Oleh: Syahrati, S.HI., M.Si.

Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kabupaten Bireuen

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 168)

Ayat ini menunjukkan bahwa perintah mengonsumsi makanan halal dan baik (halalan thayyiban) tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi kepada seluruh manusia. Ini menandakan bahwa prinsip halal merupakan kebutuhan universal yang berdampak besar terhadap kesehatan jasmani dan kebersihan rohani. Dalam Islam, apa yang dikonsumsi sangat memengaruhi hati dan perilaku seseorang. Maka, makanan halal bukan sekadar simbol keagamaan, melainkan pondasi moral dan spiritual dalam membangun generasi yang kuat dan bertakwa.

Negara hadir untuk melindungi seluruh rakyatnya, termasuk dalam urusan makanan dan minuman yang dikonsumsi. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, perlindungan tersebut tidak hanya menyangkut aspek keamanan pangan, tetapi juga kehalalannya. Halal bukan sekadar label atau formalitas, tetapi bagian dari keyakinan dalam menjalani hidup sesuai syariat. Karena itulah, jaminan produk halal bukan semata tugas negara, melainkan tanggung jawab bersama: negara, pelaku usaha, dan masyarakat.

Untuk menjamin hak masyarakat atas konsumsi halal, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Undang-undang ini mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia untuk bersertifikat halal. Ketentuan ini diberlakukan secara bertahap. Untuk produk makanan dan minuman, bahan tambahan pangan, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan, batas akhir kewajiban sertifikasi adalah 17 Oktober 2026. Setelah itu, produk tanpa sertifikat halal dianggap melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi administratif.

Lalu, mengapa sertifikasi halal begitu penting, terutama bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK)?

Di tengah persaingan pasar yang semakin ketat, konsumen kini tidak hanya mempertimbangkan rasa dan harga. Mereka juga menginginkan jaminan: bahwa produk yang dikonsumsi aman, bersih, dan halal secara sah. Sertifikat halal menjadi bentuk kepercayaan sekaligus keunggulan kompetitif. Produk bersertifikat halal lebih mudah diterima di swalayan modern, koperasi pesantren, hingga marketplace digital dan pasar ekspor.

Sayangnya, masih banyak pelaku UMK yang ragu atau menunda mengurus sertifikasi halal. Beberapa merasa cukup yakin bahwa produknya sudah halal. Padahal, dalam sistem yang tertib dan terstandar, keyakinan pribadi belum cukup. Sertifikat halal adalah pengakuan resmi yang melindungi konsumen dan memperkuat kredibilitas usaha.

Sebagai bentuk dukungan, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menghadirkan program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis untuk UMK Tahun 2025). Program ini memfasilitasi proses sertifikasi halal melalui mekanisme self declare, yakni pernyataan kehalalan produk oleh pelaku usaha tanpa melalui proses pemeriksaan oleh Lembaga Pemeriksa Halal, dengan syarat produk tidak berisiko, bahan sudah dipastikan halal, dan proses produksinya sederhana. Pengajuan dilakukan secara daring melalui aplikasi SIHALAL, dengan pendampingan dari Pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang telah disiapkan oleh Kementerian Agama di seluruh Indonesia.

Ini adalah peluang emas. Jika biasanya biaya menjadi hambatan, kini prosesnya gratis, mudah, dan dibantu. Pemerintah tidak hanya membuat aturan, tetapi juga hadir dengan solusi nyata.

Namun perlu diingat: kemudahan bukan untuk diabaikan. Setelah masa tenggang berakhir pada 17 Oktober 2026, pelaku usaha yang belum memiliki sertifikat halal akan dikenai sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis hingga penarikan produk dari peredaran.

Kini tidak ada alasan lagi untuk menunda. Sertifikat halal bukan sekadar kewajiban hukum. Ia adalah tanggung jawab moral dan spiritual. Ia merupakan bentuk penghormatan terhadap konsumen Muslim dan wujud komitmen terhadap produk yang aman dan berkualitas. Lebih jauh lagi, ia adalah strategi penting untuk menumbuhkan kepercayaan dan membuka akses pasar yang lebih luas.

Pemerintah telah menyediakan fasilitas, sistem, dan pendampingan. Kini saatnya pelaku usaha mengambil peran dalam gerakan nasional produk halal.

SHARE :

0 facebook:

 
Top