Oleh T.A. Sakti


Image courtesy of https://www.tempat.co.id
“Tateh –tateh  sinyak dijak u Aceh!”. Keubeue ka diwoe taloe tinggai di Aceh!”. Itulah dua ungkapan lama yang masih membisiki benak saya sampai hari ini. Ungkapan itu dilantunkan para orang dewasa dalam menyemangati anak balita mereka yang mulai belajar berjalan. Sambil dipegang kedua tangannya, maka berjalanlah sang bocah menuju….”Aceh”. Karena diajak sejak kecil, akibatnya tertanamlah di jiwa setiap anak; sebuah cita-cita , yakni akan  merantau ke Aceh bila dia besar kelak.

Tempo dulu, yang dimaksud dengan sebutan  Aceh secara umum adalah wilayah Aceh Besar, sedang secara khusus, yakni  kota Banda Aceh .  Anehnya, bukan hanya manusia saja  yang doyan pergi ke Aceh, tetapi kerbau/binatang pun punya cita-cita yang sama. Kenapa setiap makhluk Allah  memiliki semangat untuk berangkat ke Aceh?. Karena ACEH itu BESAR!. Tetapi perlu diingat, bahwa sebelum Jantho ditetapkan sebagai ibukota Aceh Besar, provinsi Aceh dan kabupaten Aceh Besar sama-sama beribukota Banda Aceh.

Pada bulan puasa setiap tahun, suatu produk unggulan Aceh Besar yang paling populer di luar daerah asalnya tempo dulu adalah “gula jok”. Gula yang dibuat dari air pohon enau/ ijuk itu berbentuk bulat tipis dengan bingkai anyaman rawutan bambu yang indah kelihatannya pada mata anak kecil. 

Gula jok dipakai para ibu rumah tangga untuk isi boh rom-rom  sebagai makanan buka puasa. Selain  disebut boh rom-rom, panganan ini juga bernama boh meuc’rot, boh du beudoih, boh cicak malem, dan boh peukhem Teungku. Sangking enaknya gula jok itu, banyak anak-anak yang kadang-kadang  secara diam-diam ‘curi makan’ gula jok sampai mulutnya berbuih/meukeurimeh. Sampai hari ini, saya hampir tak pernah lupa mengirimkan gula jok kepada keluarga dalam bulan puasa.

Mengapa mesti dikirim?. Pertama, karena produk Aceh Besar ini  masih digemari generasi tua, yang juga tetap doyan boh rom-rom buat berbuka puasa. Kedua, gula jok sudah langka diperdagangkan di luar Aceh Besar pada bulan puasa; apalagi pada bulan-bulan lainnya. Karena itu, terpaksalah dikirimkan dari Banda Aceh, baik dititipkan pada teman-keluarga yang pulang atau pada armada bis L 300 yang mengantarnya sampai ke rumah.

Pertanyaan yang muncul, kenapa gula jok sekarang sudah langka di luar Aceh Besar, bahkan juga di Aceh Besar sendiri?. Bagi petani enau mungkin akan dijawab dengan apa adanya, yakni mungkin akibat selera masyarakat yang sudah berubah; yang tidak menyukai lagi gula jok. Bagi para pemimpin atau penguasa Aceh Besar tidaklah boleh menjawab sekenanya demikian.

Sebab gula jok adalah produk unggulan Aceh Besar yang telah teruji dari generasi ke generasi. Bahwa tanaman pohon enau (bak jok)  amat cocok tumbuh dan berkembang di Aceh Besar. Karena itu para pemimpin tak perlu bersusah payah mencari tanaman lain dan menganjurkan masyarakat menanamnya.

Padahal ternyata tanaman baru itu tidak sesuai dengan tanah setempat. Kalau buat perusahaan besar yang bermaksud membudidayakan tanaman industri; seperti kelapa sawit misalnya, dipersilakan saja untuk menguji coba, karena modalnya memang besar. Tetapi bagi warga gampong perlu tetap mengusakan pohon enau, karena memang pohon pusaka endatu-endatu mereka. Cuma kepada para pemimpin masyarakat desa mengharapkan jasa baik mereka. Para pemimpin,’ kan orang-orang yang banyak pengalaman dan mampu menyikapi jauh ke depan. Misalnya, upaya apa yang perlu ditempuh supaya masyarakat tetap gemar berkebun enau gula jok!.

Salah satu sebab seseorang mau tetap beristiqamah pada suatu pekerjaan, tentu karena kegiatan itu bisa menjadi tumpuan hidup baginya serta keluarganya. Bagi petani enau, yang didambakan pastilah dengan usaha gula joknya itu, mereka mampu hidup berkecukupan dan dapat memberi pendidikan tertinggi untuk putra-putri mereka; baik pendidikan Dayah maupun sekolah umum. Pasti para pemimpin tahu hal itu, maka  tak perlulah saya mengguyur sekarung garam ke laut.

Hendaknya  pada saat para calon pemimpin Aceh Besar yang akan menebarkan janji-janji kepada rakyat  pada setiap kampanye Pemilu,  ada pihak yang menaruh perhatian kepada soal ini dan mereka menepati janjinya.

Sejarah mencatat, bahwa pada abad ke 16 Sultan Aceh Al Kahhar  yang kehausan pernah ditolong oleh seorang  kepala kampung yang sedang  menyandang bambu ie jok/nira enau di rimba Lam Panaih, Aceh Besar. Saat itu sang sultan sedang dalam perjalanan ke Pidie dan mengalami kehausan yang amat sangat karena persediaan air minum habis. Dengan ie jok dari pekebun itulah sultan segar kembali. Berkat jasanya, ia diundang sultan ke istana. 

Sebagai tanda pengenal, sultan menyuruhnya menyandang bambu niranya (pacok ie jok) serta mengikat sehelai daun kelapa di kepala. Karena selalu menyandang bambu air enau setiap kali  ke istana, akhirnya ia digelar orang dengan Ja Sandang (Kakek penyandang bambu). . Kemudian, ia diangkat sebagai kepala kaum dengan pangkat Kadli Malikul Adil (Jaksa Agung dan  Hakim Agung  Kerajaan Aceh Darussalam).  Sejak itu terkenallah pantun rakyat yang berbunyi :  Sukee lhee reutoih ban aneuk drang/ Sukee Ja Sandang jeura haleuba/Sukee tok batee na bacut-bacut/Sukee Imum  peuet nyang gok-gok donya.

Begitulah nasib seorang  petani enau/ ie jok  Aceh Besar pada abad ke 16.  Bagaimana nasib mereka  di abad ke 21 sekarang?.

Tahun 1975, saya menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala dengan Nomor Induk 350. Sejak itu saya mulai sering bolak-balik antara kampung saya ke Banda Aceh lewat jalan Medan, tepatnya melintasi Lembah Seulawah. Satu hal yang amat mengesankan, bahwa di sepanjang jalan lembah Seulawah saat itu hutannya masih cukup lebat dan kita bisa menggigil bila melintasi jalan itu. 

Amat beda dengan  keadaan  sekarang, dimana kebun-kebun di kiri-kanan jalan sudah amat jarang dan hutan pun sering terbakar di musim kemarau. Akibatnya, kini kita sering melihat sejumlah kera/bue dan siben yang menunggu belas kasih para penumpang bis untuk melempar makanan. Hal ini menandakan lingkungan hidup di sekitar Seulawah mulai  tidak seimbang lagi..

Sebagai mahasiswa pertanian, segi ketertarikan saya tentu hal-hal yang terkait dengan bidang pertanian; termasuk perihal peternakan di dalamnya. Satu objek yang selalu saya perhatikan di pinggir jalan pegunungan Seulawah adalah “peternakan” sapi. Kalau tak salah ingat, lokasinya belum masuk wilayah Aceh Besar, berada di sebelah kanan jalan bila kita berangkat dari Medan. Tanah lokasi pemeliharaan  sapi  dipagar dengan bentangan kayu dan bambu besar-besar. Sekitar seperlima luasnya merupakan kandang, sedang selebihnya merupakan areal pelepasan ternak tersebut.

Semula saya menyangka, bahwa  itulah pembibitan awal ternak sapi yang nantinya  bila telah banyak akan disebarkan secara berangsur-angsur ke seluruh lembah Seulawah. Namun, setiap kali saya pulang-pergi setelah berselang berbilang bulan, lokasi peternakan sapi itu bukan semakin berkembang; melainkan menampakkan kemunduran. Ternyata dugaan saya meleset dan akhirnya tempat pemeliharaan sapi itu tidak meninggalkan bekasnya.

Sebagai mahasiswa pertanian tahun pertama saat itu, khayalan saya terus berkecamuk dengan beragam ide agar masyarakat Aceh Besar berkehidupan makmur. Saat itu saya tetap meyakini bahwa di lembah Seulawah dan sekitarnya memungkinkan dilakukan peternakan sapi atau kerbau. Mungkin saja ide saya dipengaruhi berita koran, yang pernah memberitakan, bahwa di lembah pegunungan Seulawah AKAN dijadikan areal peternakan secara besar-besaran. 

Diperkirakan daging sapi hasil peternakan itu melebihi kebutuhan daging di Aceh, sehingga harus diekspor ke sejumlah negara. Tetapi berita itu tidak menjadi kenyataan, sehingga saya pun terpaksa menunggu berita-berita AKAN yang lainnya.

Walaupun kenyataannya demikian, khayalan saya belum mau mengalah. Saya tetap yakin di kawasan Seulawah itu bisa diwujudkan peternakan. Sumber dari orang-orang tua menjelaskan, bahwa Uleebalang XXII Mukim Panglima Polem pernah menjadikan lembah pegunungan Seulawah sebagai areal peternakan kerbau. Beratus-ratus ekor kerbau hidup di sepanjang lembah itu, dan sebagiannya sampai menjadi kerbau liar{keubeue kleuet) akibat jarang melihat manusia. 

Dapat ditambahkan, bahwa wilayah Nanggroe XXII Mukim saat itu sampai ke Mukim VII Padang Tiji. Jadi dapatlah anda bayangkan betapa luas wilayah berdiwana kerbau-kerbau itu, yakni mulai Seulimuem sampai wilayah Padang Tiji sekarang.

Selanjutnya, lain pula jenis peternakan yang dipelihara pada zaman Belanda. Seorang keturunan bangsa Yunani yang bergelar Tuan Muda telah membuat kontrak sebagian  wilayah lembah Seulawah untuk peternakan sapi (leumo). Sejak itu sampai kedatangan Jepang diareal rimba Seulawah bisa dijumpai beratus-ratus ekor sapi yang telah menghidupi berpuluh-puluh para pekerja dan memperkaya Tuan Muda asal bangsa Yunani itu.

Mengenai  peternakan kerbau dan sapi di Lembah Seulawah itu, saya pernah menulis syair berikut ini : Leumbah Seulawah luah meuhalak/Tacruk ngon tapak rusak sigutong/Bah that jih luwah tinggai lam apak/Hanya sicupak na ureueng tinggong.

Yoh masa dilee wahe E Cut Kak/Keubeue meubulak rab rata linggong/Panglima Polem ureueng nyang po hak/Kalheueh geu-cubak leupah le untong.

Masa Beulanda meutamah ramphak/Leumo meusak-sak toe Simpang Beutong/Nan Tuan Muda tanoh ji kontrak/Ureueng nyan jarak Yunani gampong. 

Selain cerita masa lampau, para pakarpun pernah pula menyatakan, bahwa di Tanah Aceh amat cocok bagi pengembangan peternakan, dan salah satunya adalah peternakan sapi atau kerbau. Dan menurut saya, salah satu lokasi yang cocok buat usaha  tersebut yaitu di  Lembah Seulawah, Aceh.Besar. Pendapat pakar yang  paling baru muncul tentang cocoknya daerah Aceh untuk dibudidayakan peternakan sapi adalah dari seorang ekonom Universitas Syiah Kuala Prof. Jasman J. Ma’ruf. Pernyataan sang pakar ini berkaitan terlalu tingginya harga daging meugang di Aceh hingga Rp. 100.000,/per kilogram. Karena itu Jasman J. Mak’ruf menyarankan agar di Aceh dikembangkan sapi impor (Serambi,5 September 2008 halaman 23). Bila proyek sapi impor itu benar-benar berjalan, diharapkan harga daging di Aceh akan menjadi murah, paling kurang sebanding dengan harga di Medan Rp.45.000 per kilogram.Karena itu Prof. Jasman mengharapkan Pemda Aceh sedia memberi subsidi kepada pengusaha-pengusaha Aceh yang berminat di bidang penggemukan sapi-sapi impor. Caranya, Pemda mensubsidi bunga Bank kepada para pengusaha tersebut. Disamping itu, ekonom Universitas Syiah Kuala ini juga menyarankan Pemda Aceh untuk menunjukkan keseriusannya tentang program sapi impor itu; misalnya dengan menyediakan aturan pendukung yang kuat , seperti  Qanun maupun Peraturan Gubernur (Pergub).

Sebagai pendamba kemakmuran Aceh, saya sependapat dengan Prof. Jasman J. Ma’ruf. Hanya saja, mudah-mudahan kedatangan sapi-sapi impor ini tidak menghancurkan peternakan sapi lokal, yang hingga kini masih bertahan terutama di Aceh Besar. Dalam pemahaman saya, sapi – sapi impor itu biarlah dikembangkan di kabupaten-kabupaten lain di luar Aceh Besar. Toh dagingnya ‘kan sampai juga ke Aceh Besar untuk memenuhi konsumsi bagi mereka yang suka daging sapi impor. 

Sementara sapi lokal Aceh tetap menjadi sapi unggulan di Aceh Besar, sedangkan dagingnya pun dapat pula menutupi kebutuhan bagi mereka yang suka daging sapi lokal di seluruh Aceh. Kita tinggalkan dulu pendapat sang pakar, karena selama ini banyak saran para pakar tidak pernah terwujud di lapangan. Kemampuan para ahli hanyalah memberi saran berdasarkan keahlian ilmiahnya, sedang pelaksanaannya amat tergantung kepada kebijakan sang  pemimpin yang berkuasa; apakah mau dipraktekkannya atau dianggap angin lalu saja. 

Sudah berkali-kali saya mendengar kabar tentang pengelolaan lembah Seulawah secara bisnis, baik berupa pengadaan kebun-kebun buah-buahan atau pembudidayaan sapi atau kerbau, namun sampai hari ini belum pernah terlihat batang hidungnya. Malah pernah muncul gagasan untuk menjadikan areal pegunungan Seulawah sebagai taman pariwisata buah-buahan, yang mana setiap pengunjung dibiarkan memetik sendiri buah-buahan; namun kabar itu melesap bagaikan asap.

Memang masyarakat pedesaan Aceh Besar betul-betul sebagai peternak yang ulet, tekun dan tabah. Ternak yang paling banyak dibudidayakan adalah leumo (sapi)  dan kambing. Bila di beberapa kabupaten lain di Aceh, daging Makmeugang yang populer adalah daging kerbau; maka di Aceh Besar daging yang amat favorit adalah daging sapi. Belum pernah saya dengar ungkapan warga Aceh Besar yang menyebutkan “meunye tapajoh sie leumo lam buleuen puasa saket gigoe!”; seperti dulu sering saya simak di Pidie.

Betapa tidak demikian, karena makan daging sapi sudah menjadi warisan endatu di kabupaten Aceh Besar. Karena itu tidaklah mengherankan, kalau di banyak kampung di Aceh Besar tradisi memelihara lembu dan kambing sudah berlangsung turun-temurun. Bahkan dalam satu keluarga tidak hanya berternak sapi dua-tiga ekor; malah sekaligus dengan puluhan ekor kambing pula. Menjelang hari Makmeugang, baik meugang puasa, lebaran dan haji adalah hari-hari gembira bagi para peternak sapi di Aceh Besar, karena harga sapi pada saat itu tergolong tinggi. Sementara ternak kambing banyak laku terjual bagi kebutuhan masyarakat yang berniat berbagai kenduri seperti ‘aqikah, peutron aneukmiet, khanduri thon, sunatan dan sebagainya.

Dalam hal ini, saya berpendapat untuk bidang peternakan sapi lokal inilah Pemda Aceh Besar perlu memfokuskan perhatiannya. Tak usah mengimpor sapi dari luar negeri. Sapi lokal Aceh Besar saja sudah cukup bagus untuk dikembangkan. Karena toh menurut pengamatan saya, sapi lokal Aceh Besar  jauh lebih besar dan tinggi badannya dibandingkan sapi lokal di kabupaten lain. Hal ini bisa terjadi; mungkin saja para endatu warga Aceh Besar sudah sejak dulu sudah mengimpor sapi-sapi dari luar negeri; yakni sebelum orang-orang sekarang  berniat hendak mengimpornya, yang belum tentu pula bisa terbukti nantinya.

Kalau mau melihat rakyat Aceh Besar makmur; berilah subsidi kepada usaha pembudayaan sapi dan  kambing secara menyeluruh dan berkelanjutan. Soal makanan ternak tentu bisa diatasi, jika segalanya sudah diupayakan dengan dana yang cukup. Rumput gajah (naleueng gajah) amat subur tumbuhnya diputar Aceh Besar. Bahkan, saya lihat sapi-sapi di sini tidak cengeng tentang jenis makanannya, termasuk daun kedongdong (on keureundong) dirahot/direbut ketika ia sedang ditarik di jalanan oleh pemiliknya. Padahal biasanya daun keureundong itu makanan kambing (eumpeuen kameng).

Warga Aceh Besar juga  rajin berkebun sayur (meudabeueh). Berbagai jenis sayuran banyak dihasilkan daerah ini. Cuma saja, semuanya secara sederhana dan kecil-kecilan. Dan hal itu telah berlangsung dari generasi ke generasi; mengingat kota Banda Aceh sebagai titik pusat pemasarannya telah pun berusia ratusan tahun. 

Kini, sudah tiba saatnya para pekebun sayur itu dibina Pemda Aceh Besar dengan sungguh-sungguh. Bila hal ini betul-betul diberi fasilitas yang terus-menerus, saya yakin daerah Aceh pada umumnya dan Banda Aceh pada khususnya akan menjadi wilayah swasembada sayur;dan tak perlu lagi didatangkan dari luar provinsi.

Lembah Seulawah pun merupakan areal yang subur bagi tanaman buah-buahan dan sayuran.  Menurut penuturan orang-orang tua, pada era Belanda dan Jepang, di lembah pegunungan Seulawah  itu dipenuhi kebun berbagai jenis  buah-buahan dan sayuran. 

Tentang hal ini; menyambung syair Lembah Seulawah tersebut di atas saya pernah bersenandung begini: 

Di Tuan Laot di Jerman geujak/Tanoh geu- kontrak hak Erfpacht langsong/Buah-buahan digobnyan galak/’Oh watee masak geupot meutong-tong

Yoh masa Jeupang garang meugrak-grak/Romusha jisak keunan meuron-ron/Pula sayuran meumacam curak/Blang Putek ramphak bak kapai jitron.

‘Ohka merdeka Seulawah apak/Hana soe ajak investor dukong/Wahe peumimpin nyang duek bak pucak/Cok jalan bijak rakyat meu-untong!.

Begitulah sekelumit profil Aceh Besar; sebuah kabupaten  di Provinsi Aceh yang memang besar potensinya. Semoga bermanfaat!!!.

Penulis merupakan Pakar Budaya dan Sastra Aceh serta Dosen di Unsyiah
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top