Oleh: UU Hamidy
Gambar sumber: selidikiaceh.com |
Ia lebih suka menghilang daripada menampakkan diri. Kalau tidak oleh jerih payah karyanya, ia akan dilupakan begitu saja, lenyap dalam ruang dan waktu. Padahal, ia seorang narasumber sejarah yang jujur, yang merekam berbagai peristiwa jihad para pejuang Aceh melawan Belanda.
Ia mengenal dengan jelas Teuku Nya’ Arif (Panglima Sagi 26 Mukim) dan Panglima Polem Muhammad Daud Syah (Panglima Sagi 22 Mukim). Bahkan peristiwa Leem Abah mengamuk Belanda di muka Balai Teuku Umar, karena semangat jihadnya berkobar oleh pembacaan Hikayat Prang Sabi, masih terang dalam ingatannya, tatkala ia sudah berusia 82 tahun. Itulah dia tokoh Anzib Lamnyong.
Anzib Lamnyong adalah anak jati Aceh. Ia lahir tahun 1892 di Silang, Kampung Rukoh, Darussalam, bertepatan dengan kedatangan C Snouck Hurgronje ke Aceh.
Sebagaimana anak-anak Aceh, ia belajar mengaji kepada Syaikh Ibrahim bin Syaikh Marhaban, yang kebetulan narasumber Snouck dalam studinya mengenai masyarakat Aceh. Anzib menamatkan Normal Cursus (Sekolah Guru) tahun 1912 di Kutaraja. Sejak itu, ia menjadi guru di beberapa sekolah rakyat di Aceh, sehingga berbakti 45 tahun, dengan pensiun tahun 1957.
Pada suatu peristiwa, Mohd Jam (gurunya), menyuruh Anzib tampil ke papan tulis menuliskan kata kapai (bahasa Aceh) dengan huruf Arab-Melayu. Anzib menuliskan kata itu sesuai bunyi bahasa (fonem) yang terkandung dalam ucapannya. Sayang, ia disalahkan oleh sang guru. Ia malu dan tertekan karena gurunya mengatakan dirinya ‘’bukan anak Aceh’’.
Anzib tegak berdiri bingung dan malu di depan kelas. Selanjutnya sang guru melanjutkan dan menerangkan bahwa kata kapai itu mestilah ditulis ‘’kapal’’. Sebab, walaupun ditulis ‘’kapal’’, orang Aceh tidak akan membacanya demikian. Orang Aceh tetap akan membacanya kapai seperti juga dialami kata-kata lain bahasa Aceh yang memakai tulisan Arab-Melayu. ‘’Kalau tidak percaya,’’ kata gurunya, ‘’lihatlah hikayat-hikayat Aceh!’’
Peristiwa itu membuat Anzib muda berpikir keras. Dalam dirinya terdapat dua kekuatan: kebenaran dirinya atau kebenaran gurunya. Ia bertanya dalam hatinya, apakah memang dalam buku-buku hikayat itu beberapa perkataan Aceh ditulis seperti kata-kata bahasa Melayu, tetapi tetap dibaca dalam bahasa Aceh? Jadi, kalau begitu, lain ditulis lain dibaca? Aneh, sungguh aneh!
Peristiwa itu, oleh Anzib Lamnyong tidak hanya sampai di sana. Ia benar-benar ingin mendapatkan kebenaran, menghilangkan kesangsian antara pendapatnya dengan keterangan gurunya. Sejak itu mulailah ia menaruh perhatian pada hikayat Aceh. Tahun 1916, Anzib membuat pustaka di rumahnya. Hikayat dan tulisan dalam naskah-naskah lama ia baca dan periksa. Terbuktilah perkataan sang guru.
Namun, Anzib bukan Abdul Aziz, jika hanya semangatnya sampai di situ. Ia tahu, tiap kebenaran adalah ilmu; dan ilmu bagaikan langit. Makin tinggi mencapainya, makin luas yang belum kita tahu. Semakin banyak ia membaca hikayat, semakin banyak diperolehnya kebenaran. Maka semangatnya untuk membaca dan mengumpulkan hikayat-hikayat semakin menjadi-jadi. Naskah atau hikayat itu dibelinya. Kalau tidak bisa, akan disalinnya.
Berselang beberapa tahun ia mengumpulkan dan membaca naskah-naskah ini, sadarlah ia bahwa sumber-sumber ini semakin menipis, sehingga hampir dapat dipastikan akan lenyap pada suatu ketika. Karena itulah berbagai naskah itu disalinnya. Kemudian hasilnya diberikan kepada para peminat, dengan niat berbuat kebajikan melalui hikayat tersebut.
Sampai pada tahun 1974, pustaka Anzib berhasil mengumpulkan 1.964 judul, meliputi bahasa dan budaya Aceh. Pustaka ini menyimpan lebih dari 200 hikayat dan masih ada 200 hikayat lagi yang akan disalin. Dalam helat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) tahun 1972, sebagian besar koleksi perpustakaan Anzib dipamerkan. Melihat usahanya yang serupa itu, panitia PKA memberikan penghargaan kepada Anzib. Pada tahun 1974, Anzib Lamnyong memperoleh Piagam Penghargaan dari Gubernur Aceh atas jasa dan karyanya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.*
(Sumber: Rubrik Rangkang dalam ‘ Aceh Magazine’ bulan April 2007 dan blog Bilik Kreatif ).
0 facebook:
Post a Comment