Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si

Penyuluh Agama Islam Bireuen

Poligami adalah fenomena kehidupan  dalam masyarakat. Istilah poligami sering terdengar, namun tidak banyak masyarakat yang dapat menerima fakta ini. Di Indonesia kebolehan berpoligami telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 3 sampai dengan Pasal 5. 

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), poligami diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 59. Kebolehan hukum berpoligami sebagai alternatif, terbatas hanya sampai empat orang isteri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 55 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pertama, beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. Kedua, syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. Ketiga, apabila syarat utama tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

UUP pada dasarnya menganut asas monogami, tetapi apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, hukum, dan  agama membenarkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang (poligami). Namun demikian, hal itu hanya dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.

Poligami termasuk persoalan yang masih kontroversi, mengundang berbagai persepsi prokontra. Golongan anti poligami melontarkan sejumlah tudingan yang mendiskreditkan dan mengidentikkan poligami dengan sesuatu yang negatif. 

Eka Kurnia, dalam bukunya Poligami Siapa Takut (Perdebatan Seputar Poligami) memaparkan beberapa persepsi negatif poligami yaitu poligami itu melanggar HAM; poligami merupakan bentuk eksploitasi dan hegemoni laki-laki terhadap perempuan, sebagai bentuk penindasan, tindakan zalim, penghianatan, dan memandang remeh wanita, serta merupakan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. 

Tudingan lainnya menyebutkan, poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum perempuan, karena dianggap sebagai medium untuk memuaskan gejolak birahi semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti ia telah melakukan tindak kekerasan atau bahkan penindasan atas hak-hak perempuan secara utuh.

Sedangkan mereka yang pro poligami menanggapi, bahwa poligami merupakan bentuk perkawinan yang sah dan telah dipraktikkan berabad-abad yang lalu oleh semua bangsa di dunia. 

Dalam banyak hal, dampak positif poligami sebagaimana diungkapkan Ariij binti Abdur Rahman As-Sanan dalam karyanya Adil Terhadap Para Istri: Etika Berpoligami. Poligami sesungguhnya akan mengangkat martabat kaum perempuan, melindungi moral agar tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji dan maksiat yang dilarang oleh Allah, seperti maraknya tempat-tempat pelacuran, prostitusi, perempuan malam yang mencari nafkah dengan menjual diri, dan perbuatan maksiat lainnya, yang justru merendahkan martabat perempuan. 

Poligami mengandung unsur penyelamatan, ikhtiar perlindungan, dan penghargaan terhadap eksistensi dan martabat kaum perempuan.

Terlepas pro dan kontra poligami, untuk membangun fundamental poligami yang sehat, maka fungsi izin poligami sangat menentukan, yaitu aturan-aturan, syarat-syarat yang selektif, dan prosedur pemberian terhadap izin poligami harus ditaati secara konsisten, sehingga pasangan poligami dapat lebih diarahkan sesuai dengan tujuan perkawinan. 

Jangan sampai poligami menjadi pintu masuk bagi kemudaratan lainnya.  Ibarat mengobati penyakit dengan penyakit, seharusnya mengobati penyakit dengan sesuatu yang dapat menyembuhkan penyakit itu. Bukan sesuatu yang akan semakin memperparahnya. 

Meskipun telah diatur oleh Undang-Undang, namun realitanya pelaksanaan poligami masih ada yang tidak sesuai dengan peraturan. Sebagian poligami dilakukan tanpa mendapat izin dari Mahkamah Syar’iyah (illegal poligami). 

Perempuan adalah makhluk yang paling dirugikan atas praktik poligami yang tidak sesuai dengan hukum perundang-undangan dan syariat, baik bagi istri pertama atau istri kedua. Namun kerugian terbesar akan dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari poligami illegal.

Adanya perkawinan illegal poligami, dalam bentuk dan konstruksi apapun, merupakan hambatan dan mengandung risiko bagi pengakuan dan pemenuhan hak-hak anak dalam hukum keluarga.  Pernikahan yang tidak tercatat, tidak memiliki keamanan hukum, yang berarti tidak ada perlindungan bagi suami atau istri secara hukum. Akibatnya, mereka bisa tidak mengambil tindakan hukum perdata terkait masalah perkawinan. Anak-anak yang lahir juga diakui oleh negara sebagai anak-anak di luar nikah. 

Implikasinya  adalah, mereka bisa ditinggalkan oleh ayah mereka. Perkawinan akibat illegal poligami berdampak pada hubungan perdata, pengakuan nasab atau garis keturunan (formal), hak mewaris, pemeliharaan dan biaya hidup, bahkan kasih sayang dan tanggung jawab orang tuanya untuk tumbuh dan kembang anak. 

Karena itu, poligami jangan dianggap sebagai jalan pintas untuk mencari kesejahteraan, kemakmuran, lambang kehebatan, lambang keperkasaan, serta kesuksesan hidup. Poligami dalam Islam adalah solusi bagi kondisi darurat, bahwa poligami harus dilaksanakan dengan sangat hati-hati dengan penuh pertimbangan,  berdasarkan pengetahuan, dan komitmen yang kuat. Tanpa itu semua, poligami sama saja dengan menjadikan istri pertama bagai janda dan anak-anak bagai yatim. Maka hindarilah.

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top