Oleh Sri Suyanta Harsa


Muhasabah Yaumul Bidh Ke-1, 
13 Muharam 1441
Saudaraku, meskipun kita sering diingatkan bahwa perbandingan durasi antara hidup di dunia dan di akhirat itu ibarat hanya singgah dari suatu perjalanan yang sangat panjang, namun tetap saja hidup di dunia ini ada prosesnya. Sesuai garisan tangan masing-masing, saat singgah kita pasti mengerjakan satu dan lain hal. Seperti yang sering disebut selama ini, yakni singgah untuk minum, atau singgah di dunia ini bercocok tanam agar dapat memetik di akhirat sehingga dunia ini mazra'atul slhirat, sawah ladangnya akhirat atau hidup untuk mengumpulkan bekal terbaiknya dan seterusnya. 

Dalam hal betapa singkatnya hidup di dunia berbanding durasi hari di akhirat, Allah berfirman yang artinya 'Dan sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. Al-Hajj 47).  

"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (QS. Al-Sajdah 5)

Seandainya oleh Allah, kita dikaruniai hidup di dunia dengan umur rata-rata umat Nabi Muhammad saw yaitu sekitar 60 tahun, maka hanya sama dengan 1.4 jam saja untuk ukuran waktu di akhirat. Ini hanya perbandingan durasi hari, bukan dengan keabadiannya. Oleh karenanya persis seperti digambarkan seorang musafir yang mampir saja di dunia untuk kemudian melanjutkan perjalanannya menuju keabadian akhirat. Dengan singkatnya waktu hidup di dunia ini biasanya untuk memotivasi agar saat singgah itu tidak membuang-buang waktu untuk segera bertaubat dan berbekal serta tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk beramal salih.

Dalam hal ini Ali bin Abu Thalib menasihati Hasan putranya. Wahai anakku! Ketahuilah bahwa dirimu dicipta untuk kehidupan akhirat bukan untuk dunia...Dirimu kini berdiam di dunia sebagai "rumah sementara" dengan keadaan yang hanya mencukupi kebutuhan, dan kemudian dibawa berjalan di atas jalan menuju akhirat. Dirimu pun selalu dikejar oleh kematian yang tidak seorangpun terlepas dari kejarannya, ia pasti mencapai mangsanya. Maka, waspadalah, jangan sampai kematian mencapaimu saat dalam kondisi buruk. Walau barangkali dirimu berniat bertaubat, namun kematian yang datangnya lebih cepat bisa saja menghalangi antara dirimu dan niat pertaubatanmu. Bila ini terjadi, maka sejatinya dirimu telah menjadi penyebab kebinasaanmu.

Saudaraku, ibrah dari nasihat di atas di antaranya mengingatkan kita untuk berbekal dengan bekal yang cukup untuk dibawa ke akhirat. Allah mewanti-wanti ...Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal. (Qs. Al-Baqarah 197). Di samping itu, kita juga dituntun untuk segera bertaubat seraya kembali ke jalan  keridhaanNya tanpa mengulur-ulur waktunya, karena siapapun di antara kita yang dapat memastikan apakah setelah ini juga esok hari masih dalam jangkauan kita. Rasanya perjalanan waktu ke waktu di dunia ini begitu sangat cepat berlalu.

Karena sekarang kita masih hidup di dunia, tentu waktu berlaku perhitungan dunia. Untuk di sini singkat dan lama kemudian menjadi relatif. 60 tahun atau 90 tahun atau berapapun juga karunia hidup yang diberikan Allah kepada kita di dunia ini akan menjadi sangat bermakna dan berkah, hanya dengan 'bersama dan menggapai keridaanNya'. Dan sebaliknya sepanjang apapun kesempatan hidup di dunia yang diberikan Allah, akan terasa hampa bila tidak segera bertaubat dan tidak diisi dengan mencari keridaanNya.

Benar, memang, dalam  realitasnya, hidup di dunia yang sementara inipun sebagai ujian bagi manusia, termasuk keberadaan dunia itu sendiri; dunia dan segala kesenangannya seperti harta tahta dan wanita/pria. Pesona dunia ini berpotensi menggelincirkan, atau sebaliknya menjadi media ladang amal. Benar-benar sebagai ujian; katena ia pangkal penyebab kejahatan sekaligus kesalihan. Dengan keberadaannya, manusia bisa mendapat murka Allah atau memperoleh ridha Nya. 

Cobalah perhatikan!, karena demi harta, tahta dan wanita/pria ragam sikap dan kejahatan merajalela, seperti rakus, loba, kikir, iri hati, dengki, ingin berkuasa sendiri, ingin menang sendiri dan tidak mengenal halal dan haram. Dari sini lalu ada pencurian, pembegalan, perampokan, korupsi, penggelapan, intrik-intrik, saling sikut untuk berebut dan saling menyalahkan dan suka memerangi. Namun sebaliknya dengan harta, tahta dan wanita/pria kita juga bisa mendapatkan keberkahannya. Dengan harta kita bisa bersedekah, berinfak, berzakat, berwaqaf,  membangun bangsa dan negata juga agama di samping tentu bisa menafkahi keluarga. Dengan tahta kita bisa amar makruf nahi munkar, bisa membuat kebijakan demi kemaslahatan umat dan membangun peradaban. Dengan wanita/pria kita bisa membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah dan melahir-wariskan Islam antargenerasi.

Oleh kerenanya ketika lulus ujian dengan keberhasilan mengunpulkan bekal takwa, maka kita layak mensyukurinya baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.

Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa sebaik-baik bekal yang kita bawa ke akhirat kelak adalah takwa. Dan ketakwaan hanya bisa dikukuhkan saat kita madih hifup fi dunia ini. Maka kini adalah saatnya berbekal.

Kedua, mensyukuri dengan terus memujiNya dan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil 'alamin, semoga Allah mengaruniai kita hidayah dan inayahNya sehingga dapat mengunpulkan bekal takwa sebaik-sebaiknya.

Ketiga, mensyukuri dengan tindakan nyata yaitu mengerjakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Maka sehubungan dengan tema muhasabah hari ini, maka dzikir pengkodisian hati penyejuk kalbu guna menjemput hidayahNya adalah membasahi lisan dengan lafal ya Allah ya Syakur, ya Allah ya Syakur, ya Allah ya Syakur, ... dan seterusnya. Ya Allah, zat yang maha mengapresiasi, bimbing hati kami untuk terus bersyukur kepadaMu ya Rabb.
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top