Oleh: Syahrati, S.HI., M. Si.

Penyuluh Agama Islam Kabupaten Bireuen

Dalam beberapa tahun terakhir, angka perceraian di Indonesia terus mengalami peningkatan. Jika dulu perceraian dipicu oleh masalah ekonomi atau kekerasan dalam rumah tangga, kini ada penyebab baru yang mulai mencuat yaitu pengaruh media sosial. Salah satu platform yang kerap disebut dalam berbagai kasus keretakan rumah tangga adalah TikTok.

TikTok, yang awalnya hanya dikenal sebagai platform hiburan berbasis video pendek, perlahan berkembang menjadi ruang interaksi sosial yang sangat terbuka. Fitur siaran langsung (live), gift virtual, hingga kolom komentar yang bebas digunakan siapa saja, membuka celah interaksi yang sering kali tak lagi terjaga adab dan batasannya.

Bagi sebagian istri, kehadiran TikTok menjadi semacam pelarian dari kejenuhan rutinitas harian. Mereka mulai mencoba siaran langsung, awalnya sekadar hiburan atau berinteraksi dengan orang lain. Namun perlahan, gift virtual pun berdatangan. Perhatian, pujian, hingga bujuk rayu dari para penonton membuat mereka merasa dihargai dan dilihat. Meski selama ini menerima nafkah dari suami, sebagian istri merasa gift TikTok memberi mereka semacam penghasilan pribadi yang menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus euforia yang tak biasa.

TikTok juga membuka peluang menuju popularitas instan. Semakin banyak pengikut dan gift yang diterima, semakin tinggi pula rasa percaya diri yang tumbuh. Sayangnya, hal ini tidak selalu diiringi dengan tanggung jawab moral. Popularitas semu pun berubah menjadi candu, sementara rumah tangga perlahan dikesampingkan demi eksistensi di dunia maya. Aktivitas rumah terganggu, interaksi dengan suami mulai renggang, dan anak-anak kehilangan perhatian yang utuh dari ibunya. Bahkan tak jarang, muncul ketegangan karena suami merasa perannya sebagai pemimpin keluarga tergeser oleh dunia maya. Keterlibatan emosional di dunia digital lambat laun bisa menjadi ancaman nyata bagi keharmonisan rumah tangga.

Namun, kita juga tidak boleh memojokkan perempuan semata. Laki-laki pun memiliki potensi penyimpangan yang sama. Banyak suami yang tenggelam dalam tontonan tak pantas, terlalu banyak waktu di media sosial, atau menjalin komunikasi dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istri. Artinya, menjaga rumah tangga di era digital adalah tanggung jawab bersama. Dalam Islam, rumah tangga adalah amanah. Suami dan istri memiliki peran yang saling melengkapi. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa menjaga keluarga bukan hanya soal memenuhi kebutuhan materi, tapi juga memastikan bahwa nilai, akhlak, dan kehormatan tetap terjaga. Di tengah derasnya arus konten yang merusak, kehadiran suami dan istri secara emosional menjadi benteng penting.

Islam tidak melarang perempuan untuk produktif atau memiliki penghasilan. Namun tetap ada batasan adab, aurat, dan akhlak yang harus dijaga. Ketika seorang istri memilih tampil di ruang publik dengan mengorbankan kehormatan dan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu sekaligus pengelola rumah tangga), maka martabat perlahan luntur dan keberkahan rumah tangga bisa hilang tanpa disadari.

Ketika seorang ibu terlalu larut dalam aktivitas TikTok, terutama live dan interaksi berlebihan dengan orang asing, maka dampaknya bukan hanya dirasakan oleh suami, tapi juga oleh anak-anak. Mereka tumbuh dalam rumah yang tampak utuh, namun kosong secara batin. Waktu dan perhatian yang dulu tercurah untuk mendampingi anak, menyiapkan makanan, atau sekadar mendengarkan cerita mereka, kini banyak tersita oleh aktivitas live di TikTok. Tak jarang, anak merasa harus bersaing dengan gadget untuk mendapatkan perhatian. Sebagian mulai menunjukkan perilaku agresif, menarik diri, atau sulit diatur. Padahal, keterikatan anak pada ibu di usia dini adalah fondasi utama bagi tumbuh kembang mental mereka.

Di sisi lain, suami juga mengalami tekanan batin. Ada yang mencoba memahami, tapi tak sedikit yang merasa dilukai harga dirinya. Apalagi jika istri mulai mendapatkan penghasilan besar dari gift dan tanpa sadar menunjukkan sikap superior. Ketika suami merasa tak dihormati atau dibutuhkan, pertengkaran pun mudah terjadi, bahkan bisa berujung pada perselingkuhan atau perceraian.

Solusi atas fenomena ini bukan sekadar melarang istri menggunakan media sosial. Larangan yang tidak disertai pemahaman hanya akan menimbulkan perlawanan. Yang dibutuhkan adalah pembatasan yang sehat, disepakati bersama, dan dibangun di atas komunikasi yang jujur antara suami dan istri. Suami perlu hadir sebagai pemimpin yang tidak hanya bertanggung jawab dalam hal materi, tetapi juga mampu mendampingi dan mengarahkan keluarganya dengan penuh kasih sayang. Di sisi lain, istri pun perlu menyadari bahwa eksistensi sejati bukan terletak pada layar yang dipenuhi pujian semu, melainkan di rumah yang ia rawat dengan cinta, adab, dan ketulusan. 

Media sosial bukanlah musuh, melainkan alat yang perlu dikelola dengan bijak. Dengan komitmen dan kedewasaan dari kedua belah pihak, platform digital seperti TikTok pun dapat dimanfaatkan secara positif tanpa mengorbankan keharmonisan rumah tangga. Gunakan media sosial dengan kesadaran penuh, bukan untuk mengumbar diri, tetapi untuk menyebarkan manfaat. Bukan demi pengakuan semu, tetapi untuk menumbuhkan nilai diri yang sejati.

SHARE :

0 facebook:

 
Top