Oleh: UU. Hamidy

Gambar sumber: pasberita.com
Banyak orang memandang Aceh dari sudut politik semata. Itu hal wajar, sebab kehendak Tuhan telah berlaku demikian rupa. Marilah melihat Aceh dari sudut pandang budaya, karena akan lebih menarik.

Tak bisa dinafikan bahwa Aceh pernah menjadi pusat bahasa Melayu, paling tidak sejak zaman Pasai. Pusat agama Islam dan ilmu pengetahuan sampai penghujung abad ke-l9. Dari sini muncul ulama besar pengarang yang ulung, seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al Sumaterani dan Nuruddin Ar-Raniry. Tak pelak lagi, meskipun Melaka merupakan kerajaan maritim  Melayu yang besar, namun ketika menghadapi pelik-pelik agama Islam meminta fatwa kepada Aceh.

Di dunia Melayu nusantara cukup terkenal dengan cerita binatang. Misalnya cerita kancil yang dijadikan sosok binatang cerdik, malahan mendapat julukan sebagai pelanduk jenaka. Tetapi semua cerita ini tidak pernah dituliskan oleh hikayat. Maka kita akan kagum ketika menjumpai hikayat binatang dalam masyarakat Aceh, bahwa cerita binatang sedikit, tapi yang banyak menceritakan manusia.

Karena itu dalam karya sastra Aceh tidak memakai istilah “cerita” tapi memakai kata hikayat, syair, haba jameuen dan tambeh. Lebih mengagumkan karena jumlah hikayat itu hampir dipastikan melebihi cerita binatang di belahan nusantara.

Menelisik hikayat Aceh tak dapat dilepaskan dari peran seorang ulama juga pengarang Aceh abad ke-20, A Hasjmy. Ia adalah juru tafsir hikayat Aceh yang piawai. Juga ada dua tokoh yang mengumpulkan hikayat, yaitu Anzib Lamnyong, seorang guru yang hidup bersahaja dan rendah hati, hingga tahun 1974, ia sudah mengumpul hampir 200 hikayat. Juga TA Sakti, yang dikenal sebagai kolektor hikayat. TA Sakti dengan kondisi fisiknya yang terbatas tidak pernah berhenti mencurahkan perhatiannya pada hikayat dan menulis hikayat yang dipindah dari Arab-Melayu ke dalam tulisan latin, serta menerjemahkan hikayat dari bahasa Aceh ke dalam bahasa Melayu (Indonesia). Tak heran kemudian TA Sakti dinobatkan sebagai tokoh budaya nasional.

Mengapa Orang Aceh Suka Hikayat?
Saat ini terhimpun hampir 1.000 hikayat di Aceh. Dominannya sastra ‘hikayat’ tersebut memperlihatkan orang Aceh dengan minda dunia Islam. Itu sebabnya, hampir semua yang ditulis para pengarang Aceh berkaitan dengan manusia, dan sedikit berkait dengan binatang.

Ajaran Islam menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena telah diberikan bekal oleh Allah Swt berupa panca indra dan potensi budaya. Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang istimewa karena ditugaskan melaksanakan wahyu. Maka masa depan umat manusia yang hakiki bukan di dunia tapi di akhirat.

Itulah antara lain pesan-pesan moral hikayat Aceh yang selalu bernafaskan ajaran Islam. Bagaimana manusia harus memiliki akhlak dan perangai mulia. Misalnya dapat dibaca dalam hikayat ‘’Srang Manyang’’ yang menggambarkan apa jadinya manusia tanpa akhlak mulia. Bagaimana seorang anak tanpa tahu membalas budi, bahkan durhaka seperti tokoh Aneuek Rhang Manyang, atau dalam ‘’Haba Jameuen’’, Sabab Teukabo(Sebab takabur).

Hikayat Aceh menggambarkan orang berperangai baik yang mendapat kehidupan sejahtera seperti dalam hikayat ‘’Nun Farisi’’, hikayat “Putroe Peureukison’’ dan hikayat “Putroe Gombak Meueh’’. Atau bagaimana watak seorang yang curang suka langgar janji diceritakan dalam hikayat ‘’Malem Dewa”, akibatnya Malem Dewa berpisah dengan isterinya. Tetapi setelah ia taubat, menjadi guru mengaji (teungku) dengan kekuasaan Allah Swt, dia bisa terbang ke kayangan mencari isterinya.

Sejarah dalam pandangan masyarakat Aceh harus ditulis, agar manusia dapat mengambil pelajaran dalam menuju hidupnya ke seberang. Hanya dengan mengambil iktibar manusia dapat menentukan arah hidupnya. Karena itu hikayat ‘’Raja-raja Pasai’’ dan hikayat ‘’Raja Aceh daripada Asal Turun Temurun’’ harus diperkenalkan kepada zuriat di belakang agar mereka tidak sesat. Riwayat senada dipertajam oleh hikayat ‘’Hasan Husin”, hikayat ‘’Prang Bada” dan hikayat ‘’Elia (Aulia) Tujoh”. 

Sejalan dengan itu yang telah menjadi takdir umat manusia harus direkam seperti ditulis dalam hikayat ‘’Malem Dagang”, hikayat ‘’Pocut Muhammad’’ dan hikayat ‘’Prang Kompeni’’.
Tema pokok hikayat Aceh memesankan tentang manusia yang harus memiliki iman yang teguh menghadapi medan dunia yang penuh dengan ranjau iblis dan setan. Manusia akan menghadapi cobaan Allah Swt, tetapi cobaan itu bukan untuk membuat mukmin sejati jadi celaka. Melainkan agar ia menjadi pemenang yang cemerlang.


Tugas hidup manusia adalah amal makruf nahi mungkar yang berpunca pada jihad di jalan Allah Swt. Inilah matlamat hidup yang sejati seperti dibentangkan dalam hikayat “Prang Peuringgi’’ dan hikayat ‘’Prang Sabi’’. Sedangkan dirinya sadarilah :

Tiada kau tahu akan agamamu
terlalu ghurur dengan hartamu
Nafsu dan syahwat daim sertamu
Asyik dan mabuk bukankerjamu
Hunuskan mata tunukan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
laut tauhid yugia kau harung
Itulah ilmu tempat bernaung
Dunia nan kau sandang-sandang
Manakan dapat ke bukit rentang
Angan-anganmu terlalu panjang
Manakan dapat segera memandang
(Ruba’i Hamzah Fansuri).

(Sumber:  Serambi Indonesia, Opini, Minggu, 12 Agustus 2007, halaman 22  dan blog Bilik Kreatif )

*Catatan Penyalin: Hikayat Binatang yang dimaksud berjudul “Hikayat Kisason Hiyawan” (Hikayat Kisah Binatang) telah saya alihkan dari Jawi/Jawoe ke aksara Latin dan dua kali sudah diterbitkan serta pernah saya hadiahkan ke beberapa Pustaka di Banda Aceh ( T.A. Sakti )
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top