Tahun pertama kuliah di Unsyiah 1985/1986 saya berkesimpulan tidak aktif di PII, padahal selumnya sudah ikut PII sejak kelas tiga SMP di Balohan Sabang. Ketika SMA menjadi Wakil Ketua Departemen Humas PD PII Sabang. Tidak aktif di kampus atas nasihat senior untuk beradapsi dengan pola belajar yang berbeda antara SMA dan perguruan tinggi. Anjurannya ternyata mujarab. Tahun pertama kuliah bisa capai IP 3,64.

Saya bertemu dan berinteraksi dengan teman2 kuliah di FKIP yang pernah ikut PII. Rata2 mereka unggul sejak masa orientasi, penataran P4 100 jam dan dalam perkuliahan. Kebetulan tahun 1986 dibentuk kembali Komisiat PII FKIP dan saya diamanahi jabatan Ketua Bidang Ekstern. Ketua PK dijabat sahabat Amrul Syah.

Kegiatan unggulan PK PII FKIP tahun 1987 adalah seminar pendidikan yang dibuka langsung oleh Rektor Unsyiah Prof Abdullah Ali. Sebagai ketua panitia pelaksana bangga sekali bisa menyampaikan pidato dan laporan di deoam rektor. Kesempatan yang jarang diperoleh bagi yang bukan aktivis.

Atas bantuan dan panduan Amrul Syah selama dua tahun saya banyak kenal keluarga besar PII dan pengenalan wilayah Banda Aceh. Maklum sebagai perantau masih terasa asing di Banda Aceh. Kunjungan ke kantor atau rumah keluarga besar untuk meminta dukungan penyelenggaran training dan kegiatan lain.

Tahun itu pula saya mengikuti Couching Instruktur di SD Lamnyong dan Advance Training di Keumangan. Sejak itu keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan dan kepengurusan PII semakin intensif. Menjadi Kabid Pembinaan Masyarakat Pelajar PD PII Perguruan Tinggi dibawah pimpinan Erdwar M Dahlan dan Sekretaris Umum Zaki Fuad Khalil. Aktif mengelola training di banyak tempat dan kesempatan.

Hal yang sangat membanggakan, saya dan M Adli Abdullah ditugaskan melalui pleno PD PII Perguruan Tinggi tahun 1987 untuk mengaktifkan kembali Forum Silaturrahmi Mahasiswa (Fosma) yang telah vakum. Sebelumnya dipimpin aktifis PII Saleh Miftahussalam dkk. Kami mengelola pengajian Sabtuan di Mushalla KID Darussalam sebagai kegiatan inti Fosma. Kami juga diminta menghadap pembantu Rektor Unsyiah Utju Ali Banyah untuk memastikan kajian2 Islam di Fosma tidak mengkritik dan menyalahkan rektor seperti pernah terjadi sebelumnya.

Selanjutnya FOSMA diintegrasikan kegiatannya ke dalam UKM Bina Bintal Mahasiswa. Kami membentuk pengurus lengkap FOSMA, dan menyelengarakan kegiatan yang lebih besar seperti sunatan massal, latihan kader muballig mahasiswa dan muzakarah intelektualitas Islam. Selain aktivis PII Fosma juga diikuti aktivis HMI dan mahasiswa lainnya.

Ketika memimpin FOSMA saya mendapat kuliah gratis dan berkenalan dengan banyak intelaktual kampus Unsyiah dan UIN Ar-Raniry. Bukan hanya dari kalangan PII. Dari sini kami mempelajari manajemen dakwah, pemanfaatan potensi zakat dan islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Saya agak beruntung ketika Konperensi Wilayah PII di Ketapang tahun 1988 bisa masuk salah seorang anggota formatur. Ketua PW PII terpilih adalah Farid Wajdi Ibrahim. Saya boleh minta jabatan dan diamanahi sebagai Kepala Bidang Kaderisasi.

Ini adalah periode yang cukup menantang karena PII secara nasioanal tidak menyesuaikan diri dengan UU Keormasan. Alasannya wajib berasas tunggal Pancasila. Pemerintah menghentikan seluruh kegiatan PII dan mulailah kegiatan PII menggunakan cover Yakpida, remaja masjid, dan nama2 lain sesuai kebutuhan di lingkungan sekolah.

Saya merasakan masa2 inilah puncak karir organisasi saya di PII dengan tugas yang berat merancang dan memimpin pengelolaan training seluruh Aceh. Saya merasakan sebagai instruktur yang sesungguhnya yang mengharuskan banyak membaca, menjaga diri dan siap menjadi ideolog PII.

Saya masih sempat menjabat di PW PII periode Saiful Bahri dengan jabatan Kepala Bidang Humas. Periode ini terhenti total akibat penangkapan pimpinan PII Aceh oleh Laksus tanggal 11 Agustus 1992 dan wajib lapor di Korem TU. PII Aceh pun bubar hingga terbentuk kembali periode Muslim Yakob. Saya bahagia bisa memfasilitasi tempat rapat pertama pembentukan kembali PII Aceh di Masjid Raya Baiturrahman tahun 1997. Karena ketika itu kebetulan saya tinggal di menara masjid kebanggaan muslimin Aceh itu.

Apa artinya itu semua itu: menjadi PII, mengikuti training, menjabat pengurus, membangun jaringan dan mengelola training? Dari itulah kita jadi terasah, meningkatkan kapasitas dan memiliki komitmen untuk membela dan memperjuangkan Islam. Saya benar2 merasakan jasa PII dan ummat Islam yang telah membina saya dan kawan2 dalam wadah gerakan PII. Karena itu PII tetap penting dan dibutuhkan di masa2 akan datang.

Tak apalah ketika kami bersama PII tak bebas berbicara, tak ada publikasi media dan tak dikenal sebagai aktifis oleh publik. Allah Maha Tahu amal sosial yang kami kerjakan dan sejarah pasti mencatatnya dengan jujur. Semoga Allah membalas yang setimpal kepada sahabat2 yang telah mendahului kami.

Selamat Harba ke 73 PII, 4 Mei 2020.Tetap istiqamah di jalur islamisasi pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. (Sayed Muhammad Husen)

Lampanah, 4 Mei 2020
SHARE :
 
Top