Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si

Penyuluh Agama Fungsional Kab. Bireuen

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang-undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan adalah ikatan yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Maraknya illegal wedding (nikah siri, nikah di bawah tangan, atau nikah liar) masih terus terjadi dalam masyarakat, padahal Kantor Urusan Agama (KUA) begitu dekat dengan masyarakat. Dengan segala sistem pelayanan yang mudah dan terjangkau bukan alasan untuk tidak mencatatkan perkawinan di KUA. Illegal wedding  adalah pernikahan yang dilakukan di luar lembaga pernikahan resmi atau KUA.

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah illegal wedding dan tidak mengatur secara khusus dalam suatu peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat (1) yang menegaskan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 

Pernikahan siri dalam hukum Islam merupakan pernikahan yang sah, asalkan telah terpenuhi syarat, rukun, dan ketentuan-ketentuan tentang perkawinan, tetapi negara menganggap nikah siri sebagai nikah liar (illegal), karena tidak tercatat oleh negara.

UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menempatkan suatu perkawinan pada tempat yang penting sebagai pembuktian telah diadakannya perkawinan. Hal tersebut diatur pada pasal 2 ayat (2) yang menyatakan: tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyebab illegal wedding

Illegal wedding terjadi akibat berbagai faktor diantaranya karena rendahnya kesadaran hukum dan administrasi dalam melakukan pernikahan. Illegal wedding juga bisa terjadi untuk menutupi aib, karena terjadinya MBA (merried by accident).

Illegal wedding dipengaruhi oleh nikah usia muda. UU tentang Perkawinan UU Nomor 16 Tahun 2019 (perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), menyebutkan batasan usia nikah, baik laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Karena usia yang belum mencapai ketentuan ini menjadi dasar untuk melakukan illegal wedding. 

Sebenarnya, tidak ada persoalan proses pernikahan yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga resmi pernikahan termasuk dalam kasus menikah pada usia muda,  yaitu dengan mengajukan izin pada Mahkamah Syar’iyah. Dengan mengantongi izin, proses pernikahan dapat dilaksanakan di KUA.

Dari beberapa kasus yang paling mendominasi illegal wedding adalah keinginan menikah lagi (poligami). Umumnya istri pertama tidak rela dimadu dan mengizinkan suaminya menikah lagi. Untuk kasus ini, hanya dapat diselesaikan secara intern pasangan suami istri, karena dalam hal solusi yang diberikan adalah izin dari Mahkamah Syar’iah dan izin dari istri pertama.

Dampak negatif 

Ada banyak risiko illegal wedding, baik secara hukum maupun sosial. Risiko ini lebih banyak dirasakan oleh perempuan atau istri.  Istri paling dirugikan dalam praktik illegal wedding. Dikutip dari laman an-nur.ac.id disebutkan, secara umum perempuan yang menikah liar akan kehilangan hak-hak yang seharusnya bila jadi istri sah secara hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan penghidupan untuk anak. Kemudian, istri siri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia dan tidak dapat menggugat cerai di pengadilan, sehingga imbasnya istri tidak berhak menuntut apapun dari suami. 

Apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),  istri tidak bisa menuntut suami untuk diproses melalui UU tentang KDRT. Demikian juga, dari sudut sosial, istri yang menikah di bawah tangan akan sulit bersosialisasi, karena dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap istri simpanan.

Tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan dan pasal 100 KHI). 

Anak dalam akte kelahiran statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama ayah akan berdampak secara sosial dan psikologis bagi anak dan ibunya. Lebih jauh ketika anak dewasa dan melanjutkan studi atau bekerja, anak  tidak dapat menunjukkan bukti pernikahan orang tuanya (buku nikah), tak tertutup kemungkinan anak akan gagal melanjutkan studi atau bekerja. 

Melakukan illegal wedding berarti tidak memiliki buku nikah. Pentingnya buku nikah saat ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena segala pegurusan administrasi negara harus melampirkan buku nikah mulai dari pembuatan akte kelahiran anak, kartu penduduk, paspor dan dokumen lainnya.

Sementara laki-laki yang melakukan illegal wedding hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan. Dengan illegal wedding laki-laki bebas menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang siri dianggap tidak sah dimata hukum. Suami bisa saja berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah, baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya. Demikian pula terjadinya KDRT lebih terbuka lebar dan suami tidak perlu ambil pusing  dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.

Karena itu, sepatutnya pernikahan yang tidak sesuai dengan maksud syariah ini dihindari dan bahkan dihentikan. Semua pihak perlu berkolaborasi menemukan penyebab pernikahan tidak sah ini, sehingga dapat merumuskan alternatif solusinya, misalnya melengkapi regulasi pernakahan yang diperlukan. Penyuluhan yang berkelanjutan adalah alternatif lain membangun kesadaran masyarakat untuk menghindari illegal widding. (editor: smh)

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top