Tentang Status Dana Zakat. Pada ketentuan hukum menyebutkan Dana zakat bukan milik negara dan bukan milik badan amil zakat atau lembaga amil zakat, tetapi milik mustahik (muslim yang fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, yang terlilit hutang, fi sabilillah dan ibnu sabil), karenanya, tidak termasuk dalam kategori keuangan negara;  Meskipun keputusan ulama ini sesuai dengan praktek Baznas sebagai pengelola zakat di Indonesia, secara khusus kita bisa menyamakan pandangan ulama terkait status dana zakat

Pencantuman zakat sebagai salah satu penerimaan PAD, dalam berbagai ketentuan perundang-undangan  dengan  segala  akibat  hukum  yang  melekat,  khususnya  peraturan pengelolaan  keuangan  daerah, dianggap bertentangan  dengan  esensi  zakat  yang  sudah ditetapkan  dalam  Al-Qur’an, disamping Al-Hadits  dan  penjabaran  dalam  fiqh  zakat  sesuai dengan  masanya, hal ini terdapat dapat jurnal Prof Armia Musa dengan judul  “Kontribusi  Pemerintah  Dalam  Pengelolaan  Zakat  Di  Aceh  (Kontestasi  Penerapan  Asas  Lex Specialis Dan Lex Generalis) 

Dalam fikih, zakat memiliki karakteristik yang cukup berbeda dari pajak atau instrumen fiskal Negara, dimana zakat pemiliknya adalah mustahik 8 asnaf sedangkan dalam keuangan Negara zakat dianggap sama seperti instrumen fiskal Negara dan harus mengikuti ketentuan hukum secara umum dan sangat mengikat serta jauh dari kata dinamis. Pada aspek distribusi zakat, Zakat harus segera disalurkan setelah terkumpul agar mustahik menerima haknya sedangkan dalam keuangan Negara mengikuti mekanisme anggaran  tahunan yang bisa mengakibatkan penundaan distribusi zakat.

Untuk  mempertemukan  kedua  prinsip  dasar  yang  saling bertentangan tersebut,  diperlukan  solusi  penetapan  Zakat  sebagai  PAD-Khusus diperkuat dengan regulasi turunan yang kuat serta dihormati sebagai sebuah perbedaan dalam perlakuan keuangan negara dan keberaniaan semua pihak untuk menjalankannya.

Dengan pengelolaan yang transparan, profesional, dan berbasis nilai, zakat dan infak dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi umat tanpa kehilangan makna religiusnya. Baitul Mal Aceh bisa menjadi model nasional bahkan global menjadi motor penggerak kesejahteraan sosial dan ekonomi berbasis syariah.

SHARE :

0 facebook:

 
Top