Oleh: Hadi Irfandi

Masih segar dalam memori kita detik detik para pengendara dihimbau agar menepi ke pinggir oleh sekelompok petugas. Kali ini bukan karena melanggar aturan berkendara namun aturan syari'at. Dalam mengabadikan momen itu, media swasta tidak rela kalah cepat dari media resmi pemerintah daerah. Makanya begitu cepat sampai ke kita para penggulir sosial media. Sekilas, lumrah lumrah saja —setiap orang tahu bahwa ada peraturan daerah yang mengatur penampilan, dan ini adalah bagian dari penegakan aturan yang sudah menjadi kebiasaan di banyak titik, tak terkecuali di Aceh Besar. 

Saya mengapresiasi hal ini. Artinya, ada tindak lanjut yang jelas dalam penerapan peraturan daerah, sekaligus upaya dakwah dalam mengatur tata krama dan norma sosial yang berlaku. Sebuah langkah yang patut dikontinyukan karena setidaknya ada ketegasan dalam menegakkan peraturan yang jelas. Celana pendek, sebagai masalah yang tampak di luar, menjadi titik perhatian untuk memastikan bahwa masyarakat mematuhi tata tertib yang sudah disepakati bersama.

Namun, apa yang menyedihkan adalah kenyataan bahwa meskipun razia celana pendek terus berjalan, razia terhadap pikiran pendek seolah masih “kapan-kapan”. Inilah yang menjadi persoalan besar bagi kita. Dari sinilah bola salju masalah mulai membesar, tak terkendali. Merebaknya hoaks, ujaran kebencian, dan minat literasi yang semakin menukik tajam menjadi gambaran nyata bagaimana pemantapan literasi kita terutama untuk kawula muda masih belum membumi dan gencar.

Pikiran Pendek: Silent Killer

Pikiran pendek bukan hanya soal pandangan yang sempit, tetapi juga ketidakmampuan dalam memahami kenyataan dan melihat sesuatu dari berbagai perspektif. Dalam banyak hal, ini menjadi akar masalah yang menyebabkan ketidakpahaman, kebohongan, serta ketidaksepakatan yang berujung pada kerusakan sosial. Padahal, jika kita lebih serius dalam menangani pemikiran sempit ini, kita bisa menghindari segala bentuk distorsi informasi yang kini merajalela di masyarakat. Salah satunya adalah hoaks yang dengan mudah diterima tanpa ada filter.

Dari mana semua ini bermula? Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya minat literasi yang ada di masyarakat kita. Akibatnya, kebanyakan orang mudah sekali terjebak dalam arus informasi yang tidak jelas sumbernya. Tanpa keterampilan untuk membedakan informasi yang benar dan salah, hoaks pun semakin berkembang, tanpa ada yang menghalanginya. Hoaks mengolok ngolok pemimpin, atau meluasnya penurunan antusiasme untuk melanjutkan pendidikan, misalnya. Kata siapa ini bisa dianggap enteng? Dalam literasi yang rendah, ada potensi besar bagi munculnya kekeliruan dan kebohongan yang lebih besar lagi.

Dikejutkan oleh berita-berita palsu, ujaran kebencian yang viral, perpecahan antar daerah yang semakin dalam, atau di menurunnya minat melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya —adalah topik yang masih hangat di meja kopi hari ini, hingga besok. Fenomena ini adalah silent killer yang sering luput dari perhatian. Tidak seperti masalah pakaian atau penampilan yang cenderung tampak, kebodohan yang menyebar akibat pikiran pendek seringkali tak disadari. Itu sebabnya kita terus  Ketika literasi kita lemah, kita tidak punya kemampuan untuk menyaring informasi yang masuk, apalagi untuk berpikir secara kritis. Pertanyaan saya, adakah petugas khusus yang menggenjotkan literasi?

Kalaupun ada, kata siapa merazia pikiran pendek hanya tugas sekelompok orang?

Ayat yang Mendorong Kita Berpikir

Dalam Al-Qur’an, perintah membaca adaah wahyu pertama. Berbunyi "Iqra" yang berarti "Bacalah". (Q.S. Al - Alaq :1) Lebih lanjut, terdapat pengulangan perintah untuk berpikir dalam banyak surah, diantara 6000 lebih ayat. Sebagai sampel, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az- Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah menafsirkan Q.S. Al Baqarah 2:269 —bahwa hanya orang-orang yang memiliki akal sehat lah yang mampu mengambil pelajaran dari hikmah-hikmah Al-Qur'an.

Ayat-ayat yang memerintahkan untuk berpikir ini menunjukkan betapa pentingnya akal dan kemampuan berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita gagal membangun budaya berpikir kritis dan mengutamakan literasi, maka kita sebenarnya telah mengabaikan perintah pertama dalam wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad. Seharusnya, kita sebagai umat Islam memahami bahwa berpikir kritis adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran agama yang harus dijalani dalam setiap aspek kehidupan. Dan inilah yang saat ini banyak terlupakan oleh sebagian besar masyarakat kita.

Mengabaikan pentingnya literasi dan kemampuan berpikir kritis hanya akan memperburuk keadaan. Masyarakat yang tidak terlatih untuk berpikir secara mendalam akan mudah terperangkap dalam pola pikir yang sempit. Akibatnya, segala informasi yang datang akan diterima begitu saja, tanpa ada upaya untuk memverifikasi kebenarannya. Dalam kondisi ini, hoaks dan ujaran kebencian akan dengan mudah menyebar, menghancurkan tatanan sosial yang ada.

Pendidikan: Kunci untuk Mengatasi Pikiran Pendek

Jika kita berbicara tentang solusi, maka pendidikan menjadi hal yang paling utama. Bagaimana kita bisa membangun masyarakat yang lebih cerdas dan mampu berpikir kritis jika pendidikan yang kita berikan tidak cukup mengasah keterampilan berpikir? Bahasa eropa atau mandarin masih haram karena bahasa kaphee? antar institusi pendidikan cenderung nyaman saling merasa lebih unggul daripada bersinergi? Peminat literasi masih dicitrakan kumuh atau anti sosial? atau yang belum hilang diingatan kita; narasi orang pintar tidak menjadi apa apa —takut untuk kita counter kembali. Rasanya, wacana merazia pikiran pendek masih jauh panggang dari api.

Pendidikan harus lebih dari sekadar mentransfer pengetahuan; ia harus mengajarkan bagaimana cara berpikir, menganalisis, dan mengevaluasi informasi dengan baik. Pendidikan sejarah tidak boleh lagi hanya menghafal tanggal, tahun, dan nama tokoh saja. Atau nantinya harus rela, jika kita akan terus terjebak dalam pola pikir yang sempit dan terperangkap dalam hoaks dan informasi yang salah.

Diluar dunia akademisi, penting mendorong diskusi yang terbuka dan sehat di masyarakat. Diskusi yang melibatkan berbagai perspektif akan memperkaya pemahaman kita tentang dunia, dan membentuk kemampuan kita untuk berpikir kritis. Ini adalah cara kita untuk melawan pemikiran sempit dan membangun masyarakat yang lebih terbuka, cerdas, dan toleran.

Razia Pikiran Pendek; Beu Jadeh Buet

Pada akhirnya, razia celana pendek yang terus jalan memang menunjukkan adanya ketegasan dalam menegakkan aturan. Namun, razia terhadap pikiran pendek—yang merusak tatanan sosial dengan kebodohan dan hoaks—seharusnya juga menjadi fokus utama kita. Tidak ada salahnya jika kita memberikan perhatian yang sama pada pemikiran yang sempit dan literasi yang rendah, sebagaimana kita memberikan perhatian terhadap penampilan fisik yang dianggap tidak sesuai.

Jika kita serius ingin membangun masyarakat yang lebih baik, kita harus mengutamakan pengembangan literasi dan pemikiran kritis. Hanya dengan itu kita bisa mencegah terjadinya penyebaran informasi palsu, ujaran kebencian, dan ideologi sempit yang merusak. Dalam hal ini, pendidikan yang memperkuat literasi dan kemampuan berpikir adalah solusi yang tak bisa ditunda. Sebagaimana razia celana pendek bukan hanya tanggung jawab petugas, razia pikiran pendek pun hendaknya demikian.

Penulis lepas di LamuriOnline, merupakan Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top