Oleh Sayed Muhammad Husen 


Walaupun hari libur, Ahad, 26 Desember 2004 pagi, saya tetap bersiap-siap lebih cepat meninggalkan rumah kerena berperan sebagai Ketua Panitia Pelaksana Sosialisasi Ekonomi Syariah MPU Aceh. Sejak sehari sebelumnya, hal ini telah saya bicarakan rencana ini dengan istri tercinta, Nour Izmi Nurdin (Mimi). 

Ahad pagi itu sekitar pukul 7.45 Wib saya diantar Mimi dengan sepeda motor menuju Gedung ICMI Jalan ST Mansursyah, tempat acara berlangsung. Saya datang lebih awal, sebab banyak hal perlu disiapkan seperti pengaturan ruangan dan pemasangan spanduk. Dari Gampong Alue Deah Tengoh, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, kami melewati jalan Ramasetia, jalan KH Ahmad Dahlan, jalan Imam Bonjol, lalu belok ke jalan Tgk Di Baroh. 

Di jalan terakhir ini saya sudah janji dengan toko foto copy untuk ambil makalah yang sudah kami pesan foto copy sejak kemarin. Toko itu pun belum buka. Kami terus melewati jalan M Jam munuju Gedung ICMI. Jarak rumah kami dengan Gedung ICMI hampir dua kilometer. 

Begitu kami tiba di bawah pohon besar halaman Gedung ICMI, gempa besar pun tiba-tiba menguncang. Saya turun dari sepeda modor yang mesinnya belum saya matikan, lalu merangkul istri sambil berjaga-jaga jika ada dahan pohon besar itu berjatuhan. Gempa berikutnya menyusul. Saya rangkul Mimi untuk sedikit bergeser, supaya tidak berada di bawah pohon besar itu. Mimi pun duduk di dekat meriam tua yang dipajang di halaman Gedung ICMI. Mimi saya mohon lebih tenang dan berhati-hati, karena dia sedang hamil tiga bulan untuk anaknya yang ketiga. Saya dan Mimi tidak meraga “terganggu” akibat gempa. 

Tak ada firasat apapun. Tidak ada bangunan yang runtuh di sekitar kami. Masjid pendopo Gubernur Aceh yang berjarak 200 meter dari kami masih utuh. Demikian juga gedung Museum negeri, tidak rontok. Kami kembali fokus pada rencana yang telah disusun. Mimi kembali pulang ke rumah. Saya hanya menitip pesan, supaya kue kotak untuk snack acara workshop di ICMI yang sedang disiapkan di rumah dapat diantar pukul 10.00 Wib. Rupanya Allah mentakdirkan inilah pertemuan saya yang terakhir dengan Mimi. Saya tidak tahu Mimi pulang ke rumah melewati jalan mana. Saat saya tinggalkan rumah, adik-adik (Nour Isna Nurdin dan Nour Leni Nurdin) dibantu Bunda (Hj Djamilah Sandang) dan Tati Baya sedang mengisi kue dan aqua dalam 80 kotak yang sudah disiapkan sejak semalam. 

Beberapa saat setelah gempa, saya dan petugas kebersihan Gedung ICMI, Nazar, melihat-lihat suasana Aula ICMI tempat workshop yang direncanakan pukul 09.00 Wib. Ruangan memang agak kotor akibat beberapa retakan kecil di sudut ruangan. Nazar membersihkan ruangan, menata meja dan mengatur korsi yang diperlukan. Saya menyampaikan kepada Nazar, bahwa makalah tinggal kita ambil, snack sedang disiapkan di rumah dan makan siang sudah dipesan di simpang Prada. Jadi, semua persiapan workshop sudah selesai. Jadi hanya menunggu peserta datang saja. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja air sungai Krueng Daroi di halaman Gedung ICMI meluap. Orang-orang berlarian dan masuk ke Sungai menangkap ikan yang mengapung. 

Mayat mengapung di Krueng Daroi. Banyak juga kotoran lainnya. Beberapa anak muda mengangkat mayat dari aliran deras air Krueng Daroi. Saya tidak terpengaruh dengan suasana itu. Saya tetap fokus pada penyiapan ruangan tempat workshop. Saya pun tidak tahu apa yang terjadi. Justru yang saya pikirkan: telah terjadi pasang besar, sehingga ada yang hanyut dan bangunan-bangunan di pinggir laut dibawa oleh air pasang. 

Seorang security Museum Negeri (sedang cari tahu siapa namanya) tiba-tiba mengabarkan bahwa di kampungnya, Alue Deah Tengoh, air laut telah naik setinggi pohon kelapa. Orang tua tenggelam dan hilang. Dia tidak bisa pulang lagi ke kampungnya. Ia menangis tersedu-sedu. Sementara saya masih berpikir, bahwa yang terjadi adalah banjir air pasang laut dan ketika air surut, saya bisa pulang dengan cara memutar melewati jalan Iskandar Muda terus ke arah Ulee Lhee, lalu belok melewati Deyah Geulumpang. 

Pukul 10.00 Wib belum juga ada tanda-tanda peserta workshop akan hadir. Saya berbicara dengan Nazar tentang kemungkinan banyak orang tidak menghadirinya. “Jika nanti nasi pesanan diantar dan berlebih, kita bagi saja kepada orang-orang yang ada di sekitar gedung ICMI,” kata saya pada Nazar. Saya menunggu perkembangan situasi ini hingga shalat duhur dan berdoa terlebih dahulu, baru kemudian merencanakan pulang ke rumah. Setelah shalat dhuhur dan berdoa di Gedung ICMI, saya minta tolong Nazar mengantar saya dengan sepeda motor untuk pulang ke rumah dengan melewati jalan Iskandar Muda, Ulee Lhee, lalu belok melalui Deyah Geulumpang. 

Ternyata, saya hanya dapat diantar sampai di Simpang Jam, Taman Sari. Sepeda motor tidak bisa lewat lagi, karena jalan telah dipenuhi lumpur. Lalu saya berjalan kaki hingga depan RRI Banda Aceh. Orang-orang mengatakan, “Kampung telah hancur dan kita tak bisa lewat lagi.” Saya saksikan tumpukan sampah bangunan rumah yang hancur dan mayat-mayat bergelimpngan. Ada juga yang merintih kesakitan tersangkut di tumpukan kayu, tapi tak ada yang menolongnya. Kondisinya nafsi-nafsi. Masing-masing mengurus dirinya sendiri. Sangat individualistik. 

Saya sempat lihat dari dekat dua mayat anak-anak yang diletakkan di pinggir jalan, siapa tahu mirip dengan anak kami, Nada Nursaid (Nada 6 thn) atau Rif’ah Nursaid (Rifa 1,5 thn). Ada juga mayat seusia Bunda Jamilah. Saya kembali ke Gedung ICMI. Saya berkesimpulan untuk ke rumah Sayuthi Sulaiman di jalan T Umar, Simpang Tiga, Seutui. Saya diantar Bang Burhanuddin Usman (Bang Bur) --senior di Warta Unsyiah. 

Rencananya Bang Bur mengantar saya sambil mengisi bensin sepeda motor di SPBU Lamteumen. Tak ada kabar berikutnya apakah Bang Bur berhasil mengisi bensin di SPBU. Di tempat Sayuthi inilah saya baru mendapat gambaran yang agak lebih jelas tentang apa yang baru terjadi. Saat itu saya berkesimpulan, bahwa istri, anak-anak, bunda dan adik-adik di rumah sudah tak ada lagi. 

Saya shalat ashar, berdoa dan mengiklaskan istri dan anak-anak kembali kehadirat Allah swt. Innalillahi Wainna Ilaihi Raji’un. Saya, Sayuthi dan Bang Fauzan Sulaiman “bertahan” di tempat Sayuthi (Toko Tasa) hingga esok pagi Senin 27/12/2004 kami di jemput untuk mengungsi ke rumah Bang Hilmi Sulaiman di Siyeu, Indrapuri, Aceh Besar. Anggota keluarga Sayuthi dan keluarga Bang Fauzan sudah terlebih dahulu di jemput kemarinnya. Ada 16 jiwa kami mengungsi di rumah bang Hilmi. 

Hari ketiga mengungsi di Indrapuri baru berhasil menyampaikan pesan kepada Iswadi Yasin di Masjid Raya Baiturrahman, “Bahwa saya masih hidup.” Iswadi, satu-satunya orang Baiturrahman yang tetap berada di masjid kebanggan rakyat Aceh itu. Saya menuliskan pesan itu dikertas untuk ditempelkan di pintu Redaksi Tabloid Gema Baiturrahman. Saya tinggal di rumah Bang Hilmi selama enam bulan hingga menikah dengan Bunaizah Sulaiman pada 26 Juli 2005 di Lampanah Dayah, Indrapuri, Aceh Besar. Bunaizah adalah adik kandung dari Sayuthi, Bang Fauzan dan Bang Hilmi. 

Pesimis Bisa Milad 

Awal perkenalan saya dengan Nour Izmi Nurdin (Mimi) dalam aktivitas pengajian (pembinaan pasca training) di Kantor PW PII Aceh jalan KH Ahmad Dahlan No 1 Banda Aceh (1991). Ketika itu, ia masih berstatus pelajar SMAN 1 Banda Aceh. Baru saja mengikuti basic training PII dan hampir setiap minggu datang ke kantor PII untuk mengikuti pembinaan lanjutan. Mimi, anak ketiga dari enam bersaudara. Abangnya yang tertua Nour Chalis Nurdin, kemudian Nour Rahdi Nurdin dan tiga adiknya Nour Isna Nurdin, Nour Leni Nurdin dan Nour Chaidir Nurdin. Ayahnya Nurdin Budiman, pensiunan Kandep Pendidikan dan Kebudayaan Banda Aceh dan ibunya Hj Djamilah Sandang, pensiunan guru SMKK Banda Aceh. 

Mimi yang saya kenal, anak yang santun, lues penampilannya bersahaja. Ia mendapat pembinaan yang cukup dalam keluarga. Kedua orang tuanya mengarahkan Mimi dan anak-anaknya untuk sungguh-sungguh menyesaikan pendikan dan membangun pergaulan dengan teman sebaya yang berakhlak mulia. Orang tuanya menesihati Mimi agar tak terpengaruh oleh pergaluan negatif dari sebagian remaja di kampung Alue Deah Tengoh, tempat mereka tinggal. 

Selain belajar di sekolah, Mimi aktif mengikuti pengajian al-Quran dan pendidikan agama di kampungnya. Malah sejak masuk SMA, Mimi mengikuti pengajian rutin (tarbiyah) pimpinan Suratman di Blower Banda Aceh, sehingga ia terbiasa dengan pola pakaian muslimah (menggunakan jubah dan jilbab standar), suka membacaan buku-buku islami dan Majalah Ummi. Ia mengoleksi banyak kaset nasyid islami. Perkenalan saya yang cukup lama dengan Mimi hingga kami menikah pada 19 Juli 1997, membuat interaksi kami seperti seorang adik dan kakak. Ia pun lazim memanggil saya dengan sebutan Kakak, sebagaimana ia sehari-hari menyapa senior lainnya di PII. Selain sebagai seorang istri saya juga memposisikannya “sebagai seorang adik”, sehinga praktis tujuh tahun lebih kami menikah tak pernah terjadi konfik dalam keluarga. 

Subhanallah. Dari rentang waktu pernalan saya dengan Mimi hingga kami menikah (1991-1997) seluruh kegiatan sosial keagamaan dan organisasi yang saya ikuti, Mimi juga berupaya melibatkan diri. Sambil menjadi mahasiswa Diploma 3 Marketing, Fakultas Ekonomi, Unsyiah, ia aktif mengikuti kegiatan organisasi intra dan ekstra kampus. Tugas akhir Kuliah PKL diambilnya di Baitul Qiradh Baiturrahman, Banda Aceh, lembaga yang saya pimpin ketika itu. Mimi aktif menjadi mentor Program Pendampingan Agama (PPA) di Mushalla Al-Mizan Fakultas Ekonomi Unsyiah. Ia juga aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan mengantarkannya pada jabatan puncak sebagai Ketua IMM-Wati DPD IMM Aceh. Dalam bidang pembelajaran Al-Quran Mimi menjadi guru TPA ‘Aisyiyah dan TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh. Mimi aktif sebagai pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah (LPPKS) BKPRMI, Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Centra Muda Putroe Phang (CMPP) PKBI, Muslimat Hidayatullah, dan PW ’Aisyiyah Aceh. 

Dicelah kesibukannya kuliah dan berbagai kegiatan keislaman, Mimi masih sempat mengikuti kursus menjahit, sehinga hampir seluruh pakaiannya sendiri dan anak-anaknya hasil jahitannya sendiri. Bahkan, dikalangan teman-temanya ia terkenal spesialis menjahit baju dan jilbab anak-anak. Setelah selesai kuliah, menikah dan memiliki dua putri, Mimi memang tidak memiliki pekerjaan tetap. 

Waktu yang ada ia maksimalkan untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Ia pernah habiskan sisa waktu untuk membantu Sayuthi Sulaiman jualan di toko kelontong di Simpang Tiga Seutui, menjadi anggota MLM Syariah Ahad-Net dan menjual berbagai bentuk tas dan pakaian wanita. Sore hari Mimi menjadi guru TPA di Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh. Satu catatan penting dari pernikahan kami, sejak awal bertekad saling menerima kekurangan dan perbedaan latar belakang masing-masing. 

Alhamdulillah, kami dapat mengelola keluarga dengan baik. Satu spirit membangun keluarga ketika itu, kami mencita-citakan dapat mengikuti seleksi menjadi keluarga sakinah yang tiap tahun diselenggarakan oleh Departemen Agama (Kementrian Agama). Sungguh kami telah merasakan berada dalam sebuah keluarga yang sakinah, walaupun kami masih menumpang di rumah mertua. Mimi dapat menerima kondisi keuangan keluarga kami yang pas-pasan. Mimi pun mambantu penghasilan tambahan dari honornya mengajar di TPA, manjahit dan usaha sampingan lainnya. 

Mimi adalah perempuan cerdas mengelola keuangan keluarga. Ia terbiasa dengan pola hidup sederhana. Saya mendapat tawaran kerja di Baitul Mal Aceh pada Januari 2004, padahal hampir tiga tahun sebelumnya saya tidak memiliki pekerjaan dan perhasilan tetap. Ketika saya berhenti sebagai Manajer Utama Baitul Qiradh Baiturahman (2001), saya bekerja sebagai wartawan Mingguan Atjeh Post, Majalah Hidayatullah, Majalah Sunanggroe DPRA dan Tabloid Suara Aceh Setda Aceh. Pada Agustus 2004 kami dapat merencanakan pembelian sepeda motor, dengan kerelaan Mimi menjual maskawinnya untuk menutupi kekurangan dana yang diperlukan. 

Dua bulan terakhir menjelang tsunami tak ada firasat apapun, bahwa kami akan berpisah untuk selama-lamanya. Hanya saya masih ingat dua isyarat, pertama, bulan-bulan terakhir kehidupan kami dalam keluarga serasa bagai masih sedang bulan madu. Bahagia dan begitu mesra. Bisa jadi secara psikologis ini pengaruh Mimi sedang hamil tiga bulan. Kedua, ketika beberapa kali saya sampaikan kepada Mimi, bahwa saya ingin merayakan ulang tahun (milad) ke 40 dengan memotong kambing dan mengundang teman-teman dekat untuk hadir kenduri, Mimi sangat pesimis. “Itu tak mungkin,” katanya. 

Bisa jadi keraguan Mimi ini akibat penghasilan kami yang minim. Numun, Allah Swt telah membuktikan kekuasaannya, bahwa sebelum usia saya mencapai 40 tahun pada 28 Desember 2005, kami harus berpisah karena gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Mimi dan dua anak kami (Nada 6 tahun dan Rifa 1,5 tahun) hilang dalam musibah dahsyat itu. Ikut hilang Bunda Djamilah Sandang, Nour Isna Nurdin dan Nour Leni Nurdin. Maka, tak ada lagi rencana ikut lomba keluarga sakinah bersama Mimi. 

Tak tak pula ada milad ke 40. Hari-hari menjelang kami dipisahkan oleh Allah Swt, anak kami Nada Nursaid sudah enam bulan sekolah di TKIT Ar-Rahman, Meduati. Ia sudah mulai bisa membaca. Sementara Bunda Djamilah Sandang sedang menyiapkan pernikahan Noer Leni Nurdin dan wisuda S1 Nour Chaidir Nurdin di Unisba Bandung. Semoga mereka semua dalam ridha-Mu ya Rabb. Allahummaghfirlahum. 

(tulisan ini dibuat setelah lima dan enam tahun tsunami)
SHARE :
 
Top