Oleh: Hadi Irfandi

Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Peringatan Maulid Nabi (lagi-lagi) hanya seremonial saja bahkan diperingati sebagai salah satu momentum makan besar. Misalnya, ramai dirayakan dengan tabuhan rebana, hiasan indah, ceramah, hingga lomba anak anak. Namun, di tengah semarak itu, sering terlupa satu pertanyaan mendasar: apakah cara kita mencintai Nabi benar-benar sejalan dengan apa yang beliau ajarkan, atau justru hanya ritual tambahan yang tidak pernah dilakukan beliau?

Ironisnya, di tengah hingar-bingar perayaan keagamaan dan jumlah umat Islam di negeri ini yang mayoritas, sistem yang mengatur kehidupan kita justru berjalan di atas rel sekuler—memisahkan agama dari urusan politik, hukum, dan pemerintahan. Pemimpin yang kita pilih pun akhirnya dengan rasa tak bersalah ikut menjalankan roda pemerintahan dengan sistem kuffar tadi sehingga umat Islam banyak yang tidak mendapat keadilan. 

Kita bersemangat merayakan lahirnya Nabi, tetapi abai menerapkan risalah yang beliau wariskan. Kita berdoa dan bershalawat, tetapi tetap membiarkan hukum buatan manusia mengatur urusan masyarakat hingga bahkan malu untuk berdakwah dengan tema politik. 

Lebih lanjut, urusan Gaza seolah bukanlah urusan kita karena mereka dipisahkan batas geografis dengan kita. Padahal hanya ummatan wahidah (umat yang satu) lah gerakan yang diusung Nabi. Di sinilah letak tragedinya: cinta yang dikurung dalam ritual, tanpa diwujudkan dalam perjuangan menerapkan syariat secara kaffah.

Jika kita menengok kembali pada hakikat bid’ah, para ulama telah menjelaskan bahwa bid’ah adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ dalam perkara ibadah. Rasulullah ﷺ sendiri menghadapi dua imperium besar pada zamannya: Persia yang beragama Majusi dan Romawi yang beragama Nasrani. Keduanya memiliki tradisi, hukum, bahkan sistem sosial yang mapan. Namun, Rasul tidak mengambil sedikit pun dari mereka untuk diadopsi ke dalam syariat Islam. Beliau justru menolak total dan menegakkan aturan Allah secara mandiri, karena Islam tidak membutuhkan tambahan dari luar.

Sikap tegas Nabi ini kemudian ditegaskan dalam firman Allah SWT:

"Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” (TQS. Al-Kafirun: 1–6).

Surah ini bukan hanya pengingat teologis, tetapi juga penegasan politik. Ia turun sebagai jawaban menohok Nabi ﷺ terhadap tawaran kompromi kaum Quraisy yang kala itu tengah putus asa. Setelah gagal dengan rayuan jabatan, harta, dan wanita cantik, mereka beralih pada strategi kompromi: “sehari kami menyembah Tuhanmu, sehari engkau menyembah tuhan kami.” Namun Allah menurunkan Al-Kafirun sebagai tembok kokoh penolak segala bentuk kompromi akidah.

Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an mengurai, tawaran kompromi adalah bentuk soft power dari Quraisy setelah berbagai bentuk hard power gagal: embargo ekonomi, makar fisik, hingga upaya pembunuhan. Semua itu tidak mempan melunturkan keteguhan Rasul dan para sahabat. Justru dari situlah tampak jelas bahwa Islam tidak lahir dari kompromi dengan sistem kufur, melainkan dari penegakan risalah yang murni tanpa campur tangan kepentingan manusia.

Di titik inilah kita seharusnya bercermin. Jika pada masa Rasul tawaran kompromi ditolak mentah-mentah, mengapa kini umat rela berkompromi dengan sistem sekuler? Mengapa kita membiarkan hukum Allah diganti dengan produk parlemen yang rapuh dan berganti setiap saat, sementara kita tahu Rasul menolak adopsi hukum Persia maupun Romawi? Kita bersemangat membela syiar, tetapi diam ketika syariat Allah hanya dijadikan simbol tanpa implementasi nyata dalam sistem kehidupan bahkan sampai di tahap sudah di olok-olok.

Keteladanan kepada Rasulullah saw. seharusnya bersifat menyeluruh. Allah SWT. menyuruh : 

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan,..." (TQS. Al-Baqarah ayat 208)

Maka, merayakan Maulid seharusnya bukan sekadar momentum seremonial. Ia harus menjadi pengingat bahwa Nabi datang membawa risalah yang sempurna, bukan hanya teladan parsial, dan bukan pula untuk dipisahkan dari realitas kehidupan bernegara. Cinta kepada Nabi tidak cukup hanya dengan bershalawat, tetapi malah diam ketika melihat kemungkaran atau ragu ragu ketika diajak berkorban untuk dakwah. Namun juga dengan memperjuangkan tegaknya syariat Islam secara kaffah. Meliputi akidah, ibadah, muamalah, politik, dan dakwah.

Karena itu, selama kita masih terjebak dalam sistem sekuler, peringatan Maulid tidak akan membangkitkan pergerakan dalam diri umat sampai kapanpun. Sebaliknya, bila kita mengembalikan seluruh aspek kehidupan kepada hukum Allah, maka Maulid dapat menjadi salah satu sarananya. Di sana, cinta kepada Rasul berubah menjadi energi perubahan yang nyata. Sebab pada akhirnya, Islam bukan hanya agama ibadah ritual melainkan sistem hidup yang menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan, manusia, dan apa yang ada sebelum atau setelah alam ini.

SHARE :

0 facebook:

 
Top