Oleh: Supiati, S. Ag., M, Sos
Sekretaris PD Ipari Kota Banda Aceh
Menimbang Arah Baru Evaluasi Pendidikan Nasional
Dalam beberapa tahun terakhir, wajah pendidikan Indonesia terus bergerak menuju transformasi. Salah satu perubahan penting yang akan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026 adalah kebijakan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Kebijakan ini digulirkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk menggantikan sistem ujian nasional dengan pendekatan evaluasi yang lebih menyeluruh, objektif, dan berbasis data. TKA diharapkan menjadi alat ukur yang setara bagi seluruh siswa, termasuk mereka yang berada di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Lebih dari sekadar pengganti ujian nasional, TKA diarahkan untuk menjadi fondasi kebijakan pendidikan berbasis bukti (evidence-based policy), yang memungkinkan pemerintah mengambil keputusan intervensi pendidikan secara lebih akurat dan terarah. Namun di balik kemajuan teknokratis ini, ada satu hal mendasar yang tidak boleh diabaikan: nilai dan jiwa pendidikan itu sendiri.
Pendidikan Tak Sekadar Angka, tapi Penanaman Nilai
Kebijakan TKA adalah angin segar dalam upaya membenahi sistem asesmen nasional. Ia hadir bukan hanya sebagai alat ukur prestasi, tapi sebagai jembatan keadilan yang memungkinkan setiap anak dari Sabang hingga Merauke dinilai dengan standar yang sama. Sebuah gagasan besar yang, jika dijalankan secara adil dan manusiawi, dapat menjadi titik balik perbaikan mutu pembelajaran di negeri ini.
Namun, dalam semangat perubahan itu, penting untuk diingat bahwa pendidikan bukan sekadar soal angka dan grafik. Dalam Islam, pendidikan adalah amanah suci: membentuk akhlak, menumbuhkan karakter, dan menanamkan nilai kebenaran. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Maka, di sinilah tantangan sesungguhnya: memastikan bahwa TKA tidak justru menjelma menjadi beban administratif yang membunuh semangat kejujuran, gotong royong, dan cinta belajar.
Satu nilai yang paling rentan dikorbankan adalah kejujuran. Ketika evaluasi hanya berorientasi pada angka, sering kali muncul dorongan untuk mengakali sistem demi hasil yang baik di atas kertas. Bukan tidak mungkin, TKA yang semestinya menjadi alat bantu malah berubah menjadi tekanan yang melahirkan praktik-praktik manipulatif—baik oleh siswa, guru, bahkan lembaga pendidikan. Padahal, bukankah lebih baik memiliki nilai rendah tapi jujur, daripada skor tinggi yang semu?
Evaluasi adalah Jalan Perbaikan, Bukan Penghakiman
Dalam perspektif Islam, evaluasi bukanlah alat untuk memvonis, tetapi sarana untuk memperbaiki. Ia dilakukan dengan hikmah dan kasih sayang, bukan tekanan dan ketakutan. “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku agar mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (lembut).” (QS. Al-Isra: 53). Evaluasi yang baik menuntun pada pemahaman—bukan hukuman. Guru bukan hanya pengajar, tapi juga murabbi—pendidik yang menumbuhkan karakter, bukan sekadar pencetak nilai.
TKA baru akan bermakna jika dijalankan dengan semangat pembinaan. Skor bukan akhir, melainkan awal dari proses perbaikan. Siswa yang hasilnya belum optimal bukan untuk disudutkan, melainkan diberi pendampingan. Sekolah-sekolah yang tertinggal bukan untuk disalahkan, tetapi dikuatkan. Inilah wajah pendidikan berkeadilan yang sejati: yang membimbing, bukan menekan. Yang menyadarkan, bukan menyingkirkan.
Solusi untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Agar TKA benar-benar menjadi alat yang mencerminkan keadilan dan tidak mencederai nilai-nilai utama pendidikan, maka implementasinya harus disertai dengan pendekatan karakter yang kuat:
1. Pendampingan karakter bagi guru dan siswa melalui pelatihan pembelajaran berbasis nilai dan refleksi moral.
2. Sosialisasi publik bahwa TKA bukan alat kompetisi, tetapi refleksi dan pemetaan capaian belajar.
3. Penerapan reward berbasis proses, bukan hanya hasil. Nilai kejujuran, usaha, dan konsistensi harus diberi tempat dalam evaluasi.
4. Peningkatan literasi digital dan sarana 3T agar akses terhadap asesmen tidak timpang dan eksklusif.
Mari sambut TKA sebagai instrumen kolaboratif, bukan kompetitif. Biarkan skor menjadi peta, bukan mahkota. Karena sejatinya, mutu pendidikan Indonesia bukan dilihat dari siapa yang menempati peringkat tertinggi di kota besar, tetapi dari sejauh mana kita mampu mengangkat yang paling tertinggal untuk tumbuh bersama.
0 facebook:
Post a Comment