Lamurionline.com--JAKARTA  – Menurut sumber Biro Pusat Statistik (BPS) dan data Bank Dunia (World Bank), Indonesia adalah salah satu dari 5 negara Muslim termiskin di dunia. Jika data versi BPS menyebutkan, jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 29,88 juta. Sedangkan versi Bank Dunia jauh lebih besar lagi, yakni mencapai 102,45 juta.
Bicara pengentas kemiskinan di Indonesia, setiap tahun pemerintah Indonesia mengalokasikan dana yang besar untuk mengurangi kemiskinan, dari Rp.43 triliun (2006) menjadi Rp. 50 triliun (2011), namun angka kemiskinan tidak mengalami perubahan berarti. “Alokasi tersebut besarannya tidak tetap dan sangat bergantung pada pemegang kekuasaan.”
Demikian diungkapkan Direktur IMZ  (Indonesia Magnificence of Zakat)Ir. Nana Mintarti, MP dalam Seminar Filantropi Islam Asia Tenggara dengan tema “Inovasi Filantropi Islam di Indonesia dan Malaysia”, belum lama ini di Manara 165 Jakarta.
Mengutip Yusuf Qaradhawi, dalam perspektif Islam, zakat dianggap sebagai salah satu instrument utama untuk pengentasan kemiskinan. Sementara itu, Lembaga zakat (OPZ) telah banyak menyalurkan dana zakat untuk program-program pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan.
“Untuk melihat pengaruh zakat terhadap pengentasan kemiskinan secara nasional di Indonesia merupakan suatu hal yang cukup sulit. Belum tersedianya data dan informasi zakat secara nasional merupakan salah satu penyebab sulitnya dilakukan analisa ini secara mendetail. Diakui, pengelolaan zakat saat ini masih cenderung dilakukan sendiri-sendiri oleh berbagai pihak terkait,” ujar Nana.
Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia mengalokasikan Rp.43 trilyun untuk program-program pemberantasan kemiskinan. Sedangkan dana ZIS yang terkumpul kurang lebih 1,2 triliun. Artinya, jika seluruh dana ZIS yang terkumpul dialokasikan pada pengentasan kemiskinan, hal ini baru meng-cover 2,7% dari total kebutuhan.
Baznas Pusat mencatat, perhimpunan ZIS Nasional pada tahun 2011 adalah 1,730 (USD 174,75 M), dengan pertumbuhan tahunan 15,33%. Terlepas dari masih minimnya peran zakat dalam pembangunan nasional secara makro, skala mikro atau komunitas, pengalaman berbagai kelompok mustahik, menunjukkan bahwa telah banyak program-program pendayagunaan zakat yang berhasil meningkatkan kesejahteraan komunitas yang dibantunya.
“Dampak positif zakat terhadap pengentasan kemiskinan dan distribusi pendapatan akan meningkat signifikan jika didukung dan disinergikan dengan pengelolaan dana-dana Filantropi Islam yang lain, seperti dana Wakaf, dana Haji dan Qurban,” jelas Nana.
Lalu kenapa zakat kurang efektif dalam pengentasan kemiskinan? Dikatakan Nana, minimnya dana zakat yang dikumpulkan dan disalurkan untuk pengentasan kemiskinan, antara lain karena rendahnya kesadaran wajib zakat (muzakki) dalam membayar zakat (IZDR 2010) dan kurangnya kepercayaan public kepada lembaga zakat.
Rendahnya efektifitas pendayaagunaan dana zakat oleh OPZ, antara lain karena: lemahnya kapasitas kelembagaan OPZ dalam mengimplementasikan program-programnya.  Ditambah, kurangnya perilaku asnaf yang kurang suportif dalam mengoptimalkan manfaat dari bantuan zakat yang mereka terima.
Dengan keterbatasan dana zakat, diperlukan strategi pendistribusian yang tepat agar zakat menjadi efektif. Tiga isu penting untuk meningkatkan efektifitas pendayagunaan zakat adalah: Prioritas dalam distribusi zakat, bentuk pola (model) pendistribusian zakat yang sesuai, dan menyesuiakan dengan kondisi local dan kebutuhan masyrakat local tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat terkini.
Dalam sebuah surveinya, rata-rata pendapatan penerimaan zakat meningkat setelah memperoleh bantuan zakat dari OPZ; jurang kemiskinan semakin menyempit yaitu, dari Rp. 326.501,9 menjadi Rp. 318.846,2.
“Waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan rumah tangga miskin dari kemiskinan diperlukan waktu 7 tahun. Namun dengan pendistribusian zakat oleh OPZ, waktu tersebut dapat dipercepat 1,9 tahun menjadi 5,1 tahun.
Distribusi Zakat
Distribusi dana zakat umumnya terdapat dua jenis kegiatan besar: Pertama, kegiatan yang bersifat konsumtif (bantuan sesaat untuk masalah yang bersifat mendesak) seperti pemenuhan kebutuhan konsumtif dasar (makanan, kesehatan, dan pendidikan). Kedua, kegiatan produktif (usaha produktif yang bersifat jangka menengah-panjang).
Dari dua pola besar kegiatan pendayagunaan, dapat dikelompokkan lagi 4 bentuk: konsumtif tradisional (santunan mustahik), konsumtif kreatif (beasiswa, pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, dakwah dsb), produktif tradisional (dalambentuk barang-barang produktif seperti kambing, alat pertukangan, mesin jahit dll), Produktif kreatif (modal usaha dengan pendampingan dan pendekatan pemberdayaan komunitas). desastian Sumber :
(voa-islam.com)
SHARE :
 
Top