Youtuber Atta Halilintar masuk dalam daftar 10 YouTuber terkaya di dunia.

Berdasarkan data Purple Moon Promotional Product, Atta menduduki posisi nomor delapan dalam daftar itu dengan penghasilan diperkirakan mencapai Rp 269 miliar per tahun.


Sementara estimasi penghasilannya perbulan adalah 1,3 juta poundsterling atau setara Rp 22,4 miliar. Selain dari Youtube, Atta meraup penghasilan dari dunia akting dan musik serta memiliki toko online sendiri. 

Tingginya penghasilan Atta dari Youtube mengingatkan pada pernyataan pemerintah bahwa selebgram dan Youtuber pun tak terlepas dari kewajiban membayar pajak.

Saat ini, belum ada kebijakan khusus yang mengatur pajak untuk selebgram maupun Youtuber. 

Mereka membayar pajak mengikuti ketentuan pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan kepada pekerja seni. 

Sebagaimana dikutip dari situs Direktorat Jenderal Pajak, para influencer online terbagi menjadi dua kategori, yakni yang menggunakan jasa agen atau manajemen artis, serta yang independen. 

Bagi Youtuber dan selebgram di bawah naungan agensi, dikenakan PPh pasal 23. Sementara jika dia merintis sendiri, dikenakan PPh Pasal 21.

Bagaimana cara menghitungnya?


Atta merupakan Yotuber yang membangun sendiri bisnisnya atau pekerja seni yang bukan pegawai, maka ia dikenakan pajak PPh Pasal 21. 

Untuk penghasilan tahunan di bawah Rp 4,8 miliar, dasar pengenaan dan pemotongan PPh 21 (tarif norma) adalah 50 persen dari jumlah penghasilan bruto. 

Namun, karena penghasilan Atta lebih dari Rp 4,8 miliar pertahun, maka ia diharuskan membuat pembukuan untuk menghitung penghasilan netto-nya. 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, tingginya penghasilan Atta membuat penghitungan pajak Atta memang sedikit berbeda dengan pekerja seni lainnya.

"Jadi, menghitungnya dengan mengurangi penghasilan bruto dengan biaya yang berkaitan dengan usaha dia, seperti beli peralatan, menggaji karyawan," ujar Hestu kepada Kompas.com, Kamis (22/8/2019). 

Hasil dari pengurangan itulah penghasilan bersih Atta. Sebut saja, biaya operasional Atta sebagai Youtuber sekitar Rp 500 juta per bulan atau Rp 6 miliar per tahun. 

Kemudian, untuk menghitung pajaknya, gunakan lapis tarif PPh disesuaikan dengan besaran penghasilan. 

Pengenaan tarif PPh bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan yang diterima, maka akan dikenakan lapis tarif lebih tinggi. Hal ini diatur dalam Undang-undang PPh Pasal 17 ayat 1.

Atta memiliki estimasi penghasilan Rp 269 miliar pertahun, maka masuk dalam kategori penghasilan di atas Rp 500 juta. 

Lapis tarif pajak yang dikenakan hingga 30 persen. Dengan catatan, Atta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 

Sementara jika Atta sebagai wajib pajak yang tak memiliki NPWP, maka dikenai tarif 20 persen lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP. 

Kemudian, Atta statusnya masih melajang sehingga belum ada tanggungan rumah tangga. Maka, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dikenakan dalam setahun adalah Rp 54 juta.

Cara menghitungnya sebagai berikut: 

(Penghasilan bruto pertahun) - (pengeluaran operasional) - (PTKP) = Penghasilan Kena Pajak. 

Rp 269 miliar - Rp 6 miliar - Rp 54 juta = Rp 262,95 miliar 

Jadi, penghasilan kena pajak Atta sebesar Rp 262,95 miliar. 

Untuk menghitung besaran pajaknya, maka dikalikan dengan tarif PPh 21. 

Rp 50 juta x 5 persen = Rp 2.500.000
Rp 200 juta x 15 persen = Rp 30 juta 
Rp 250 juta x 25 persen = Rp 62,5 juta 
Rp 262,45 miliar x 30 persen = Rp 78,73 miliar 
Total = Rp 78,828 miliar. 

Jadi, perkiraan total pajak yang dibayarkan dari penghasilan Atta menjadi Youtuber pertahunnya sebesar Rp 78,828 miliar.

Lihat juga:
Cara mengganti nama channel Youtube di hp
Cara menjadi Youtuber pemula yang menghasilkan uang

Ditjen pajak pantau selebgram dan Youtuber


Ditjen Pajak memastikan terus memantau aktivitas wajib pajak di media sosial. Pemantauan itu mulai dari aktivitas mempromosikan produk di Instagram hingga konten video seperti di Youtube atau Vlog. 

Saat ini, Ditjen Pajak tengah mengembangkan sistem teknologi yang dapat memantau aktivitas wajib pajak di media sosial.

Dengan demikian, dalam melakukan pemantauan aktivitas wajib pajak di media sosial, Ditjen Pajak tidak perlu lagi melakukannya secara manual. 

Saat ini, Ditjen Pajak memiliki sebuah sistem bernama Social Network Analytics (SONETA) yang bisa menganalisis penyandingan data baik untuk pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN). 

Nantinya diharapkan bisa terintegrasi dengan setiap media sosial.

Otoritas pajak pun memiliki DJP enterprise search untuk menganalisis wajib pajak beserta entitas terkait seperti aset, anggota keluarga, dan kepemilikan perusahaan. 

Meski demikian, sistem tersebut saat ini baru bisa digunakan di internal otoritas pajak. 

Hal ini dilakukan untuk menambah basis data dari para wajib pajak yang saat ini sudah dimiliki oleh Ditjen Pajak. (Kompas.com)

Artikel lainnya:
Cara mengatasi Youtube tidak bisa dibuka
Cara membuat channel Youtube dari hp Android
Cara membuat akun Youtube di hp
Cara download mp3 di Youtube lewat hp
Cara upload video ke Youtube lewat hp
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top