Oleh Hamdani, S.Pd. (Guru SMAN 1 Lhokseumawe dan Pengamat Sastra Aceh)

lamurionline.com -- Sesuai dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang telah disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan Kepmendikbudristek No. 56 Tahun 2022 Pedoman Penerapan Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran (Kurikulum Merdeka). Di dalamnya memuat salah satu unsur pembentukan karakter yang berasal dari kearifan lokal. Tentu setiap guru harus memahami secara baik kearifan lokal yang dimaksud.

Tak kalah dengan provinsi lain di Indonesia yang mempunyai karya sastra yang beragam, di Aceh sendiri memiliki kekayaan karya sastra yang bercorak khas, warisan leluhur yang mengandung kebijaksanaan. Hampir di setiap kabupaten di Aceh memiliki karyanya masing-masing.

Karya sastra klasik warisan leluhur (indatu) orang Aceh sangat indah untuk dinikmati dan mengandung pesan moral bagi pembaca. Karya semacam itulah yang disebut sebagai karya kearifan lokal warisan leluhur orang Aceh.

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal (local wisdom) biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi melalui cerita dari mulut ke mulut. Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.

Dr. Hermansyah Pakar Filologi dan Peneliti Sastra Aceh mengatakan bahwa Sastra Aceh telah berkembang seiring zaman perkembangan peradaban dan sejarah dari abad ke abad, dan baru dikenal (disalin) pada abad ke 14, namun sastra lisan telah berkembang sejak Aceh dikenal pada abad ke 9.

Tradisi penulisan sastra Aceh mulai dikenal sejak ditemukannya naskah Manuskrip Sejarah Raja-Raja Pasai karya ulama dan sastrawan yang menggambarkan keberadaan Kesultanan Pasai.

Boleh disebutkan bahwa Aceh merupakan daerah pusat kebudayaan Islam sebab dari negeri ujung Sumatera pada awal menyebarkan Islam di seluruh Nusantara, termasuk di dalamnya Malaysia dan Pathani, paling tidak masih ditemukan di dua negara tersebut karya-karya ulama Aceh, dan dari daerah Aceh pula Islam tersebar sampai ke pulau Jawa yang dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim seorang ulama yang berasal dari Samudra Pasai.

Maka tak pelak, jika tanah indatu Iskandar Muda ini banyak mewariskan beragam corak sastra Islam. Dari bumi bergelar Serambi Mekkah juga asal muasal pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Mengingat di Aceh juga lahirnya sastrawan besar seperti Teungku Chiek Pantee Kulu dan Teungku Chiek Kuta Karang yang membawa pengaruh dan perubahan terhadap sastra Melayu  Indonesia. 

Aceh memiliki aset kekayaan genre (jenis) sastra klasik. Kenapa disebut klasik ? Jawabannya tak lain adalah karena jenis karya bercorak sastra lama tetapi masih menarik untuk dinikmati dan diapresiasikan.

Dalam tulisan ini saya hanya membahas jenis puisi dan prosa. Mengingat genre (jenis) ini lebih tenar dan menarik kiranya patut untuk dibicarakan.

Ciri-ciri umum karya sastra klasik adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim (tidak memiliki nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.


1. Jenis Puisi Lama

Dalam ikon puisi lama menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul Kesusastraan Aceh (2001), dikenal beberapa jenis sastra klasik yaitu: Narit maja (peribahasa), Hiem (teka-teki), dan Panton (pantun). Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dalam sejarah perkembangan sastra Aceh. Untuk lebih jelas ihwal sastra lama genre puisi ini akan dibahas secara runtut berikut ini:


a. Narit Maja (Peribahasa)

Dalam tradisi masyarakat Aceh narit maja berfungsi sebagai media pengendalian pranata sosial (kontrol sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral. Dalam narit maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam narit maja berikut: hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila.

Terjemahan bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak senu tentu gila.

Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Agar lebih jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam narit maja, baca: Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Narit Maja karya Iskandar (Skripsi mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe) dan Struktur dan Fungsi Narit Maja dalam Masyarakat Tanah Jambo Aye Kabupaten Aceh Utara karya Hilmi Wilminar (Skripsi Mahasiswa PBSID, FKIP, Universitas Syiah Kuala). Dalam kedua karya ilmiah tersebut membahas dan mengupas secara tuntas tentang narit maja. 

Razali Cut Lani dalam Kesusastraan Aceh juga telah membahas berbagai hal yang terlibat dalam peribahasa Aceh. Seperti unsur flora dan fauna dalam narit maja, ekonomi, perdagangan, sosial, adat istiadat, moral, keagamaan, kriminalitas, dan hal-hal lainnya secara runtun. 

Kita ambil salah satunya sebagai contoh, perdagangan dalam narit maja. Misalnya terdapat dalam narit maja berikut: Tulak tong tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Dalam peribahasa ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang (jual beli), setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja. 

Bidang kriminalitas yang membawa dampak bagi hajat hidup orang banyak. Masyarakat Aceh sering menyebut narit maja: Gop pajoh boh panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari kriminalitas tersebut. 

Dalam tulisan ringkas ini penulis tidak merincikan satu persatu narit maja tersebut, karena itu tugas pribadi anda di rumah (pr).


b. Hiem (Teka-Teki)

Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersama sanak keluarga dan kerabat untuk berteka-teki sejenak. Teka-teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga menjadi arena asah otak, karena dalam teka-teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan. 


c. Panton (Pantun)

Bagian terakhir dari puisi klasik Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke tiga dan empat namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam  konteks sastra Indonesia. Namun dalam tulisan ini penulis hanya membicarakan dalam corak sastra Aceh. 

Contoh pantun: 

Limong limong kapai jitamong 

Dua go limong kapai jibungka 

Nyo hantrok lon cot ngon reunong

Nyan bungong lon pupo geulawa 


Arti bebas pantun tersebut adalah lima-lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat,  kalau tak bisa saya ambil pakai galah, bunga itu akan saya lempar supaya jatuh untuk menjadi milik saya. Pantun perjuangan untuk meraih cita-cita dan menaklukkan hati seorang idaman. Klasik bukan ? 


Dari segi umur pemakai terdapat bermacam jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa. Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kaula muda.   


Dalam genre ini penulis menambahkan beberapa jenis lagi dari puisi lama yaitu ca-e atau syair. Ca-e atau syair adalah disebut juga dengan puisi liris. Kemudian ada jenis Qashidah, Dike Aceh, Nazam, dan Meurukon. Jenis karya sastra ini mengandung nilai-nilai Pendidikan Islam yang sangat kental dan memberikan pesan moral yang mendalam.


2. Jenis Prosa Lama

Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan Prosa Liris (hikayat), Legenda, Fabel, dan Haba Jameun (cerita rakyat/kabar zaman).


a. Hikayat 

Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris, karena tipografinya seperti syair dan bersajak. Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya hikayat bersifat istanasentris (berpusat di istana), dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Prang Sabi karya Teungku Chiek Pantee Kulu. Namun dalam tulisan ini penulis tidak merujuk kepada ciri umum hikayat. Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya: Hikayat Raja-Raja Pasai.


b.Legenda 

Legenda adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya). Contoh: Legenda Ahmad Rahmanyang yang menjadi pulau batu di Aceh Besar dan legenda si anak durhaka Malin Kundang di Padang, Sumatera Barat.


c. Fabel 

Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang. Jikapun melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih dominan. Dalam fabel binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia cerita tetap berjalan sukses. Karena memang demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel yang terkenal adalah Kancil dan Buaya.


d. Haba Jameun 

Haba Jameun (cerita rakyat) adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut kemulut. Secara turun temurun. Jika ada cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun. Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang. Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman dari Aceh karya LK. Ara. Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh. Namun LK.Ara adalah orang yang sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam bahasa Indonesia. 

Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini: Bak jameun dile, na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh kisah…,

Artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah…

Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.


Riwayat Singkat Penulis:

Hamdani, S.Pd sering menggunakan nama pena Hamdani Mulya adalah guru SMAN 1 Lhokseumawe. Penulis buku Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh (2017), Jejak Dakwah Sultan Malikussaleh (2020), dan Pengamat Sastra Aceh.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top