Lamurionline.com--JAKARTA –  Program pendistribusian zakat, masih dirasakan belum optimal mencapai sasaran yang diharapkan, untuk mewujudkan kemandirian masyarakat secara ekonomis maupun social. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan dalam desain program.
“Umumnya Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) masih mengalami keterbatasan dalam mendesai program pendistribusian, sebagian besar cenderung bersifat charity dan konsumtif karena lebih populis dan mudah dijalankan,” ujar Direktur IMZ  (Indonesia Magnificence of Zakat)Ir. Nana Mintarti, MP dalam Seminar Filantropi Islam Asia Tenggara dengan tema “Inovasi Filantropi Islam di Indonesia dan Malaysia”, belum lama ini di Menara 165 ESQ, Jakarta.
Hal inilah yang menyebabkan dampak program pendistribusian zakat, masih bersifat statis, kurang optimal dan belum revolusioner. Sehingga sulit diharapkan terjadi perubahan-perubahan mendasar di kalangan kaum dhuafa, yakni transformasi dari mustahik menjadi muzaki.
Nana menilai terjadi salah persepsi dalam pemberdayaan masyarakat selama ini. Pemberdayaan sering dipersepsikan dan diterjemahkan secara sempit hanya sebagai pemberian financial kepada kelompok miskin.
Selama ini kemiskinan jauh lebih sering dikaitkan dengan dimensi ekonomi saja. Padahal kemiskinan juga berkaitan dengan berbagai dimensi, antara lain dimensi politik, social, budaya, kesehatan, lingkungan, pendidikan, spiritual, etos kerja dan nilai diri (value).
Fakir miskin juga mengalami keterbatasan pengetahuan. Bantuan financial saja tidak akan dapat meningkatkan taraf hidup dan membebaskan dari keterpurukan, apabila penyebab dari ketidakmampuan dan ketidak berdayaan mereka tidak diatasi. Karena itu, fenomena kemiskinan structural, hendaknya diatasi dengan berfokus pada program-program yang memberdayakan.
Mengutip Yusuf Qaradhawi, zakat bukanlah sekedar bantuan sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya. Kemudian mencari pangkal penyebab kemiskinan itu dan mengusakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka.
Pemberdayaan  masyarakat berbasis zakat adalah metode pendayagunaan dana zakat yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup fakir miskin melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka dengan menekankan prinsip partisipasi.
Kelompok fakir miskin dipandang sebagai anggota masyarakat yang juga memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan. Nah, peran amil zakat adalah membantu meningkatkan kesadaran dan kemampuan kelompok fakir miskin dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
Perlu Pendampingan
Dikatakan Nana, upaya untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan faqir miskin diperlukan pendampingan mustahik. Pendampingan itu mencakup, mulai dari merancang program perbaikan kehidupan social ekonomi, memobilisasi sumber daya setempat memecahkan masalah social, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, sampai dengan menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan, terkait pemberdayaan masyarakat.
Arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya, sehingga program berjalan berkelanjutan. Untuk itu perlu dipersiapkan kader-kader yang berasal dari masyarakat local, yang akan meneruskan dan menjalankan program, setelah amil zakat tidak lagi mendampingi/tinggal bersama masyarakat.
Peran pendamping (amilin) pada awal proses sangat dominan, tetapi akan berkurang selama proses berjalan sampai masyarakat sudah mampu melanjutkan kegiatannya secara mandiri.
Benang merah dalam seminar tersebut adalah mayoritas program pendayagunaan yang digulirkan oleh OPZ sebagian besar masih menggunakan pola konsumtif. Pemilihan pola ini dipandang lebih mudah dan tidak memerlukan pendampingan dalam jangka waktu yang lama. Pertimbangan lainnya adalah karena keterbatasan dana yang dimiliki OPZ dan mendesaknya kebutuhan konsumsi bagi masyarakat dhuafa.
Sebagian besar OPZ menyadari, pola produktif lebih bisa mentransformasi mustahik menjadi muzaki, sehingga suatu saat nanti ketika dananya cukup dan SDM di OPZ telah siap, mereka akan membagi pola produktif dan konsumtif secara seimbang dalam programnya, sesuai dengan situasi dan kondisi obyek sasarannya.
Nana memberi saran, perlunya meningkatkan pola produktif untuk pendayagunaan zakat, mengingat baru 29% zakat untuk usaha produktif. Untuk meningkatkan pola produktif ini, diperlukan upaya peningkatan kapasitas amil dan kualitas program secara berkesinambungan. desastian Sumber : (voa-islam.com)
SHARE :
 
Top