Oleh: Afrizal Refo, MA
Dosen Mata Kuliah Syariat Islam di Aceh, IAIN Langsa
Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam kini menghadapi tantangan tersendiri. Melemahnya pelaksanaan nilai-nilai syariat, merebaknya perilaku menyimpang di kalangan remaja, dan meningkatnya kasus HIV/AIDS menjadi sinyal yang tidak bisa dibiarkan.Angka pengidap HIV/AIDS di Aceh menunjukkan peningkatan yang signifikan sepanjang tahun 2024. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, dari 109.645 orang yang menjalani tes HIV, sebanyak 348 orang di antaranya dinyatakan positif.
Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Aceh, dr Iman Murahman, penularan HIV di Aceh didominasi oleh laki-laki yang melakukan hubungan seksual sesama jenis atau gay. Kelompok ini kini menjadi kelompok dominan dalam penyebaran virus HIV.
“Sebagian besar pengidap HIV di Aceh adalah laki-laki yang melakukan hubungan sesama jenis, yang marak terjadi bahkan di kota-kota seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Langsa,” ujarnya
Fenomena ini ironi terjadi di Aceh. Jika situasi ini dibiarkan tanpa penanganan serius, maka tsunami akhlak akan menghantam generasi muda Aceh. Bukan hanya fisik yang hancur, tetapi juga nilai dan identitas Aceh sebagai Serambi Mekkah.
Lemahnya pengawasan dan ketegasan Pemerintah Aceh dalam penegakan syariat menjadi salah satu penyebab utama krisis ini. Penegakan Qanun Jinayat belum maksimal. Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat Islam belum mampu menjadi benteng akhlak secara menyeluruh, baik karena keterbatasan anggaran, SDM, maupun komitmen politik yang lemah. Ini menjadi tugas kita semuanya mendukung pelaksanaan syariat IsIam untuk mengembalikan marwah Aceh menjadi daerah yang menjalankan syariat Islam yang tegas.
Padahal, pelaksanaan syariat bukan hanya soal hukuman cambuk atau simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Syariat adalah sistem kehidupan yang harus menyentuh aspek pendidikan, sosial, budaya, hingga digital. Namun yang terjadi, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan, melihat syariat hanya sebagai formalitas.
Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf, sebagai pemimpin tertinggi di Aceh, harus segera turun tangan. Penerapan syariat ini bukan isu sepele, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut masa depan generasi Aceh. Gubernur harus menjadikan ini sebagai prioritas utama dalam agenda kepemimpinannya. Darurat akhlak ini bukan isu kecil. Ini menyangkut masa depan Aceh sebagai entitas yang berbeda dari provinsi lain.
Peran Keluarga, Sekolah dan Kampus
Melelahnya akhlak remaja bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Keluarga sebagai fondasi pendidikan pertama dan utama, harus diperkuat kembali. Banyak remaja yang kehilangan arah karena kurangnya perhatian, kontrol, dan penanaman nilai agama dari lingkungan rumah. Banyak anak muda yang kehilangan kontrol akhlak karena kurangnya perhatian dan pembinaan dari rumah. Orang tua harus dibekali pendidikan keislaman dan keterampilan mendidik anak.
Sekolah dan madrasah juga harus direvitalisasi. Kurikulum pendidikan perlu memasukkan nilai-nilai adab, pendidikan seksual islami, serta pembinaan karakter yang kuat. Remaja tidak cukup hanya diajarkan tentang halal-haram, tetapi juga diajak berdialog, difasilitasi kreativitasnya, dan diberikan peran dalam dakwah serta penguatan akhlak. Hal ini penting agar remaja tidak mencari informasi dari sumber yang salah dan menyesatkan.
Perlu ditegaskan, siapa pun yang tinggal di Aceh baik warga lokal maupun pendatang wajib tunduk pada aturan syariat Islam. Ini juga termasuk mahasiswa dari luar Aceh yang menempuh pendidikan di kampus-kampus di Aceh. Mereka tidak boleh membawa budaya bebas yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal.
Jika ditemukan melanggar syariat, maka mereka harus dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku di Aceh, tanpa pandang bulu. Lebih dari itu, pihak kampus mesti mengambil langkah tegas, termasuk memberikan peringatan keras hingga dikeluarkan dari institusi pendidikan. Ini bukan bentuk intoleransi, melainkan komitmen menjaga nilai-nilai daerah dan ketertiban sosial berdasarkan hukum yang telah disepakati bersama.
Aceh tidak boleh menjadi tempat kompromi bagi perilaku menyimpang. Para rektor, dekan, dan seluruh civitas akademika harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan akhlak mahasiswa.
Solusi Strategis dan Komprehensif
Menghadapi krisis ini, pendekatan yang hanya bersifat represif tidak akan cukup. Dibutuhkan strategi yang holistik dan kolaboratif: Pertama, evaluasi dan penguatan Qanun. Qanun Syariat Islam perlu pelaksanaan yang lebih adil, solutif, dan mendidik. Penegakan hukum harus disertai pembinaan dan edukasi, bukan hanya hukuman.
Kedua, digitalisasi dakwah dan rdukasi akhlak. Pemerintah perlu mendorong dakwah dan edukasi melalui media digital. Anak muda Aceh mesti disuguhi konten islami yang inspiratif, solutif, dan dekat dengan realitas mereka.
Ketiga, peningkatan kapasitas Wilayatul Hisbah (WH) dan mengembalikan menjadi lembaga yang independen. Perkuat kapasitas, anggaran, dan teknologi bagi WH agar mereka mampu menjalankan peran secara profesional, persuasif, dan strategis. Menjadikan lembaga yang independen yang menangani khusus pengawasan syariat Islam di Aceh.
Keempat, pelibatan ulama dan akademisi. Para ulama dan akademisi harus menjadi mitra utama pemerintah dalam menyusun kebijakan berbasis syariat yang rasional, aplikatif, dan solutif.
Kelima, gerakan remaja masjid dan mentoring akhlak. Pemerintah bisa menggandeng ormas Islam, kampus, dan komunitas remaja untuk menciptakan ruang-ruang pembinaan karakter dan kepemudaan islami.
Keenam, satgas akhlak Aceh. Dibentuknya satuan tugas khusus yang fokus menangani isu akhlak, LGBT, HIV/AIDS, dan dekadensi sosial di Aceh akan menjadi langkah konkret menuju perubahan.
Menjaga Identitas Aceh. Aceh memiliki sejarah panjang dalam perjuangan Islam di Nusantara. Jangan sampai sejarah ini berubah menjadi cerita tentang kehancuran akhlak akibat kelalaian kita sendiri. Masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, harus dilindungi dan dibina agar tetap berada dalam koridor syariat Islam.
Aceh kebanggaan umat Islam di Nusantara. Kebanggaan ini tak akan bertahan jika kita membiarkan generasi mudanya hanyut dalam arus penyimpangan akhlak dan liberalisasi budaya.
Karena itu, Gubernur Aceh harus berdiri di barisan terdepan memimpin gerakan akhlak ini. Ini bukan sekadar tugas pemerintahan, tetapi juga amanah sejarah dan tanggung jawab keumatan. Jangan tunggu tsunami akhlak itu benar-benar datang menghancurkan generasi Aceh.
Sudah saatnya Aceh bangkit kembali sebagai Serambi Mekkah, bukan hanya dalam julukan, tetapi dalam ruh, perilaku, dan sistem sosialnya. Itu hanya bisa tercapai bila semua pihak bersatu, tegas, dan bertindak sekarang juga.
Editor: Sayed M. Husen
0 facebook:
Post a Comment