Oleh: Taufik, S. AP

Penyuluh Agama Islam Fungsional Kabupaten Bireuen

Kemerdekaan Bangsa Indonesia merupakan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang tidak didapat dengan serta merta atau semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan panjang yang mengorbankan harta bahkan nyawa untuk merebut kedaulatan. Merekalah putra putri Bangsa Indonesia yang menjadi pahlawan bagi kemerdekaan Indonesia, mengangkat harkat dan martabat Bangsa Indonesia di mata para penjajah. Maka sudah sepantasnya jika kegigihan serta kepahlawanan mereka untuk membela hak dan martabat Bangsa harus di pupuk, tidah hanya dikenang namun menjadi pembelajaran bagi generasi milenial. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah, sejarah adalah cermin dan memberi bahan pelajaran, orang yang tidak mengenal sejarah ditakdirkan mengulang kesalahan masa lampau.

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang menyimpan banyak catatan sejarah panjang dan juga catatan istimewa dalam melawan Kolonialisme dan Imprealisme di Indonesia. Begitu banyak pertempuran yang pecah di tanah rencong, Aceh baru dapat di taklukkan musuh sesudah perang yang berlangsung selama 40 tahun dengan perjuangan berat, bukan hanya menghabiskan harta tetapi juga mempertaruhkan nyawa.  Keberanian yang dimiliki oleh rakyat Aceh tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila banyak muncul sosok-sosok pahlawan Nasional dari Aceh, salah satunya adalah Cut Nyak Dhien.

Dalam konstelasi sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, sosok Cut Nyak Dien dianggap begitu penting, khususnya dalam perang melawan Belanda. Nama Cut Nyak Dien mulai dikenal di seluruh lapisan masyarakat sejak diangkat menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno melalui SK presiden RI no. 106 tahun 1964, bersamaan dengan dua pahlawan perempuan lainnya, yaitu Cut Meutia dan RA Kartini.

Srikandi Aceh

Cut Nyak Dien dijuluki sebagai Srikandi Aceh dikarenakan keberanian dan kecerdasan yang dimilikinya. Sifat yang dimiliki oleh Cut Nyak Dhien telah meruntuhkan persepsi yang memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Maka tidak berlebihan bila Cut Nyak Dhien menjadi ikon tentang keberanian perempuan Aceh. Ia berhasil keluar dari ranah domestik menuju ranah publik dengan keterlibatannya dalam menyusun strategi perang dan terjun ke medan pertempuran. 

Cut Nyak Dien dilahirkan pada tahun 1848  di Lampadang sebagai  anak dari Hulubalang, penguasa Enam Moekim bernama Teuku Nanta Setia. Diusianya yang ke empat belas, Cut Nyak Dhien dinikahkan dengan seorang bangsawan yang juga merupakan pemimpin perjuangan melawan penjajah yaitu Teuku Ibrahim Lamnga.Ibrahim Lamnga tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada tahun 1878.  Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menerima lamaran Teuku Umar, seorang panglima perang yang pandai dalam mengatur siasat, namun Teuku Umar juga tegas di tangan penjajah pada tahun 1899. Sejak saat itu Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan menggantikan almarhum suaminya Teuku Umar sebagai pemimpin perang.  

Cut Nyak Dien sangat berpengaruh dan handal dalam mengatur strategi perang. Ia turun ke medan perang dan berhasil memimpin pasukannya untuk menyerang markas-markas Belanda. Tak hanya itu, Cut Nyak Dien juga selalu memotivasi rakyatnya untuk tetap teguh pada perjuangan.Keberhasil Cut Nyak Dhien dalam memimpin pasukan menjadikannya sebagai orang yang ditakuti dan dicari oleh Belanda.

Diperasingan

Kisah perjalanan hidup Cut Nyak Dien sebagai seorang pejuang tanah kelahirannya berakhir saat ia berhasil ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke Sumedang (Jawa Barat), tempat yang begitu jauh dari tanah kelahirannya, tempat yang jauh dari keluarga, kerabat dan rakyat yang dicintai dan mencintainya.Namun ditempat yang baru, tempat dimana tak seorangpun yang ia kenal.

Proses pengasingan Cut Nyak Dhien ke Sumedang dilakukan selama hampir setengah tahun sejak dikeluarkannya surat keputusan pengasingan nomo 23 (colonial verslag 1907:12) dikarenakan lamanya proses pemilihan lokasi pengasingan dan jarak lokasi pengasingan. Sumedang menjadi tempat pilihan pengasingan Cut Nyak Dhien karena dinilai wilayah Sumedang terbilang aman secara politik dan sosial.  Pada tahun 1907 M Cut Nyak Dhien tiba di tempat pengasingannya Sumedang, setelah sebelumnya dibawa terlebih dahulu ke Batavia. Selama menjalani pengasingan di Sumedang,masyarakat tidak mengetahui identitas Cut Nyak Dhien sebagai pejuang Aceh dan identitasnya sebagai pejuang perang Aceh baru diketahui 50 tahun setelah wafatnya pada tahun 1958 M atas permintaan Gurbenur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan dari sejumlah dokumen Belanda.

Menebar manfaat di sepanjang hayat

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” 

Menjadi pribadi yang bermanfaat adalah salah satu karakter yang melekat pada diri Cut Nyak Dhien. Sebagai sosok yang taat pada beragama, Cut Nyak Dhien paham betul bahwa setiap Muslim diperintahkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain dimanapun dan dalam kondisi bagaimanapun. 

Dari sejarah perjalanan hidup Cut Nyak Dhien, kita dapat merasakan betapa setiap langkahnya menebar manfaat bagi bangsa, negara dan agama. Bahkan diperasinganpun Cut Nyak Dhien tidak hanya berpangku tangan, meratapi nasibnya yang jauh dari keluarga dan saudaranya, namun Cut Nyak Dhien yang pada saat itu yang sudah mulai renta dengan kondisi kesehatan yang tidak stabil namun tetap terus menebar manfaat bagi orang-orang sekelilingnya.

Cut Nyak Dhien mengisi hari-harinya di Sumedang dengan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama kepada masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Kefasehan dan kepadaian Cut Nyak Dhien dalam mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu agama menjadikan masyarakat Sumedang menaruh hormat padanya. Sehingga tidak berlebihan jika masyarakat menyematkan gelar Ibu Perbu atau Ibu Ratu kepada Cut Nyak Dhien, seorang bangsawan dari tanah seberang yang pandai agama.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top