M. Nur, S.I.Kom., M.I.Kom 

lamurionline.com -- Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “kabur aja dulu” semakin sering terdengar di kalangan anak muda Indonesia, terutama di Aceh. Ungkapan ini bukan hanya sekadar ekspresi kasual, melainkan mencerminkan sebuah kecenderungan mental kolektif yang memilih pelarian dari tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tren ini menjadi semakin signifikan untuk dikaji dalam konteks Aceh, khususnya ketika kita memasuki masa transisi berakhirnya dana otonomi khusus (Otsus) yang selama ini menjadi fondasi utama pembangunan daerah. Dalam situasi yang semakin tidak menentu, pertanyaan besar yang perlu diajukan adalah: apakah generasi muda Aceh akan menjadi motor perubahan, atau justru semakin larut dalam sikap apatis dan eskapisme?

Fenomena kabur aja dulu tidak muncul dalam ruang hampa. Ia merupakan respon dari generasi muda terhadap realitas yang dianggap stagnan dan mengecewakan. Menurut teori anomie dari Emile Durkheim (1897), ketika norma-norma sosial gagal memberikan arah yang jelas, maka individu cenderung mengalami kekacauan nilai yang mendorong perilaku menyimpang, termasuk pelarian dari tanggung jawab sosial. Dalam konteks Aceh, kegagalan sistem untuk menyediakan pendidikan berkualitas, akses lapangan kerja yang memadai, dan keterlibatan politik yang bermakna membuat banyak pemuda merasa bahwa satu-satunya jalan keluar adalah “kabur”.

Lebih jauh lagi, tren ini juga diperkuat oleh budaya digital yang mengglorifikasi kesuksesan di luar kampung halaman. Media sosial seperti TikTok dan Instagram tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga platform pembentukan persepsi realitas. Narasi-narasi populer seperti “kerja di luar negeri lebih menguntungkan” atau “tinggalkan kampung, cari aman dulu” mengkristal menjadi panduan hidup tak tertulis bagi banyak anak muda. Sebagaimana dicatat dalam penelitian oleh Twenge (2017), generasi digital cenderung lebih rentan terhadap tekanan psikososial akibat ekspektasi yang dibentuk oleh media daring, terutama ketika ekspektasi tersebut tidak sejalan dengan kondisi nyata yang mereka hadapi.

Aceh saat ini berada dalam momen yang sangat menentukan. Setelah dua dekade menerima dana Otsus dari pemerintah pusat sebagai bentuk kompensasi atas konflik dan ketertinggalan pembangunan, hasilnya masih belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, terutama generasi mudanya. Banyak infrastruktur fisik telah dibangun, namun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih jauh dari ideal. Menurut data Bappeda Aceh (2024), tingkat pengangguran terbuka di kalangan pemuda Aceh masih tergolong tinggi, sementara indeks pembangunan pemuda (IPP) Aceh juga belum mampu menyaingi provinsi-provinsi lain di Sumatera.

Berakhirnya dana Otsus menjadi semacam “deadline struktural” bagi Aceh. Dana tersebut selama ini menjadi sokongan utama dalam membiayai program pendidikan, kesehatan, pembangunan desa, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketika dana ini tak lagi mengalir, maka akan terjadi pengurangan besar-besaran pada berbagai program sosial yang selama ini menjadi penyangga kestabilan sosial. Dalam situasi seperti ini, daya tahan sosial dan kapasitas adaptif generasi muda menjadi sangat krusial. Namun ironisnya, justru saat daya tahan itu dibutuhkan, generasi muda kita justru cenderung menjauh, baik secara fisik maupun mental.

Sikap kabur ini bisa kita lihat dari meningkatnya angka migrasi pemuda Aceh ke luar daerah atau luar negeri. Banyak dari mereka yang merantau bukan karena peluang atau semangat eksplorasi, melainkan sebagai bentuk keputusasaan terhadap situasi lokal. Beberapa bekerja sebagai buruh kasar di Malaysia, sebagian lainnya menjadi pekerja informal di kota-kota besar di Pulau Jawa, dengan risiko ketidakamanan kerja dan minimnya perlindungan hukum. Dalam jangka panjang, migrasi paksa seperti ini justru mengakibatkan kehilangan potensi SDM daerah yang seharusnya menjadi agen pembangunan lokal.

Fenomena ini juga berkaitan erat dengan teori learned helplessness yang dikembangkan oleh Martin Seligman (1975), di mana individu yang terus-menerus mengalami kegagalan atau merasa tidak memiliki kendali atas nasibnya akan berhenti berusaha dan menyerah pada keadaan. Pemuda yang berulang kali gagal mendapatkan pekerjaan meskipun sudah berpendidikan tinggi, atau mahasiswa yang tidak melihat relevansi ilmunya dengan dunia nyata, pada akhirnya akan menarik diri dari proses sosial dan memilih jalan mudah: kabur, diam, atau masa bodoh.

Untuk mengatasi situasi ini, dibutuhkan respon sistemik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah Aceh harus menjadikan fenomena “kabur aja dulu” ini sebagai indikator penting kegagalan kebijakan, bukan sekadar gejala sosial biasa. Strategi pembangunan ke depan pasca-Otsus harus menjadikan pemuda sebagai subjek utama, bukan sekadar objek penerima program. Keterlibatan mereka dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi mutlak diperlukan agar kebijakan yang lahir relevan dengan kebutuhan generasi saat ini.

Pertama, sektor pendidikan tinggi perlu direformasi secara mendalam. Kurikulum yang berbasis kompetensi lokal harus dikembangkan agar mahasiswa tidak hanya dibekali dengan teori, tetapi juga keterampilan kontekstual yang sesuai dengan potensi daerah. Program studi baru yang fokus pada ekonomi kreatif, teknologi pertanian, dan pariwisata berbasis budaya bisa menjadi alternatif yang menjanjikan. Kampus harus menjadi inkubator inovasi sosial dan ekonomi, bukan hanya pabrik ijazah.

Kedua, pemerintah daerah perlu mendorong lahirnya ekosistem kewirausahaan muda. Bantuan modal usaha, pelatihan bisnis digital, dan akses pasar harus difasilitasi dengan serius. Selain itu, kolaborasi antara universitas, BUMD, dan komunitas kreatif dapat membuka lapangan kerja baru yang sesuai dengan minat dan bakat generasi muda. Sebagaimana dikemukakan dalam laporan UNDP (2022), kewirausahaan sosial menjadi salah satu strategi paling efektif untuk menahan laju migrasi pemuda dari daerah tertinggal.

Ketiga, revitalisasi budaya politik dan kepemudaan harus dilakukan melalui pendidikan karakter dan literasi politik yang masif. Pemuda Aceh harus dibangkitkan dari apatisme menuju kesadaran kritis bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika mereka terlibat. Gerakan mahasiswa, organisasi pemuda, dan komunitas lokal harus diberdayakan kembali untuk menjadi katalisator perubahan sosial. Dalam hal ini, peran media lokal dan media sosial juga sangat penting untuk menyebarkan narasi optimistik dan inspiratif tentang membangun Aceh dari dalam, bukan dari luar.

Jika tren “kabur aja dulu” tidak segera ditanggulangi, maka Aceh akan kehilangan generasi produktifnya dalam satu dekade ke depan. Tanpa pemuda yang terlibat, pembangunan daerah hanya akan menjadi proyek fisik tanpa ruh sosial. Maka, pemerintah Aceh, akademisi, ulama, tokoh masyarakat, dan pelaku usaha harus bersatu menciptakan lingkungan yang mampu menumbuhkan harapan, bukan ketakutan. Harapan itu tidak hanya dibangun lewat pidato dan seminar, tetapi melalui kebijakan nyata yang berpihak kepada pemuda.

Momentum berakhirnya dana Otsus harus dijadikan titik balik, bukan titik lemah. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa Aceh bisa mandiri, tidak hanya secara fiskal, tetapi juga secara sosial dan moral. Namun, untuk itu, kita harus mulai dari hal yang paling mendasar: menjadikan pemuda sebagai pusat pembangunan, bukan korban dari kegagalan pembangunan itu sendiri.

Akhirnya, ketika generasi muda berhenti berkata “kabur aja dulu” dan mulai berkata “bangun dari sini,” maka itulah pertanda bahwa Aceh benar-benar sedang bergerak maju. Dan untuk itu, tanggung jawab kita hari ini bukan menunggu, tapi memulai.


Penulis adalah: Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh

Email : mnur910@gmai.com

SHARE :

0 facebook:

Post a Comment

 
Top