LAMURIONLINE.COM | BANDA ACEH – Penceramah Subuh Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Aceh Prof Dr H Muhammad Yasir Yusuf, MA  mengatakan, utang dalam Islam adalah bentuk ta'awun atau tolong-menolong antar sesama muslim. Karena itu, dalam akad gadai, mengambil keuntungan lebih dari jumlah utang yang diberikan tidak dibenarkan. 

“Keuntungan hanya datang dari Allah Swt,” kata Prof Yasir Yusuf dalam ceramah subuh di MRB dengan topik aqad gadai dalam Islam, Rabu (1/11). Dalam ceramahnya, ia menyoroti pentingnya akad gadai dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan penjelasan mendalam tentang prinsip-prinsip yang mendasari akad ini.

Prof Yasir Yusuf menyampaikan,  dalam kehidupan seseorang, tidak semua orang memiliki keadaan finansial yang sama. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, seringkali seseorang memerlukan bantuan dari orang lain, yang sering kali terwujud dalam bentuk utang. Dalam konteks ini, akad gadai atau pegadaian adalah salah satu cara yang diizinkan dalam Islam untuk mengamankan utang piutang.

Didasarkan pada ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283 yang menyatakan, jika seseorang berutang dalam perjalanan dan tidak ada yang dapat menuliskan perjanjian, maka sebaiknya ada jaminan yang dipegang. “Namun, jika ada saling percaya, maka utang tersebut harus dilunasi tanpa persyaratan tertulis, dengan asumsi saat ini, notaris biasanya terlibat dalam pembuatan perjanjian utang atau akad gadai,” ujar Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini.

Menurut Prof Yasir Yusuf, apabila utang besar tidak dilunasi dalam waktu yang singkat, sehingga nilainya tidak sesuai lagi, maka dalam hal ini, pentingnya keimanan, yaitu keyakinan bahwa keuntungan yang diharapkan dari pemberian utang akan diberikan oleh Allah Swt. “Rasulullah sendiri pernah menggadaikan barang miliknya,” tegasnya.

Tentang akad gadai, Ustaz Yasir Yusuf menjelaskan, ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang menggadaikan dan pihak pegadai. Barang yang digadaikan harus memiliki nilai yang dapat dilunasi langsung (on the spot) dan dapat ditebus kembali pada waktunya. Namun, jika barang yang digadaikan adalah binatang yang memerlukan perawatan dan pakan, biaya perawatan dan makanan harus diperhitungkan, dan pemilik barang dapat mengambil susunya.

Prof Yasir Yusuf menjelaskan praktik menggadaikan emas di Pegadaian, bahwa pemilik emas harus membayar biaya perawatan dan penjagaan. 

“Terkait dengan binatang gadai yang melahirkan anak, terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab, satu mazhab menganggap binatang tersebut milik yang menggadaikan, sementara yang lain menganggapnya milik yang menggadaikan,” ujarnya. 

Saat jatuh tempo, katanya lagi, barang gadai harus ditebus sesuai dengan nilai yang disepakati dalam akad. Jika tidak ditebus, barang tersebut dapat dijual, dengan catatan kelebihan dari harga jual harus dikembalikan kepada pemilik atau pihak pegadai.

Prof Yasir Yusuf menambahkan, terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab Hambali, Maliki, Syafii, dan Hanafi dalam melakukan akad gadai, khususnya dalam konteks akad pegadaian. Perbedaan ini mencerminkan kompleksitas hukum Islam yang beragam dan memungkinkan berbagai pandangan dalam praktik akad gadai. (Darmawan Abidin)

Editor: Abrar, Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top