Dok. Liputan 6

LAMURIONLINE.COM | PALU - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho tampak mengunggah video fenomena munculnya lumpur dari permukaan tanah pasca gempa yang mengguncang beberapa daerah di Sulawesi Tengah.
Hal tampak melalui laman Twitter-nya,@Sutopo_PN, Minggu (30/9/2018).
Sutopo mengatakan, fenomena itu terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Dalam penjelasannya, munculnya lumpur dari permukaan tanah itu menyebabkan amblasnya bangunan dan pohon.
Fenomena yang bernama likuifaksi (liquefaction) itu merupakan perubahan tanah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan.
"Munculnya lumpur dari permukaan tanah yang menyebabkan amblasnya bangunan dan pohon di Kabupaten Sigi dekat perbatasan Palu akibat gempa 7,4 SR adalah fenomena likuifaksi (liquefaction) Likuifaksi adalah tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan," kicau akun @Sutopo_PN.

Diberitakan sebelumnya, gempa berkekuatan 7,7 SR mengguncang wilayah Sulawesi Tengah tepatnya 27 km Timur Laut Donggala, Jumat (28/9/2018) sekitar pukul 17.02 WIB.
Dikutip dari akun Twitter BMKG@infoBMKG, gempa 7,7 SR terjadi di kedalaman 10 kilometer, dan berpusat di 0,18 LS dan 119,85 BT.
Gempa yang mengguncang wilayah Sulawesi Tengah dirasakan beberapa kali karena adanya gempa susulan.
"#Gempa Mag:7.7, 28-Sep-18 17:02:44 WIB, Lok:0.18 LS,119.85 BT (27 km TimurLaut DONGGALA-SULTENG), Kedalaman:10 Km, Potensi tsunami utk dtrskn pd msyrkt #BMKG," tulis BMKG dalam Twitternya, Jumat (28/9).
30 menit kemudian, status peringatan dini tsunami berakhir.

Fenomena Likuifaksi
Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,4 yang mengguncang Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tengah pada Jumat 28 September 2018 menimbulkan fenomena likuifaksi atau 'tanah bergerak'.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, likuifaksi adalah penurunan tanah akibat memadatnya volume lapisan tanah.
"Fenomena ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air. Misalnya yang sering terjadi itu di dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya tanah pasir," jelas Dwikorita saat dihubungi oleh Liputan6.com, Senin (1/10/2019).
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memaparkan bahwa likuifikasi terbagi menjadi dua jenis. Ada yang berupa semburan air dari dalam tanah keluar memancar seperti air mancur.
"Bisa juga lapisan pasir itu menjadi padat karena gempa yang sangat kuat dan airnya terperas keluar sehingga mengalir membawa lapisan tanah tadi, jadi seakan-akan hanyut," ujar Dwikorita.
Pihak BMKG sendiri hingga saat ini belum bisa mencapai lokasi bencana. Namun, melihat pantauan dari media, Dwikorita menyatakan bahwa likuifaksi yang terjadi di Palu adalah tipe yang tanahnya hanyut bersama air.
"Suatu massa tanah yang luas yang ikut hanyut bersama air tadi. Ini baru visual dari televisi, itu perlu dilihat lagi," ujar Dwikorita.

Bahayanya Likuifasi

Bahaya dari fenomena 'tanah bergerak' ini adalah bangunan akan ambles masuk ke dalam. Hal itu karena airnya terperas ke luar dan tanahnya memadat jadi permukaan tanah turun. Pondasi bangunan ada di tanah itu jadi ikut turun, sehingga bangunannya ambles.
"Sehingga kalau ada bangunan bertingkat, itu yang kelihatan hanya tinggal tingkat tengah dan atas, tingkat bawahnya masuk ke dalam tanah," kata Dwikorita.
"Jadi itu kekuatannya cukup tinggi, bisa menghanyutkan semua material benda-benda yang ada di permukaan tanah tadi," papar Dwikorita.
Untuk pemulihan likuifaksi sendiri, Dwikorita menyatakan diperlukannya rekayasa setelah gempa selesai dan tidak ada guncangan-guncangan. Pemulihan tanah pun masih belum dapat dipastikan.
"Tergantung seberapa luas dampaknya. Kalau tidak terlalu luas, bisa. Tapi kalau sangat luas, ya tidak mudah. Rekayasa itu bisa tapi sangat dipengaruhi juga oleh seberapa besar volume dan luas area yang terlikuifaksi tadi," kata Dwikorita.

Sumber: LINEToday
SHARE :
 
Top