Oleh: K.H. Bachtiar Nasir

Ketua Umum Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI)


“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya, merugilah orang yang mengotorinya.” (Surat Asy-Syams ayat 7-10)

Jiwa manusia yang diciptakan Allah Ta’ala dengan sempurna, sejatinya memiliki dua potensi. Potensi untuk fujur (jahat atau maskiat) dan potensi untuk takwa. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang menyucikan  jiwanya untuk ketakwaan dan merugilah orang-orang yang mengotorinya dengan maksiat.

Sebagai seorang muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji kita dengan dua potensi ini sekaligus mengingatkan kita untuk berhati-hati. Jangan sampai kita gagal memilah; dengan potensi yang mana kita akan menjalani kehidupan. Jangan sampai kita lengah dari ancaman kemaksiatan dan jangan pula lalai untuk selalu kontinu menyucikan diri dari belenggu kemaksiatan. Ingatlah bahwa kita bisa tersesat menjadi jahat karena kita sendiri yang mengotori diri. Juga, kita dapat menjadi manusia yang takwa karena giat dan taat beribadah menyucikan jiwa.  

Untuk menjadi orang yang dapat senantiasa membersihkan jiwa dan menjaga takwa inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan modal akal kepada manusia. Akal dapat membuat manusia menemukan kebenaran, sekaligus bebas menentukan dengan cara apa ia berkarya terbaik untuk kemaslahatan dunia. Namun, di titik kebebasan inilah, kadang manusia lengah pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Kebebasan berpikir dan berkehendak ini membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan mahluk lain. Namun, juga seringkali membuat manusia “menabrak” batasan Penciptanya. 

Jika saja dengan kebebasan berakal ini,  manusia menyucikan diri dan memurnikan hawa nafsunya pada kehendak Ilaahi, maka dia bisa lebih mulia dari para malaikat. Namun, bila ia menggunakan kebebasan untuk memilih memperturutkan nafsu maksiat, maka  pada saat yang sama,  manusia bisa lebih hina daripada hewan ternak seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Status hina ini karena manusia justru menggunakan akal dan kebebasannya untuk mengotori jiwa dan melanggar aturan yang telah Allah Al-Hakam tetapkan. Untuk itu, hanya ada dua pilihan bagi kita; akankah mengambil jalan tazkiyah atau kita mengambil jalan tadsiyah (mengotori jiwa). 

Tazkiyatun nafs adalah bekal utama untuk menjadi orang yang bahagia. Orang yang mulia. Orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Takwa merupakan sebaik-baik bekal. Berbekallah dengan takwa karena sebaik-baik bekal adalah takwa.

Takwa merupakan hasil dari proses tazkiyatun nafs. Juga merupakan modal utama untuk kekuatan dan kualitas terbaik diri kita. Terutama dalam rangka membangun indeks manusia Indonesia dari sisi kualitas. Salah satunya dengan membaca dan mengamalkan ayat-ayat Al-Quran. Di antara maksud diturunkannya Al-Quran adalah untuk tazkiyatun nafs. Maka, sebagai seorang muslim dan mukmin; bila Anda ingin menambah kualitas diri, maka kuncinya adalah ber-tazkiyatun nafs berdasarkan perspektif Al-Quran. 

Sedangkan, bila ada seorang muslim yang membaca Al-Quran, tetapi tidak mampu membersihkan jiwanya dan tidak dapat mewujud menjadi manusia berkualitas, maka dipastikan ada yang bermasalah dengan proses interaksinya dengan Al-Quran. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada surat Al A'la ayat 14:  "Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman)."

Kemudian surat Thaha ayat 75-76:  "Dan barang siapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia). (Yaitu) surga-surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang yang menyucikan diri."

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam proses penyucian jiwa yang pertama dan utama adalah ikhlas. Keikhlasan di dalam hati kita. Ikhlas di sini bukan berarti rela. Ikhlas adalah memurnikan penghambaan kepada Allah. Tidak bercampur antara tauhid dengan kemusyrikan.

Kedua adalah keseimbangan. Keseimbangan kita dalam menjalani hidup. Keseimbangan seperti yang kita minta pada doa sapu jagat, "Rabbanaa, aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaaban naar."

Keseimbangan di sini juga bukan berarti 50-50. Namun, seimbang anatara kehidupan dunia yang baik (fid dunyaa hasanah) dan di akhirat nanti selamat hingga mencapai surga (wa fil aakhirat ihasanah) serta terlindungi dari siksa apa neraka. Ketiga, berkesinambungan dan konsisten dalam beramal shalih.*

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top