Setiap wilayah di muka bumi ini mempunyai potensi sumber daya alam yang beragam. Kita boleh memanfaatkan kekayaan ini dalam batasan-batasan tertentu supaya tidak mengganggu keseimbangan alam. Misalnya batu dan pasir dari sungai bisa digunakan untuk membangun gedung dan rumah. Bahan tambang galian ini biasa disebut dengan Galian C. Mengapa dinamakan dengan Galian C? Apakah ada A dan B juga? Bagaimana sebenarnya Islam memandang tentang konservasi atau pemberdayaan alam? Menurut UU No. 11 Tahun 1967 disebutkan bahwa ada 3 jenis bahan tambang, yaitu (1) Golongan A, atau disebut bahan strategis yang dikelola oleh pemerintah, seperti minyak, uranium dan plutonium; (2) Golongan B, atau disebut bahan vital yang dapat menjamin hidup orang banyak, seperti emas, perak, besi dan tembaga; dan (3) Golongan C, yang dianggap tidak mempengaruhi hajat hidup orang banyak, seperti garam, pasir, marmer, batu kapur dan asbes. 

Terlepas dari adanya izin usaha atau tidak, benarkah Galian C ini tidak mempengaruhi lingkungan hidup? Ada beberapa lokasi Galian C tersebar khususnya di Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Dan ternyata banyak kita dengar keluhan-keluhan dari masyarakat sekitar tentang aktivitas Galian C ini. Diantara masalah-masalah yang muncul adalah rusaknya jalan akibat truk- truk besar yang lalu-lalang setiap saat, berkurangnya air sungai dan juga mata air sumur. Di musim hujan sungai meluap karena tidak ada lagi batu-batu penghalang di dasarnya. Selain itu, penebangan kayu secara liar di hutan-hutan juga menambah daftar masalah yang sudah ada. Perilaku manusia yang cenderung egois dengan alam sekitar ini sudah diperingatkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an: Telah terjadi (tampak) kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah akan merasakan kepada mereka sebagian (akibat tindakan mereka) agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Ar-Rum 30: 41). Melestarikan alam adalah tanggung jawab kita bersama. Chief Seattle (1766–1866), seorang ketua suku Indian Duwamish berkata, “We do not inherit the earth from our ancestor; we borrow it for our children” (alam ini bukanlah warisan nenek moyang kita, tapi pinjaman untuk anak cucu kita kelak). 

Oleh karena itu kita wajib melestarikannya untuk kelangsungan generasi penerus di masa yang akan datang. Dalam Islam, praktik konservasi atau pemberdayaan alam, telah dicontohkan sejak masa Rasul SAW dan para Sahabat. Fachruddin Majeri Mangunjaya menyebutkan dalam Jurnal Islamia (Vol III, No. 2, Maret 2007, h. 90- 96), diantara institusi Islam yang terkenal dalam hal pelestarian sumber daya alam adalah Hima' (Kawasan Lindung), al- Harim (Zona Larangan), dan Ihya al- Mawaat (Menghidupkan Lahan Terlantar). Sekitar tahun 624–634 Masehi, Nabi Muhammad SAW telah membuat kawasan konservasi di sekitar Makkah dan Madinah yang dikenal dengan nama hima'. Hima' adalah kawasan lindung milik umum untuk pelestarian rumput dan hewan ternak. Dalam konteks modern, mungkin istilah ini sama dengan kawasan konservasi yang termasuk di dalamnya taman nasional, suaka alam, hutan lindung dan suaka margasatwa. Sampai sekarang di Arab Saudi ada sekitar 3000 hima' yang kaya akan keanekaragaman hayati. Luasnya  bervariasi antara 10-1000 hektar. Di masa Umar bin Khattab, beliau mengangkat seorang manager untuk m e n g e l o l a h i m a ' . U m a r j u g a memerintahkan untuk mengakomodasi masyarakat sekitar khususnya warga m i s k i n s u p a y a m e r e k a d a p a t memanfaatkan lahan-lahan tersebut dalam batasan-batasan tertentu. Disamping itu, Islam menetapkan zona larangan (al-harim) untuk menjaga kelestarian dan mencegah kerusakannya. Yang termasuk dalam zona larangan adalah sumber-sumber air seperti danau, laut, sungai, mata air, aliran air, dan sumur. Untuk menjaga kelestarian zona larangan ini, konon katanya dalam adat Aceh ada aturan: (1) Dilarang menebang hutan dalam jarak 1.200 depa (+ 2 km) sekeliling sumber air, (2) Dilarang menebang pohon dalam jarak 60–120 depa (+100–200 m) dari kiri kanan sungai, dan (3) Dilarang menebang pohon dalam jarak 600 depa (+ 1 km) dari pinggir laut. 

Nah, bagaimana dengan illegal logging dan usaha Galian C yang sedang marak sekarang? Apakah mengikuti aturan yang ada ini? Islam juga mengajarkan ummatnya untuk mengolah lahan yang tandus atau terlantar (ihya al-mawaat). Tujuan utamanya adalah menjadikan lahan tersebut lebih produktif dan subur sehingga bermanfaat untuk bercocok tanam, tempat tinggal, atau lainnya. Secara luas, ihya al-mawaat juga mencakup pelestarian dan penghijauan alam dengan menanam pohon-pohon yang sesuai dengan jenis tanahnya. Oleh karena itu menebang hutan dan pohon secara sembarangan sangat di larang dalam Islam dan termasuk perbuatan yang tidak bertanggung jawab. Sayangnya manusia sekarang m e n g e k s p l o i t a s i a l a m t a n p a memperdulikan dampaknya terhadap lingkungan. Maka siapa yang patut kita salahkan ketika alam mengamuk? Sebelum semuanya terlambat harus ada pengelolaan sumber daya alam dan perbaikan hukum yang tepat. Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menanamkan pendidikan sejak dini tentang pentingnya kelestarian alam dan lingkungan hidup. Kurikulum sekolah harus mengandung topik “Penghijauan” dan “Konservasi Alam”. Selanjutnya adalah sama-sama menjaga kebersihan dan kelestarian alam. Jangan sampai generasi penerus kita harus pindah mencari dunia lain yang entah dimana. Wallaahua'lam.

© Akhi (Gombak: 21.12.2014, 11:30 p.m.)

SHARE :
 
Top