Oleh: T.A. Sakti

Gambar Source: Okezone.news.com
Dalam pandangan masyarakat Aceh tempo dulu, bulan Shafar (baca: Safar/Safa) adalah bulan panas dan banyak naasnya yang bisa membawa bahaya. Anak yang lahir pada bulan Safar pun dianggap berwatak ‘panas’ yaitu pemarah karena “Seumaloe Safa” (pembawaan Safar). Para orang tua, biasanya akan menasehati anggota keluarganya agar tidak melakukan segala kegiatan pada bulan ini secara berlebih-lebihan, karena bisa mendatangkan bahaya atau bala.

Sehubungan dengan pandangan ‘bulan panas’ itulah, maka di Aceh hidup Tradisi Mandi Safar yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Upacara Mandi Safar ini dilakukan pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar, sehingga dalam bahasa Aceh disebut Manoe Rabu Habeh (mandi hari Rabu terakhir di bulan Safar). Kenapa mesti hari Rabu?. Karena dalam pandangan tempo dulu, hari Rabu adalah hari yang naas, yakni ada bahayanya disaat-saat tertentu di hari itu.

Banyak unsur ‘misteri’ dan spiritual yang hilang dari tradisi Mandi Safar dewasa ini. Walaupun masih pada bulan Safar, tetapi hari “H” Manoe Safa tidak lagi dilakukan pada hari Rabu, tetapi pada hari Minggu. Penyebutan Manoe Safa/Mandi Safar pun sudah amat jarang terdengar. Paling-paling orang hanya menyebut “Jak manoe u laot (pergi mandi ke pantai atau jak u pasi). Jadi, pada masa kini Mandi Safar sama sekali sudah terlepas dari rasa  misteri dan kepercayaan. Tradisi Jak manoe u pasi sekarang sudah dianggap sebagai rekreasi biasa, pergi hura-hura atau bertamasya/piknik dalam setahun sekali.

Menurut penuturan orang-orang tua, mereka melakukan Manoe Rabu Habeh tempo dulu dengan penuh harapan dan kelegaan. Sebab, setelah melaksanakan upacara itu mereka percaya, bahwa kehidupan mereka akan bahagia, sukses dan jauh dari berbagai rintangan hidup. Bila sebelum itu ada rasa was-was dan pesimis, namun setelah upacara tersebut, rasa optimis dan lega timbul serempak memnuhi jiwa. Rasa kemengangan ini akan lebih berbunga-bunga  lagi jika yang merasakannya adalah anak-anak.

Betapa tidak!. Sebab seluruh upacara Manoe Safa itu, sejak dari awal sampai ke ujungnya sangat sarat dengan kepercayaan agama. Jauh beberapa hari sebelum hari ‘H’, anak-anak sudah diajar membca ‘niat manoe safa’, yang inti isinya meminta atau memohon kepada Allah Swt agar dijauhkan dari segala bala serta terhindar dari fitnah Dajjal. Tersiar pula berita sebelum hari ‘H’, bahwa ulama-ulama kharismatik, panutan rakyat, telah pula pergi ke pasi/laut dan hulu-hulu sungai (pucok krueng) untuk menanam di dasar sungai berbagai ‘surat do’a’, sehingga dipercaya Manoe Rabu Habeh akan lebih besar manfaat dan mujarabnya.

Memang, Tradisi Mandi Safar di Aceh tempo dulu sangat berbeda dengan upacara Jak Manoe U Laot sekarang. Malah pada  zaman Sultan Iskandar Muda alias Poteumeureuhom hari ‘H’ itu adalah hari libur nasional, karena dilaksanakan secara nasional-kenegaraan. Perihal itu tersebut dengan jelas dalam kitab “Adat Aceh” warisan Sultan Iskandar Muda, yang nama kitab itu telah saya salin ke huruf Latin dari huruf Arab Melayu/Jawoe.

Khusus bagi upacara Mandi Safar yang akan diikuti Sultan Aceh, persiapannya sudah dilakukan panitia khusus sejak dua bulan sebelum hari H-nya.

Dalam hal ini, panitia yang dipimpin Syahbandar Muktabar Khan sudah mulai bekerja sejak bulan Haji - Zaulhijjah-Muharram s/d Safar. Salah satu tugas dari panitia khusus ini adalah membangun ‘Istana Mini’ di tepi laut tempat Sultan Aceh bersemanyam selama upacara Mandi Safar itu. Pada hari ‘H’, maka diaraklah Sultan Aceh dengan penuh kebesaran; mulai dari Istana Darud Dunia (Kraton Aceh) sampai ke Istana Mini di pinggir pantai itu. Maka upacara Manoe Rabu Habeh pun berlangsung dengan meriah, megah dan penuh misteri!. 

Penulis merupakan Pakar Budaya dan Sastra Aceh
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top