Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA

Bulan Rajab adalah bulan yang agung dan mulia. Karena ia termasuk dalam empat bulan Haram yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 36. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu…” (At-Taubah: 36).

Rasulullah saw menjelaskan empat bulan Haram dalam ayat di atas adalah tiga bulan berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab. Dari Abu Bakrah bin Nufai’ bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi saw bersabda ketika haji Wada’, “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).

Anjuran Memperbanyak Amal Shalih Di Bulan Rajab

Para ulama sepakat mengatakan bahwa dianjurkan memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab. Amal shalih yang dimaksud adalah amalan secara umum yang dalilnya shahih yang dianjurkan pada semua bulan Hijriah termasuk Rajab.

Beramal shalih dianjurkan pada setiap bulan, terlebih lagi pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Karena, bulan Ramadhan dan empat bulan Haram ini merupakan bulan yang diagungkan dan dimuliakan oleh Allah ta'ala sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu, dosa maksiat pada bulan-bulan tersebut lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Begitu pula pahala amal shalih pada bulan-bulan tersebut lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Inilah keutamaan bulan-bulan Haram di antaranya bulan Rajab.

Adapun dalil mengenai anjuran memperbanyak amal shalih pada bulan-bulan Haram adalah firman Allah swt, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36).

Imam Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H) dan Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir (wafat 774 H) rahimahumallah telah menukilkan tafsir Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi saw yang  wafat  tahun 68 H) radhiyallahu anhuma dan tafsir Imam Qatadah (seorang ulama tab’in yang wafat tahun 118 H) rahimahullah mengenai ayat 36 dari surat At-Taubah tersebut di dalam kitab-kitab tafsir mereka.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Firman Allah swt: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36), maksudnya dalam setiap dua belas bulan. Lalu Allah mengkhususkan dua belas bulan itu empat bulan, maka Allah menjadikan empat bulan tersebut sebagai bulan Haram, membesarkan pengharamannya, menjadikan dosa pada empat bulan Haram ini lebih besar dan pahala amal shalih padanya lebih besar.” (Tafsir At-Thabari: 10/133, Tafsir Ibnu Katsir: 4/86).

Dari Qatadah rahimahullah, ia berkata, “Adapun firman Allah swt: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan Haram”, maka sesungguhnya kezhaliman yang dilakukan pada bulan-bulan Haram itu lebih besar dosanya daripada kezhaliman pada bulan selainnya, meskipun (dosa) kezhaliman pada setiap waktu itu besar, akan tetapi Allah membesarkan urusannya apa yang Dia kehendaki.” (Tafsir Ath-Thabari: 10/133, Tafsir Ibnu Katsir: 4/86)

Dalam kitab tafsirnya “Ma’aalimut Tanziil”, Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) rahimahullah menukilkan riwayat lain perkataan Imam Qatadah rahimahullah, “Amal shalih lebih besar pahalanya dalam bulan-bulan Haram. Dan kezhaliman dalam bulan-bulan tersebut lebih besar dari bulan-bulan selainnya, meskipun kezhaliman dalam setiap waktu itu dosa besar.” (Ma’aalimut Tanziil: 2/294).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah swt: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan-bulan itu…”, maksudnya pada bulan-bulan Haram karena lebih kuat dan lebih besar dalam dosa dari bulan-bulan selainnya sebagaimana maksiat-maksiat di tanah Haram dilipatgandakan dosanya sesuai firman Allah: “Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (Al-Haj: 25). Demikian pula bulan Haram, diperberat dosa-dosa padanya. Oleh karena itu, hukuman diyat diperberat dalam bulan Haram dalam mazhab Asy-Syafi'i dan kebanyakan para ulama. Demikian pula dalam hak orang yang dibunuh di tanah Haram atau dalam bulan Haram.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/86).

Di dalam kitab tafsirnya “At-Tafsiir Al-Basiith”, Imam Al-Wahidi (wafat 468 H) rahimahullah menukilkan riwayat lain tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengenai firman Allah: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, "Dalam riwayat Atha’, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Jagalah dirimu pada bulan-bulan haram ini. Jauhilah dosa-dosa, karena sesungguhnya kebaikan padanya itu berlipat ganda dan keburukan padanya berlipat ganda.” (At-Tafsiir Al-Basiith: 10/380)

Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H) rahimahullah, ia berkata, “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, menurut Ibnu Abbas, dhamir (kata ganti) "hinna" (bulan-bulan itu) kembali kepada semua bulan (dua belas bulan). Dan menurut sebahagian ulama lain, kembali kepada bulan-bulan Haram saja. Karena lebih dekat kepada bulan-bulan Haram. Dan bulan-bulan haram memiliki keistimewaan dalam pengagungan dosa kezhaliman berdasarkan firman Allah: “Maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat; dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (Al-Baqarah: 197). Bukan berarti kezhaliman (kemaksiatan) pada selain hari-hari ini boleh sebagaimana kami akan menjelaskannya.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123)

Di antara amal shalih yang dianjurkan pada bulan Rajab yaitu melakukan ibadah yang disyariatkan secara umum pada semua bulan seperti puasa-puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, puasa ayyamil bid’h (tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriah termasuk Rajab) dan puasa Nabi Daud (puasa sehari dan berbuka sehari). Begitu pula shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, Ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyyatul Masjid, Setelah Wudhu, Shalat Malam termasuk Tahajud dan witir. Begitu pula memperbanyak doa dan zikir. Selain itu, membaca Al-Qur'an dan berinteraksi dengannya seperti memahaminya, mentadabburinya, menghafalnya, mendengarnya, mempelajarinya, mengajarkannya dan mengamalkannya.

Begitu pula amal shalih lainnya berupa perbuatan kebaikan dalam bermuamalah seperti membantu orang lain, berbuat baik kepada orang tua, memberikan hadiah dan infak/sedekah, berbuat baik kepada orang lain, menyingkirkan duri atau sesuatu yang membahayakan orang lain di jalan, memberikan makanan  dan minuman kepada orang lain, membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, bersilaturrahim, mengunjungi orang sakit, mengunjungi keluarga orang yang meninggal, menghadiri majelis ilmu syar’i, mempelajari ilmu syar’i, dan sebagainya.

Amal shalih dianjurkan pada semua bulan Hijriah. Hanya saja pada bulan-bulan Haram termasuk bulan Rajab lebih dianjurkan dan diutamakan, karena pahalanya lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya kecuali bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan memiliki keagungan dan kemuliaan seperti bulan-bulan haram. Allah swt telah mengagungkan dan memuliakan bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram. Inilah keutamaan bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram.

Oleh karena itu, pada bulan Rajab ini kita dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih secara umum sebagaimana disyariatkan pada bulan-bulan lainnya. tanpa mengkhususkan amalan tertentu pada hari tertentu di bulan Rajab seperti hari pertama, kedua, dan ketiga atau pada sebahagian hari-harinya dengan meyakini keutamaan amalan pada waktu ini. Maksudnya bukan amalan khusus pada hari-hari tertentu di bulan ini.

Tidak Disyariatkan Amalan Khusus di Bulan Rajab

Adapun amalan khusus di bulan Rajab, maka tidak disyariatkan dan tidak pula memiliki keutamaan. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang  menjelaskan keutamaan amalan tertentu pada bulan Rajab baik pada hari pertama, kedua, dan ketiga, maupun sebahagian hari-harinya. Semua hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, tidak bisa diamalkan dan tidak bisa pula dijadikan hujjah.

Di antara amalan-amalan khusus yang dilakukan oleh sebahagian orang pada bulan Rajab yaitu puasa khusus pada hari pertama, kedua, dan ketiga, puasa khusus Kamis pertama, puasa khusus pada hari ke 27 Rajab, shalat Qiyamul Lail khusus pada awal bulan Rajab, shalat Ragha’ib (shalat khusus pada malam Jum’at pertama bulan Rajab), umrah Rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus pada bulan Rajab), dan amalan khusus lainnya dengan menyangka memilki keutamaan, semua ini adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama salaf dan khalaf serta para ulama kontemporer.

Menurut para ulama hadits baik dari kalangan ulama salaf, khalaf maupun kontemporer yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini, hadits-hadits yang beredar di tengah masyarakat mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalan khusus padanya semuanya itu dhaif (lemah) dan bahkan maudhu' (palsu). Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalannya. Oleh karena itu, hadits-hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah, agar kita tidak melakukan suatu amalan yang tidak disyariatkan (bid’ah) dan berdusta atas nama Nabi saw.

Di antara para ulama hadits yang telah melakukan penelitian mengenai masalah ini secara ilmiah dan komprehensif adalah Al-Imam Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) rahimahullah. Penelitian ini beliau tulis dalam sebuah kitab yang berjudul: “Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada Fii Syahri Rajab” (Penjelasan Keanehan Hadits-Hadits Yang Datang Mengenai Bulan Rajab).

Di dalam kitab ini beliau menghimpun semua hadits yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan keutamaan amalan-amalannya. Lalu beliau membantah dan mengkritik hadits-hadits tersebut secara ilmiah dan mendalam. Beliau membagi hadits-haditsnya kepada dua bagian yaitu hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).

Dari hasil penelitiannya ini, imam Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Rajab dan amalan khusus padanya. Menurut beliau, semua hadits-hadits mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu.

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Tidak ada satupupun hadits shahih yang layak dijadikan hujjah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab, keutamaan puasanya, keutamaan puasa pada hari-hari tertentu, dan keutamaan shalat malam tertentu padanya. Sebelumku Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafizh telah menegaskan hal ini.” (Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada Fii Syahri Rajab, hal. 23).

Beliau juga berkata, “Dan adapun hadits-hadits yang datang dalam keutamaan Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sesuatu darinya secara sharih (jelas), maka ada dua bagian: dhaif (lemah) dan maudhu' (palsu).” (Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada Fii Syahri Rajab, hal. 33).

Hal yang sama juga disampaikan oleh para imam-imam lainnya yang telah melakukan pengkajian ini, baik para ulama sebelum Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani maupun sesudah beliau. Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafiz Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Baghdadi Al-Khallal (wafat 439 H), Al-imam al-Hafiz Abu Ismail Al-Harawi (wafat 481 H) sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Tabyinul ‘Ajab Bima Warada fii Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Al-Muqri’ Asy-Syafi’i (wafat 478 H), Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) dalam kitabnya Al-Hawaadits wal Bida’, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir (wafat 571 H), Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Madhuu’at”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Kalbi (wafat 633 H) dalam kitabnya “Ada’u Ma Wajaba min Bayan Wadh’il Wadha’in fii Rajab”, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) dalam kitabnya “Majmu’ Al-Fatawa” dan "Iqtidhaush Shirathil Muataqim", Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya “Al-Manar Al-Munif”, Al-Imam Ibnu Rajab (wafat 795 H) dalam kitabnya “Lathaiful Ma’arif”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Arraq (wafat 963 H) dalam kitabnya “Tanzihusy Syari’ah ‘anil Ahadits Ash-Shani’ah Al-Maudhu’ah”, Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “Al-La’ali Al-Mashnu”ah fii Ahadits Al-Maudhu’ah”, Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “Al-Fawaid Al-Majmu’ah”, dan lainnya.

Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) rahimahullah menyebutkan bahwa beliau pernah dikabarkan oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi. Beliau berkata, "Adapun shalat Rajab, belum pernah dilakukan ditempat kami di Baitul Maqdis kecuali setelan 480 Hijriyah. Sebelumnya kami belum pernah mendengar atau melihatnya." (Al-Hawaadits wal Bida’, hal. 267 no.238).

Dalam kitabnya "Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits", Imam Abu Syamah Asy-Syafi'i rahimahullah menjelaskan shalat Raghaib, "Mengenai shalat Raghaib, yang dikenal di tengah masyarakat luas dewasa ini adalah yang dikerjakan di antara waktu maghrib dan Isya, pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab." (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 138).

Beliau menukilkan perkataan Imam Ibnu Shalah Asy-Syafi'i (wafat 643 H) rahimahullah mengenai shalat Raghaib, "Haditsnya palsu, dan itu adalah perbuatan bid'ah yang muncul tahun empat ratusan hijriyah." (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 145).

Beliau juga menukilkan pendapat Imam Izzuddin Abdussalam Asy-Syafi'i (wafat 660 H) rahimahullah, di mana pada tahun 637 H beliau memberikan fatwa bahwa shalat Ar-Raghaib adalah bid'ah yang mungkar, dan bahwa haditsnya adalah dusta atas nama Rasulullah saw. (Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits: 149).

Dalam kitabnya Al-Majmu', Imam An-Nawawi (wafat 676 H) rahimahullah berkata, "Shalat yang dikenal dengan shalat Raghaib sebanyak dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum'at pertama bulan Rajab, dan shalat malam nishfu Sya'ban sebanyak seratus raka'at adalah bid'ah yang mungkar lagi buruk. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan penyebutan kedua shalat ini di dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya' Ulumuddin, dan tidak pula dengan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini. Sebab, hal itu semua adalah batil. Tidak boleh seseorang terpedaya dengan sebahagian orang yang belum jelas baginya hukum kedua shalat ini dari kalangan imam-imam, lalu ia mengarang dalam beberapa kertas untuk menganjurkan keduanya. Karena ia keliru dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang amat berharga, yang menegaskan kebatilan kedua macam shalat tersebut. Sungguh beliau telah berbuat baik dan berjasa." (Al-Majmu': 3/476).

Dalam kitabnya "Tabyinul Ajab Bima Warada fi Syahri Rajab", Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan sebuah hadits palsu mengenai shalat Raghaib dan keutamaannya. Nabi saw bersabda, "Tidaklah seseorang berpuasa pada hari Kamis, di awal Kamis bulan Rajab, kemudian shalat di antara Maghrib dan Isya yakni pada malam Jum'at, sebanyak 12 rakaat, pada setiap raka'at dibaca Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadar tiga kali, dan surat al-ikhlas dua belas kali, lalu salam setiap dua rakaat. Maka apabila ia selesai shalat, ia membaca shalawat 70 kali: Allahumma shalli 'ala Muhammad An-Nabiyyi Al-Ummiyi wa 'ala alihi, lalu ia sujud, maka ia berkata: subbuhun quddusun rabbul malaikati warruh sebanyak 70 kali, lalu mengangkat kepalanya, maka ia berkata: ighfir warham wa tajawaz 'amma ta'lam innka antal 'azizul A'zham sebanyak 70 kali, lalu ia sujud kedua, maka berkata seperti apa yang ia katakan di sujud pertama, lalu ia memohon kepada Allah ta'ala keperluannya, maka niscaya ditunaikan.

Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah, tidaklah seorang hamba laki-laki maupun wanita melakukan shalat ini melainkan dihapus semua dosanya, meskipun seperti buih di lautan dan sebanyak daun pohon, dan ia memberi syafaat pada hari Kiamat kepada 700 orang keluarganya. Maka ketika malam pertama ia berada di alam kubur, maka datanglah pahala shalat ini, dan seterusnya sampai akhir hadits. Lalu Imam Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini palsu dan kedustaan atas Nabi saw. (Tabyinul ‘Ajab Bima Warada fi Syahri Rajab: 53-54).

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, "Adapun shalat khusus pada bulan Rajab, tidak ada hadits shahih yang mengkhususkannya. Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam keutamaan shalat Ragha'ib pada malam Jum'at pertama dari bulan Rajab itu dusta dan batil, tidak shahih. Shalat ini bid'ah menurut kebanyakan ulama. Di antara tokoh ulama muta'akhirin dari kalangan hufazh (ulama hadits) yang menyebutkan hal itu adalah Abu Isma'il Al-Anshari, Abu Bakar As-Sam'ani, Abu Al-Fadhl Bin Nashir, dan Abu Al-Faraj Bin Al-Jauzi dan lainnya. Kalangan mutaqaddimun (generasi awal) tidak menyebutkannya karena shalat bid'ah ini diadakan pada generasi setelah mereka. Yang pertama muncul bid'ah ini setelah 400 tahun Islam lahir. Oleh karena itu tidak dikenal oleh generasi awal dan tidak pula dibicarakan. Adapun mengenai puasa, tidak ada satupun hadits yang shahih yang datang dari Nabi saw dan tidak pula dari para sahabat dalam keutamaan puasa Rajab." (Lathaif Al-Ma'arif: 151).

Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Adapun mengenai puasa Rajab secara khusus, maka seluruh haditsnya lemah dan bahkan palsu yang tidak dijadikan acuan oleh para ulama. Hadits-haditsnya bukan tergolong hadits lemah yang boleh diriwayatkan dalam masalah fadhail ‘amal (amal-amal yang baik), tetapi tergolong sebagai hadits-hadits palsu yang dibuat-buat.” (Majmu’ Al-Fatawa: 25/290)

Imam Ibnu Taimiyyah juga berkata ketika ia menjelaskan tentang bid'ah, "Hari yang sama sekali tidak diagungkan oleh syariat, tidak pernah disebut di kalangan salaf dan tidak ada sesuatu yang terjadi pada hari itu yang layak diagungkan seperti hari Kamis  dan malam Jum'at bulan Rajab yang disebut malam Ragha'ib. Pengagungan hari dan malam itu baru terjadi 400 tahun setelah Islam lahir. Mengenai hal ini, diriwayatkan sebuah hadits palsu berdasarkan kesepakatan para ulama, yang isinya menjelaskan keutamaan berpuasa pada hari itu dan melakukan shalat ini yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan nama shalat Ragha'ib. Sebahagian sahabat kami dan lainnya dari kalangan ulama muta'akkhirin menyebutkan shalat ini. Namun pendapat yang benar yang dipegang oleh para ulama yang melakukan pengkajian masalah ini adalah terlarangnya berpuasa secara khusus pada bulan Rajab, melakukan shalat bid'ah ini dan segala bentuk pengagungan hari ini berupa pembuatan makanan, menampilkan perhiasan dan sejenisnya, sehingga hari ini sama dengan hari-hari lainnya dan tidak memiliki keistimewaaan tersendiri. Demikian pula pada hari lain yang berada di pertengahan bulan Rajab, di mana pada hari ini dilakukan shalat yang disebut dengan shalat ibu Nabi Daud. Pengagungan hari ini sama sekali tidak memiliki dasar (dalil)." (Iqtidha'ush Shirathil Mustaqim: 251).

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah  berkata, “Semua hadits mengenai puasa Rajab dan shalat pada beberapa malam di bulan Rajab adalah dusta yang nyata.” (Al-Manar Al-Munif: 96)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits shahih, atau yang hasan atau yabg dhaif yang secara khusus menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab. Semua hadits yang diriwayatkan secara khusus merupakan hadits palsu, dusta dan sangat lemah.” (As-Sail Al-Jarrar: 2/143).

Al-Imam Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullah dalam syarah At-Tirmidzi berkata, “Tidak ada hadits shahih yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab.” Perkataan ini disebutkan oleh Imam Al-Munawi di dalam kitabnya Faudhul Qadir (4/18).

Para ulama kontemporer juga menyatakan hal yang seperti para khalaf dan mutakhkhirin. Di antara mereka yaitu Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Hasan Ayyub, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Shalih Bin Fauzan, Syaikh Ibnu Al-Jibrin, Syaikh Abu Malik, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syaikh Sa'ad Yusuf Abu Aziz, Syaikh Usamah Abdul Aziz, dan lainnya.

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Puasa Rajab tidak memiliki keutamaan melebihi bulan-bulan lainnya kecuali ia termasuk bulan-bulan haram. Tidak ada sunnah yang shahih tentang keutamaannya. Dan apa yang datang mengenai hal itu tidak bisa dijadikan hujjah.” (Fiqh Sunnah: 1/318)

Syaikh Hasan Ayyub berkata, “Tidak ada hadits yang shahih yang menganjurkan berpuasa dalam hari tertentu di bulan Rajab secara khusus kecuali apa yang dianjurkan untuk melakukan amal shalih pada bulan-bulan haram.” (Fiqhul Ibadat bi Adillatiha fil Islam, hal. 431)

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, tidak ada satupun hadits yang shahih yang menjelaskan keutamaannya secara khusus atau puasa sesuatu darinya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa sebahagian hari darinya dengan meyakini adanya keutamaan padanya dari bulan-bulan lainnya adalah tidak ada dasarnya dalam agama.”

Syaikh Utsaimin berkata, "Para ulama berkata, "Semua hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan puasa bulan Rajab atau shalat padanya adalah dusta berdasarkan kesepakatan para ulama hadits. Imam Ibnu Hajar rahimahullah telah menulis buku kecil dalam masalah ini dengan judul "Tabyinul Ajab Fima Warada Fi Fadhli Rajab". (Asy-Syarhul Mumti': 6/476).

Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya, maka beliau menjawab, "Mengkhususkan puasa pada hari ke 27 Rajab dan shalat malamnya itu bid'ah. Dan setiap bid'ah itu kesesatan." (Majmu' Fatawa Ibnu Utsaimin: 20/440).

Syaikh Shalih Bin Fauzan berkata, “Puasa hari pertama bulan Rajab itu bid’ah, bukan ajaran syariat. Tidak ada hadits Nabi saw yang shahih dalam mengkhususkan puasa Rajab. Maka puasa hari pertama dari Rajab dan meyakininya sunnah ini salah dan bid’ah.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 1/33).

Syaikh Ibnu Al-Jibrin rahimahullah berkata, “Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa, atau mengkhususkannya dengan berumrah yang sering disebut dengan umrah Rajabiyah, atau mengkhususkannya dengan menghidupkan satu malam yang dikenal dengan malam Raghaib yakni malam Jum’at pertama bulan Rajab, atau mengkhususkannya dengan menyembelih hewan yang dikenal dengan istilah ‘atirah, maka semua itu perbuatan bid’ah yang tidak memiliki dasar agama.” (Fatawa Ramadhan: 2/734)

Syaikh Abu Malik berkata, “Tidak ada satupun yang shahih dari Nabi saw dan tidak pula dari para sahabatnya dalam keutamaan puasa Rajab secara khusus. Semua haditsnya ini lemah bahkan palsu.” (Shahih Fiqhus Sunnah: 2/144).

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi rahimahullah berkata, "Di antara puasa yang diharamkan yaitu puasa bid'ah yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hawa nafsu mereka, yang tidak disyariatkan oleh Allah ta'ala dan Rasul-Nya dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat khulafaurrasyidin dari para khalifah Rasul saw serta tidak pula dianjurkan oleh para imam mazhab. Di antara puasa bid'ah ini yaitu mengkhususkan puasa pada hari ke 12 bulan Rabiul Awwal, mengkhususkan puasa pada hari ke 27 bulan Rajab, dan mengkhususkan puasa Nishfu Sya'ban." (Fiqhush Shiyam: 136).

Dalam kitabnya yang berjudul "Mausu'ah As-Sunan wa al-mubtadi'at" (telah diterjemahkan dengan judul "Buku Pintar Sunnah dan Bid'ah"), Syaikh Sa'ad Yusuf Abu Aziz berkata, "Tidak ada satu dalilpun yang bisa digunakan sebagai pegangan mengenai keutamaan bulan Rajab ini, baik berpuasa ataupun melakukan shalat malam secara khusus, demikian pendapat Al-Hafiz Ibnu Hajar. Akan tetapi, jika seorang muslim sudah terbiasa melakukan puasa sunnah yang dianjurkan dalam setiap bulan, maka ia dianjurkan untuk tidak menghentikan puasanya di bulan Rajab ini." (Buku Pintar Sunnah dan Bid'ah: 445).

Dalam kitabnya "Shiyamut Thathawwu': Fadhail wa ahkam" (telah diterjemahkan dengan judul "Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya"), Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata, "Tidak ada hadits shahih dari Nabi saw yang menjelaskan tentang puasa pada bulan Rajab dan keutamaannya. Sementara hadits yang terdapat dalam masalah ini merupakan hadits-hadits lemah dan bahkan palsu yang sama sekali tidak shahih. Ini merupakan pendapat para ulama yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini." (Kumpulan Puasa Sunnat Dan Keutamaannya: 76).

Demikianlah penjelasan para ulama mengenai keutamaan amalan tertentu pada bulan Rajab. Mereka sepakat mengatakan tidak ada amalan khusus yang disyariatkan pada bulan Rajab, karena tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai hal ini. Semua hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab dan amalan-amalannya adalah lemah dan palsu yang tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah.

Oleh karena itu, kita tidak boleh mengkhususkan bulan Rajab dengan melakukan ibadah tertentu seperti puasa pada semua hari bulan Rajab atau puasa hari-hari tertentu dari bulan Rajab seperti puasa pada hari pertama, kedua, ketiga,  dan hari ke dua puluh tujuh, puasa hari Kamis pertama, dengan meyakini keutamaannya, shalat Ragha’ib, menyembelih binatang khusus bulan Rajab (‘athirah), umrah khusus bulan Rajab (umrah Rajabiyyah), dan sebagainya. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam agama.

Sebagai penutup, mari kita perbanyak amal shalih pada bulan Rajab ini tanpa mengkhususkan waktu dan amalan tertentu sesuai dengan petunjuk Nabi saw. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah swt untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw agar ibadah kita diterima oleh Allah swt dan agar kita tidak terjerumus kepada perbuatan bid'ah yang diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin...!

Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh Pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top