Oleh: Supiati, S. Ag. M. Sos

Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh

Ketika hujan mengguyur deras dan air menggenangi jalan-jalan, kita pun saling menyalahkan. Pemerintah dianggap lamban. Warga dituding buang sampah sembarangan. Saluran air diklaim tersumbat karena tak dirawat. Namun, adakah yang bertanya: Apa peranku dalam semua ini? Atau lebih jauh lagi: Di mana peran penyuluh agama saat alam sedang berteriak minta tolong?

Banjir bukan sekadar bencana alam. Ia adalah cermin besar yang memantulkan wajah perilaku sosial dan spiritual kita—wajah yang kadang tak mau mengakui bahwa kita telah memperlakukan bumi dengan semena-mena. Sampah bukan hanya urusan petugas kebersihan, tetapi tanda dari pola pikir yang meremehkan tanggung jawab ekologis. Di tengah semua ini, penyuluh agama—yang selama ini dikenal sebagai penggerak moral masyarakat—sebenarnya memiliki peran strategis yang sering luput dibicarakan dalam isu lingkungan.

Antara Sampah dan Dosa Sosial

Tumpukan sampah plastik yang menyumbat saluran air tidak terjadi dalam semalam. Ia adalah akumulasi dari keputusan-keputusan kecil yang kita anggap sepele: menolak membawa tas belanja sendiri, membeli air kemasan sekali pakai, membuang tisu dari jendela mobil, atau meninggalkan bungkus makanan begitu saja di tepi jalan. Kita tidak sadar, kebiasaan kecil yang dibiarkan akan menjadi dosa sosial yang membesar.

Padahal, dalam Islam, ada sebuah hadis yang sangat mendalam:

"Iman itu memiliki lebih dari 70 cabang. Yang paling tinggi adalah La ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan."

(HR. Muslim)

Hadis ini tidak hanya bicara tentang batu di jalan. Ia bicara juga tentang plastik di selokan, sedotan di parit, dan sampah yang menggenangi sungai. Keduanya adalah gangguan. Dan iman sejati—kata Nabi—teruji di sana. Maka, membuang sampah sembarangan bisa jadi bukan hanya tindakan ceroboh, tapi pengkhianatan kecil terhadap iman itu sendiri.

Penyuluh: Jembatan antara Agama dan Ekologi

Selama ini, ceramah-ceramah keagamaan kita penuh dengan nasihat ibadah personal: salat, puasa, zakat. Namun, bagaimana dengan nasihat menjaga lingkungan? Padahal merusak bumi termasuk dalam kategori fasād fil-arḍ (kerusakan di muka bumi), yang secara tegas dikecam dalam Al-Qur’an.

Inilah celah besar yang bisa dan harus diisi oleh penyuluh agama. Dalam khutbah, majelis taklim, hingga bimbingan kelompok, penyuluh bisa menyuarakan kepedulian ekologis dengan pendekatan spiritual. Menjaga bumi bukan sekadar tindakan sosial atau aktivisme lingkungan, tapi wujud konkret dari ketakwaan kepada Allah.

Bayangkan jika para penyuluh memulai gerakan bank sampah berbasis masjid, sedekah tumbler untuk santri dan anak sekolah, hingga program tanam pohon pekanan di pesantren dan madrasah. Ajaran agama tidak hanya hidup di mimbar, tapi benar-benar menjejak nyata di tanah.

Banjir: Alam Sedang Mengingatkan Kita

Setiap kali banjir datang, sebenarnya alam sedang berteriak:

"Aku tak sanggup lagi menampung kecerobohan kalian."

Namun, kita hanya ribut saat rumah sudah tergenang. Setelah air surut, kita lupa. Siklus itu terus berulang, seakan kita tak pernah belajar.

Padahal, agama—terutama Islam—sangat menekankan pentingnya tadabbur (merenungi dan mengambil pelajaran). Dalam setiap bencana, selalu ada pesan moral. Dan di situlah peran penyuluh menjadi penting: sebagai penafsir zaman, bukan hanya pembaca kitab. Penyuluh seharusnya tidak hanya mengingatkan soal akhirat, tapi juga tentang bagaimana kita memelihara bumi sebagai amanah dari Tuhan.

Kepedulian yang Dimulai dari Diri

Kita sering berpikir bahwa perubahan besar hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan besar. Tapi sejarah sosial membuktikan, perubahan itu lebih sering datang dari kesadaran individu yang menular ke lingkungan sekitarnya.

Penyuluh agama adalah tokoh mikro yang bisa menciptakan gerakan makro—jika mereka lebih dulu menjadikan kepedulian ekologis sebagai bagian dari identitas penyuluhan. Begitu juga kita, sebagai masyarakat. Jangan tunggu banjir setinggi lutut untuk mulai peduli. Jangan tunggu viral di media sosial baru merasa bersalah.

Kepedulian bisa dimulai dari hal-hal kecil: memilah sampah di rumah, membawa botol minum sendiri, menanam pohon di halaman, mengajak anak bersih-bersih, hingga menyelipkan pesan cinta lingkungan dalam obrolan tetangga atau ceramah Jumat. Semua ini kecil, tapi berlipat dampaknya.

Penutup: Alam, Agama, dan Amanah

Kita tidak mewarisi bumi dari leluhur. Kita hanya meminjamnya dari anak cucu kita. Maka merawat bumi bukan pilihan, melainkan amanah. Amanah yang kelak akan kita pertanggungjawabkan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di hadapan Allah.

Penyuluh agama adalah penjaga nilai-nilai luhur. Sudah saatnya nilai itu merambah pada cinta terhadap lingkungan. Sampah dan banjir hanyalah gejala. Penyebab utamanya adalah kelalaian. Maka mari kita ubah kelalaian itu menjadi kesadaran.

Dari rumah kita, dari mimbar kita, dari dakwah kita – mari kita mulai memulihkan hubungan dengan alam. Karena mencintai bumi, adalah bagian dari mencintai Tuhan.

Mulailah dari satu langkah hari ini — pilah sampah di rumah, ajak anak menanam pohon, atau sampaikan pesan ini dalam ceramah Jumat. Jangan tunggu bencana untuk bertindak. Biarlah bumi tahu, kita sedang belajar berbenah.

Catatan Penulis:

Esai ini ditulis untuk mendorong para penyuluh agama, tokoh masyarakat, dan warga biasa agar melihat isu lingkungan sebagai tanggung jawab spiritual dan sosial. Kepedulian ekologis bukan hanya proyek pemerintah atau aktivis, tapi panggilan nurani kita bersama.

SHARE :

0 facebook:

 
Top