Oleh: Dr Hasballah Saad

Sumber ilustrasi: antarafoto.com
Khanduri  menjadi khas masyarakat Aceh. Dalam Masyarakat Aceh bila mempunyai hajat, apakah itu ketika mendapat kenikmatan sesuatu atau ditimpa musibah, biasanya melaksanakan khanduri. Khanduri itu sebagai pengabdian atau tanda ingat kepada Yang Maha Kuasa. 

Khanduri  itu dilakukan dengan menjamu saudara, tetangga dan kerabat untuk makan bersama utamanya yang kurang mampu. Maka ada istilah khaduri hidup dan khanduri kematian. Khanduri selalu dipandang dan terkait dengan status sosial (orang kaya atau tokoh masyarakat).  

Dalam kasus tertentu, seperti khanduri thon (tahunan) dilaksanakan khusus, para qari membaca Al Qur’an  dan melantunkan lagu-lagu pujaan, teungku membaca doa dan lainnya.

Beragam khanduri di Aceh. Ada khanduri Tujuh (menujuh  hari) yang terkait  dengan kematian seseorang  (pada hari ketujuhnya). Meskipun setiap malamnya para tetangga dan kerabat hadir melayat membaca Tahlil, membaca Qur’an, dan tausiah kepada keluarga yang kemalangan, tapi pada hari ketujuh merupakan puncak, dan biasanya diundang orang-orang khusus. 

Di samping itu ada khanduri tiga puluh, atau empat puluh empat, biasanya diakhir upacara meudoa, pada khanduri khusus ini, pemilik hajat memberi  sadaqah. Besarnya sedekah tergantung kepada status social dan kemampuan ekonomi sang tuan rumah.  Teungku biasanya diberikan dalam jumlah extra, anak-anak lebih sedikit dari orang dewasa.

Khanduri blang, agak khusus sifatnya, dilakukan setahun sekali  ketika musim bersawah akan dimulai. Beberapa ekor sapi dipotong di suatu tempat yang dianggap keramat, biasa di kuburan orang ternama (Teungku di Blang, atau tokoh pertanian yang telah lama tiada). 
Sering khanduri ini dilaksanakan di hulu sungai, di tengah sawah atau  di tempat  di mana pohon tumbuh di tepi hutan. Untuk tingkatan satu aliran sungai kecil, masyarakat biasanya memotong biri-biri.

Peserta khanduri membawa bu kulah ( nasi bungkus dengan daun pisang yang diasapi), bu kulah di sajikan kepada tetamu terhormat  yang diundang dari kecamatan, atau mukim tetangga. Setelah upacara membaca doa-doa, maka seseorang tokoh terkemuka, seperti kepala mukim, atau kujruen blang, memberikan pengumuman tertentu.

Seperti kapan harus membersihkan selokan, memperbaiki irigasi desa, awal musim membajak lahan, atau saat mulai menabur benih. Ini merupakan komando, dan koordinasi antara petani di hulu dan di hilir agar distribusi air bisa merata.

Khanduri maulud, berkenaan dengan memperingati kelahiran Rasulullah saw.  Khanduri maulud ini dapat berlangsung selama rentang waktu seratus  hari. Dalam bulan penanggalan Aceh, ada buluen maulud, Adoe Maulud, Kumuen maulud dan Cuco maulud yang hanya sepuluh hari sehingga tiga bulan dan sepuluh hari itu genap menjadi seratus hari. 

Dalam penanggalan hijriah,  maulud dimulai dengan bulan Ra’biul  awal,lalu Ra’biul akhir, Jumadil awal dan sepuluh hari Jumadil akhir. Tradisi khanduri maulud itu juga ditandai dengan pembacaan zikir, puji-pujian kepada Rasulullah. Ada pembacaan bezanji, atau shalawat Rasul, yang dilantunkan bersama, sebelum makanan disantap. 

Tetamu biasanya diundang dari  desa tetangga, dan ini akan saling berbalas mengundang. Khusus untuk tetamu pribadi, undangan dijamu di rumah masing-masing. Tetamu pribadi, selalu membawa bungong jaroe (buah tangan) berupa gula pasir ,roti, pisang, sirih, atau buah buahan lainnya.

Anak-anak bergembira  ria selama musim maulud ini. Makanan yang tidak habis dimakan dalam upacara yang biasanya digelar di lapangan meunasah atau mesjid, boleh dibawa pulang. Ditengah perjalanan  kerap kali dimakan lagi, di pematang sawah,di tepi sungai atau balai balai persinggahan. 
Para ibu dan anak perempuan menanti  “bu maulud” di rumah, makanan yang telah dicampur lauk, bekas dimakan lelaki, ditunggu dengan penuh harap. Rasanya yang memang enak dan mengundang selera. 

Dalam khanduri maulud tidak ada sedekah uang diakhir upacara. Selain membaca zikir, shalawat nabi atau berzanji,tak ada doa khusus yang dibacakan.  Peranan penting selalu ada di tangan sang pembuka hidang, karena dia paling berkuasa membagi  bagi makanan.

Ayam panggang telur asin, atau udang galah tumis selalu hilang terlebih dahulu,  disembunyikan sang pembagi, atau prioritas selalu kepada anak, atau sanak keluarganya.

Khanduri Samadaroh, berasal dari kata- kata Tadarus.  Dalam bulan ramadhan, orang Aceh selalu membiasakan diri menghabiskan waktu malamnya  dengan membaca Al ‘ di meunasah atau di surau secara bersama sama.

Tadarus Qur’an ini merupakan kelanjutan shalat taraweh berjamaah. Setiap kali bacaan Qur’an khatam, maka ada khanduri yang disebut khanduri tamat, atau Samadaroh (barang kali dari kata tamat tadarus).  Bu tamat, biasanya disantap menjelang sahur, sebelumnya dilakukan dzikir. Ada doa pendek yang dipimpin  imam meunasah. 

Khatamul  Qur’an‘, menamatkan bacaan quran dilantunkan bersama. Khanduri samadaroh ini hanya dihadiri oleh para lelaki dan anak anak saja, para ibu dan anak perempuan jarang hadir, karena acara santap biasanya setelah tengah malam,  anak- anak yang ketiduran di meunasah sehabis membaca Alquran dibangunkan. Acapkali, shalat subuh menjadi terlambat karena ketiduran sehabis sahur dengan samadaroh itu.

Khanduri Meukeurija, untuk pesta perkawinan Aceh. Dulu ada  ungkapan bahwa  orang Aceh pergi berperang seumpama pergi ketempat meukeurija. Itu bermakna orang Aceh tak takut berperang, dan gembiranya menuju medan perang seumpama senangnya orang pergi ke pesta perkawinan. Itu terkait bahwa “bila mati dalam perang suci, maka dia akan mendapat pahala Syahid, dimana  tanpa hisap, langsung menuju Surga Allah swt’’.

Tamu umum yakni kerabat, tetangga, handai taulan, dan tokoh masyarakat yang dikenal . Ada pula rombongan pengantar lonto baro (pengantar pengantin baru laki laki) yang datang khusus bersama pengantin. 

Jumlah rombongan disesuaikan dengan perjanjian. Dan tergantung uang hangus (biaya pesta yang ditanggung pihak laki laki) yang disepakati terlebih dahulu, melalui seulangke (perantara resmi).

Peristiwa antar pengantin ini biasanya menjadi ajang saling lirik antara peserta. Rombongan pengantin laki laki, terdiri dari kerabat dan kawan dekat  yang masih lajang. Beberapa tokoh dan orang patut patut, hadir sebagai pengetua dan pembuka jalan. Di pelaminan, anak anak muda lah mendominasi, sehingga para gadis di samping mempelai wanita menjadi inceran rombongan sang pengantin lelaki. Tidak jarang, peristiwa itu diikuti oleh perkenalan hingga menuju pelaminan berikut, tak lama setelah saling lirik terjadi di pesta itu.

Linto baro, disuguhkan hidangan santap penuh hiasan dan kualitas tinggi. Dada  ayam panggang, telur asin, gulai daging, atau eungkot rambeue   (ikan kuek) yang mahal. Panganan Aceh  menjadi hiasan hidang. Sang pengantin biasanya tidak memiliki selera makan, karena lebih memikirkan  malam malam selanjutnya sehabis pesta. Para pendampinglah yang menikmati makanan khanduri itu dengan lahapnya.

Tetamu yang diundang pada pesta perhelatan pesta perkawinan, disyaratkan membawa amplop, yang berisi uang tunai. Teumeuteuk namanya untuk menyerahkan amplop itu, sebagai tanda syukur dan ikut bergembira dan berpartisipasi. 

Dahulu,  sebelum budaya undangan dengan kartu undangan di praktekkan, dalam kebudayaan Aceh, ada ranup pate (sirih berlipat) yang diantar kepada orang-orang yang diundang. 
Bagi undangan biasa cukup dengan sehelai sirih, namun bagi undangan tertentu, seumpama pihak besan,orang patut,ulama, tokoh adat, maka ranup pate dibuat berlapis sesuai dengan martabat dan kedudukan seseorang.

Khanduri Apam. Dalam system penanggalan Aceh bulan dinamakan sesuai dengan peristiwa tertentu. Bulan maulud dinamakan untuk bulan bulan yang penuh dengan khanduri maulud Nabi. Bulan puasa dinamakan bulan ibadah. Demikian pula buleuen  Apam (bulan  apem). Karena sepanjang bulan itu orang Aceh melakukan khanduri Apam. Ini sama dengan bulan rajab dalam system penanggalan hijriah.

Dalam bulan rajab banyak sejarah penting terjadi dalam sejarah Islam.  Oleh karena itu, orang Aceh mensyukuri peritiwa penting dengan melakukan syukuran menyajikan apam sepanjang bulan itu. Para pejalan kaki atau siapa saja yang lewat sebagai musafir, selalu dijamu tanpa harus diundang  terlebih dahulu,  tak ada kewajiban membawa buah tangan untuk tuan rumah.

Dalam beberapa kasus, apam diantar ke meunasah, atau balai balai umum di desa. Untuk disantap oleh siapa saja. Ada apam kuah tuhe (Apam dengan kolak pisang) atau apam u(apam dengan parut kelapa), tergantung status social yang punya hajat.

Konon dahulu kala ada seorang yang dihormati bernama Abdullah Rajab, wafat tanpa ada yang mengkhandurikannya. Maka siapa saja berkemudahan, dianjurkan untuk khanduri Apam, guna mengenang kematian tokoh itu.

Khanduri Ie Bu Babah Jurong   Dalam bahasa Aceh adalah bubur beras yang cair dengan campuran santan kelapa. Khanduri ie bu dilakukan  diujung jalan desa, biasanya ditandai adanya kuburan keramat, pohon besar atau balai-balai desa.

Khanduri ini lebih sebagai ritual penolak bala, menghindari wabah penyakit yang massal seperti cacar, kolera, atau peulaweue. Dulu peulaweue sangat ditakuti orang, karena merupakan wabah yang cepat menular dan sulit dicegah. Orang Aceh menolak bala itu dengan khanduri ie bu babah jurong.

Biasanya bubur ini tidak diberi pemanis atau gula, paling hanya dicampur pisang. Beberapa bagian, disajikan dalam tempat khusus, seuleuke (kotak daun pisang yang dirajut dengan lidi). Di dalam kotak itu diisi bubur, lalu diletakkan di tempat tertentu sebagai sesajen untuk makhluk halus, dan roh jahat, agar dia menjauh dari desa.

Betapa pengaruh hindu cukup kental  terasa dalm sesajian seuileuke ini. Kapan dan dimana  persinggungan budaya hindu dalam Islam di Aceh , tak ada catatan resmi yang diketahui dengan pasti, namun hal ini telah menjadi tradisi dan bahagian dari keseharian hidup orang Aceh sejak dahulu. 

Banyak lagi khanduri seperti  khanduri laot (pesta nelayan), khanduri padi (panen padi), khanduri peutron aneuk (menurunkan anak), khanduri aqiqah, keumaweueh, peucicap, dan khanduri sunatan Rasul.

Khanduri ‘Asyura.
Salah satu khanduri yang popular dalm masyarakat aceh adalah khanduri  ‘Asyura. Ini bermula dari kisah gugurnya  Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Rasulullah ini gugur dalam pertempuran melawan tentara Yaziz bin Muawiyah di Karbala. Ini merupakan tragedi paling berdarah terhadap keluarga Rasulullah saw, setelah beliau wafat. 

Husen adalah pemegang kekuasaan yang diwariskan dari abangnya Hasan yang telah diracun terlebih dahulu atas suruhan Yazin bin Muawaiyah juga. Motivasi di balik  tindakan itu adalah ingin merebut kekuasaan yang ada ditangan Husen.

Gugurnya Husen terjadi pada 10 Muharram. Maka dalam hikayat Hasan Husen, salah satu bait yang berkaitan dengan kisah tragis cucu Rasulullah itu adalah :

//Bak poh siploh uroe beuleun Muharram/  kesudahan Husen Jamaloe/ peu na mudah ta khanduri/. Poteu Allah bri pahla dudoe/ sepuluh hari bulan Muharram/ hari berpulang Husen Jamalul / apa yang mudah silahkan khanduri/pahala diberi hari kiamat//  

Dalam tradisi masyarakat Aceh, hari  itu selalu diperingati setiap tahunnya, dengan melakukan khanduri bersama.

Biasanya dilakukan di meunasah atau di surau. Setiap keluarga membawa makanan dan penduduk  kampung baik yang membawa makanan ataupun tidak,  semua di ajak makan bersama-sama. Yang didahului oleh doa bersama. Imuem (imam) meunasah biasanya yang memimpin do’a.

Bagi anak-anak , ini merupakan kesempatan untuk mendapatkan  menu yang sedikit lebih berkualitas. Ada sie manok, telur asin, daging dan ikan-ikan yang bagus. Di beberapa tempat , pada saat khanduri peringatan ‘asyura itu, Hikayat Hasan dan Husen dibacakan kepada yang hadir, beberapa bait, atau didendangkan secara bersama-sama.

Banyak diantara yang hadir menangis menyimak peristiwa tragis  yang menimpa keluarga Rasulullah pada hari ‘asyura itu. 

Di Iran, dan beberapa Negara yang mendapat pengaruh paham syi’ah, hari ‘asyura diperingati sebagai hari yatim sedunia. Dalam sejarah awal masuknya Islam ke Aceh, memang suasana syi’ah sangat kental adanya. 

Semoga bagi para pendatang, pekerja dari luar Aceh, dan para pemerhati  budaya Aceh, mendapatkan pemahaman selayang pandang tentang  tradisi dan kebiasaan hidup masyarakat Aceh sejak dahulu kala. 

Bagi para peneliti yang lebih serius, tentu dapat menggantinya dari sumber-sumber yang lain, baik berupa ceritera lisan, sumber tertulis yang lengkap, atau melalui rekaman penuturan para pakar yang ahli.

Penulis adalah dosen FKIP  Unsyiah Banda Aceh, Ketua Dewan Pembina Institut Kebudayaan Aceh, Pendiri Institut Perdamaian Indonesia (IPI ), Ketua Yayasan Lambrineu, dan anggota Pembina Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy.    

(Tulisan ini disadur dari Peminat Hikayat Aceh, TA Sakti dan pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Opini, Minggu 30 Desember 2007  )
SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top