Oleh Sri Suyanta Harsa

Ilustrasi
Muhasabah 5 Zulhijah 1440
Saudaraku, tema muhasabah hari ini masih mengambil ibrah dari nasihat Imam Hasan Al-Bashri, ulama masyhur dari generasi tabi'in. Imam Hasan al-Bashri mewanti-wanti, Ketahuilah bahwa kamu tidak mampu mencintai Allah sampai kamu mencintai menaati-Nya.

Dalam nasihat tentang cinta kepada Allah di atas setidaknya terdapat dua kata kunci yang berkelindan saling melengkapi satu dengan lainnya, yaitu cinta dan menaatiNya. Cinta harus mewujud pada ketaataan. Dan ketaatan melahirkan rasa cinta. Mencintai Allah harus dibuktikan dengan kesenangan dalam menaatiNya. 

Orang yang jatuh cinta kepada seseorang, maka ia akan bersenang hati melakukan apapun permintaannya dan menghindari apapun yang dibencinya, bahkan yang sulit sekalipun. Begitulah analoginya. Demikian juga mencintai Allah.

Secara agak lengkap, di antara bukti mencintai Allah tercermin dalam kehidupan kesehariannya. Pertama, hasrat dan keinginan untuk sesering mungkin atau selalu bertemu dan bersamaNya. Di samping melalui shalat baik yang wajib maupun sunat, juga mengorientasikan semua aktivitas hidupnya hanya untuk menggapai keridhaanNya.

Kedua, suka mengingat dan menyebut asmaNya. Hal ini sama halnya ketika kita menyayangi seseorang, maka kita gemar mengingat-ingat dirinya, kehadirannya, senang menyebut-nyebut namanya saat berjauhan. Ada perasaan damai dan bahagia saat mengingat dan apalagi bersamanya. Demikianlah di antara perilaku orang yang tengah jatuh cinta. Begitu juga halnya dengan Allah, kita senang melakukan zikrullah. Allah ya Waduud.

Ketiga, bergetar hati karena bertambah-tambah keimanan kepadaNya saat mendengar namaNya disebut dan firmanNya dilantunkan. Apalagi disebut asmaNya saat hati kita asyik mansyuk mengingatNya, ada perasaan trenyuh menyelinap di kesadaran insani kita bahkan tak kita sadari air mata membasahi pipi. Inilah tangisan yang justru paling membahagiakan.

Keempat, bergembira hati melakukan apapun untuk memenuhi keinginanNya, bahkan yang sulit sekalipun. Dan sebaliknya, dengan senang hati menjauhi apapun yang menjadi laranganNya. Jadi melakukan atau meninggalkan sesuatu dapat menunjukkan derajat kecintaan terhadap Allah sebagaimana nasihat Imam Hasan sl-Bashri.

Kelima, mengindahkan pesanNya. Karena pesan Allah kepada manusia termaktub dalam Al-Qur'an, maka orang yang mencintaiNya akan terus membaca pesan-pesanNya yang terkandung dalam ayat demi ayat dan mengindahkan pesan di dalamnya.

Keenam, bersama dan menyayangi orang-orang yang dicintai-Nya. Sebagaimana perhatian dan cinta Allah kepada anak-anak yatim, orang miskin, orang-orang yang jihad fi sabillah lainnya, maka begitu juga kita yang mencintaiNya.

Dengan demikian dalam ranah iman, cinta merupakan salah satu karunia Allah yang sangat penting. Makanya cinta idealnya dipahami sebagai perasaan kasih sayang yang kuat terhadap Allah dan rasulNya sehingga cenderung ingin selalu berkorban, memiliki rasa empati, perhatian, kasih sayang, ingin membantu (titah/agamaNya) dan mau mengikuti apapun yang titahkanNya. 

Namun karena cinta itu sangat mempribadi, maka pemahanan dan implementasinya juga sangat subjektif; bergantung pada penghayatan dan pengalaman yang dialaminya masing-masing hamba. Dalam tradisi esoterik, ajaran tentang cinta kepada Allah atau mahabbah pernah mencapai momentumnya pada diri Rabiah al-Adawiyah, sehingga sangat melegenda. 

Nah, cinta kepada selain Allah, baik kepada keluarga, tahta, harta maupun dunia lainnya, idealnya juga dalam rangka lillah; karena Allah, untuk memenuhi titah Allah dan senantiasa berada di jalan Allah. Makanya Nabi Muhammad saw dalam hadisnya bersabda, Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripad kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya."

Dengan demikian, kesempuraan iman dalam ajaran Islam menuntut kesempurnaan cinta. Oleh karenanya kecintaan kita kepada orangtua karena telah melahirkan, mendidik, dan membesarkan kita, atau kecintaannya pada isteri/suami karena telah saling asah asih asuh dalam biduk runah tangga, atau kecintaan kepada anak karena telah menjadi qurrata akyun (penyejuk mata), atau kecintaannya kepada harta karena dapat memfasiltasinya berbuat kebaikan, kecintaannya kepada tahta karena telah memberinya kesempatan untuk melayani umat, harus diorientasikan pada Allah semata.

Sebagai dasarnya cinta dipesankan oleh Allah, Katakanlah (Wahai Rasulullah), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.(Qs. Ali Imran 31)

Adapun cinta kepada keluarga dan harta mestinya ada dalam rangja mencintai Allah ta'ala. Allah mengingatkan, Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. (Qs. Ali Imran 14)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Al-Rum 21)

Dengan demikian cinta merupakan percikan karunia Allah sebagai Al-Wadud. Secara umum al-Wadud dimaknai bahwa Allah adalah zat yang maha mencintai. Dengan cintaNya, Allah menciptakan dan menghidupkan manusia serta menyediakan seluruh kebutuhan hidupnya. Setelah manusia dapat memenuhi kebutuhannya, ada di antaranya yang justru melupakanNya, namun Allah tetap mencintainya.

Allah berfirman yang maknanya, Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya.” (Qs. al-Buruj 13-14).

Oleh karenanya, dengan cintaNya, Allah menunggu pertaubatan hamba-hambaNya  seraya menyeru agar segera kembali ke jalanNya saja dan memohon ampunan padaNya. Allah berfirman yang artinya, Dan mohonlah ampun kepada Rabb-mu (Allah) kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesengguhnya Rabb-ku Maha Mencintai hamba-hamba-Nya lagi Maha Pengasih (Qs. Hûd 90)

Ketika berhasil merasa asyik mansyuk dalam cinta kepadaNya, maka sudah selayaknya mensyukurinya, baik dengan hati, lisan maupun dengan perbuatan nyata.

Pertama, bersyukur dengan hati, yakni meyakini sepenuh hati bahwa cinta kepada Allah menuntut bukti berupa kecintaannya dalam menaati titahNya. Jadi senang dalam ketaatan.

Kedua, mensyukuri dengan lisan, yaitu melafalkan alhamdulillahi rrabbil 'alamin dan memujiNya, agar cintaNya kepada kita bertambah-tambah dengan limpahan karuniaNya dan cinta kita kepadaNya juga bertambah-tambah dengan cara selalu memenuhi dan menaati titahNya.

Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata seperti selalu menyebutNya, mengukuhkan kecintaan kita kepadaNya dengan senantiasa memenuhi perintahNya, menjauhi laranganNya, membaca surat cinta atau kalam-Nya dan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun dzikir pengkodisian hati dan penyejuk qalbu guna menjemput hidayahNya agar dianugrahi hati yang diliputi rasa cinta welas asih adalah membasahi lisan dengan mengucapkan ya Allah ya Rahman ya Rahim ya Wadud.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top