Foto sumber: Klikkabar.com
Salah satu khanduri yang popular dalam masyarakat aceh adalah khanduri  ‘Asyura. Ini bermula dari kisah gugurnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Rasulullah ini gugur dalam pertempuran melawan tentara Yaziz bin Muawiyah di Karbala. Ini merupakan tragedi paling berdarah terhadap keluarga Rasulullah saw, setelah beliau wafat. 

Husen adalah pemegang kekuasaan yang diwariskan dari abangnya Hasan yang telah diracun terlebih dahulu atas suruhan Yazid bin Muawaiyah juga. Motivasi  di balik  tindakan itu adalah ingin merebut kekuasaan yang ada ditangan Husen. 

Gugurnya Husen terjadi pada 10 Muharram. Maka dalam hikayat Hasan Husen, salah satu bait yang berkaitan dengan kisah tragis cucu Rasulullah itu adalah :
       
//Bak  siploh uroe beuleun Muharram/  kesudahan Husen Jamaloe/ peu na mudah ta khanduri/. Poteu Allah bri pahla dudoe/ sepuluh hari bulan Muharram/ hari berpulang Husen Jamalul / apa yang mudah silahkan khanduri/pahala diberi hari kiamat// 

Dalam tradisi masyarakat Aceh, hari  itu selalu diperingati setiap tahunnya, dengan melakukan khanduri bersama. Biasanya dilakukan di meunasah atau di surau. Setiap keluarga membawa makanan dan penduduk  kampung baik yang membawa makanan ataupun tidak,  semua diajak makan bersama-sama. Yang didahului oleh doa bersama. Imuem (imam) meunasah biasanya yang memimpin do’a.

Bagi anak-anak , ini merupakan kesempatan untuk mendapatkan  menu yang sedikit lebih berkualitas. Ada sie manok, telur asin, daging dan ikan-ikan yang bagus. Di beberapa tempat , pada saat khanduri peringatan ‘asyura itu, Hikayat Hasan dan Husen dibacakan kepada yang hadir, beberapa bait, atau didendangkan secara bersama-sama.

Banyak diantara yang hadir menangis menyimak peristiwa tragis  yang menimpa keluarga Rasulullah pada hari ‘asyura itu. Di Iran, dan beberapa Negara yang mendapat pengaruh paham syi’ah, hari ‘asyura diperingati sebagai hari Yatim sedunia. Dalam sejarah awal masuknya Islam ke Aceh, memang suasana syi’ah sangat kental adanya. 

Semoga bagi para pendatang, pekerja dari luar Aceh, dan para pemerhati  budaya Aceh, mendapatkan pemahaman selayang pandang tentang  tradisi dan kebiasaan hidup masyarakat Aceh sejak dahulu kala. Bagi para peneliti yang lebih serius, tentu dapat menggantinya dari sumber-sumber yang lain, baik berupa ceritera lisan, sumber tertulis yang lengkap, atau melalui rekaman penuturan para pakar yang ahli.

(Sumber: Cuplikan tulisan Dr. Hasballah Saad “Khanduri Aceh, Jenis dan Ragamnya)
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top