Hj. Supiati, S. Ag., M. Sos
Sekretaris PD IPARI Kota Banda Aceh
Dalam bingkai kebijakan hukum syariah yang ketat di Aceh, pernikahan bukan hanya ikatan sosial dan emosional, tetapi juga sebuah kontrak sakral yang mengandung hak dan kewajiban suami istri. Hakikat hubungan suami istri, yang termasuk hak fundamental dalam rumah tangga, diatur secara rinci agar pernikahan menjadi sarana terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, fakta sosial di lapangan menunjukkan ada kasus signifikan di mana pernikahan berlangsung tanpa adanya hubungan suami istri. Fenomena ini membuka tabir persoalan sosial dan hukum yang rumit sekaligus memilukan, terutama bagi perempuan yang menjadi korban ketidakadilan.Kasus pernikahan tanpa hubungan intim yang berlangsung bertahun-tahun di Aceh bukanlah anomali semata. Di balik hukum yang mengikat, realita menyelimutinya dengan ketidakadilan yang sering tersembunyi. Istri yang menjalani pernikahan tanpa hubungan suami istri mengalami tekanan psikologis mendalam, kehilangan hak-hak dasarnya, dan bahkan menghadapi stigma sosial. Dalam konteks syariat Islam, kewajiban suami untuk menyediakan nafkah lahir dan batin, termasuk hak berhubungan intim, bukan sekadar formalitas tetapi menjadi parameter keutuhan dan kebaikan rumah tangga. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, syariah membuka ruang hukum berupa fasakh, yaitu pembatalan nikah, sebagai upaya perlindungan bagi istri.
Dalam perspektif dalil dan teks suci, Al-Quran menyatakan dengan tegas kewajiban suami untuk menjaga dan menggauli istri dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa ayat 34. Sebuah rumah tangga ideal adalah yang terpenuhi hak dan kewajibannya secara seimbang, di mana suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab menjaga kebutuhan lahir dan batin istri. Kegagalan pelaksanaan kewajiban ini oleh suami, khususnya dalam hal hubungan suami istri yang berkepanjangan diabaikan tanpa alasan yang syar’i, memberikan dasar yang kuat bagi istri untuk mengajukan pembatalan pernikahan di Mahkamah Syar’iyah.
Hukum Syariah Aceh Tentang Pembatalan Nikah (Fasakh)
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 secara tegas mengatur mekanisme hukum bagi pembatalan nikah (fasakh) jika satu pihak gagal menunaikan kewajibannya atau terjadi tindakan yang merugikan pihak lain secara signifikan. Pasal 60 Qanun Hukum Keluarga Aceh mencakup ketentuan pembatalan nikah ketika terdapat unsur penipuan atau salah sangka, termasuk kasus di mana hubungan suami istri tidak pernah terjalin selama bertahun-tahun. Di pengadilan syariah Aceh, terdapat sejumlah putusan yang mengukuhkan hak istri untuk mendapatkan pembatalan nikah ketika dibuktikan suami meninggalkan kewajibannya atau melakukan pelanggaran serius terhadap hak istri.
Secara konseptual, pembatalan nikah bukan semata-mata tindakan hukum formal, melainkan sebuah solusi keadilan yang memberikan perlindungan psikologis dan sosial bagi istri sekaligus menjaga kesucian dan kekudusan institusi pernikahan. Dengan memberikan opsi fasakh, syariah tidak membiarkan ketidakadilan berlarut dan membuka jalan bagi penyelesaian yang sesuai nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Namun, pengaplikasian ketentuan ini masih menghadapi tantangan dalam pelaksanaan di lapangan. Banyak istri yang takut mengajukan gugatan pembatalan nikah karena tekanan sosial dan stigma, selain juga kurangnya pemahaman hukum yang memadai. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat edukasi hukum dan agama bagi masyarakat, khususnya bagi mereka yang akan menikah, agar mereka memahami hak-hak dan kewajiban masing-masing.
Di sisi lain, mendorong proses dialog, konsultasi pranikah, dan pendampingan rumah tangga oleh para ulama dan ahli konseling menjadi solusi preventif yang dapat memperkecil kasus pernikahan tanpa keintiman. Komunikasi, keterbukaan, dan rasa saling pengertian akan memperkuat relasi dan meluruskan kesalahpahaman peran suami dan istri sesuai tuntunan Islam. Dalam banyak situasi, ketidakharmonisan yang menjurus kepada tidak terjalinnya hubungan suami istri berakar dari persoalan psikologis, sosial, atau kesehatan, sehingga intervensi yang bersifat edukatif dan konsultatif sangat diperlukan.
Selain itu, Mahkamah Syar’iyah Aceh perlu mengintensifkan peran pengawasan dan perlindungan hukum agar pelaksanaan fasakh dapat berjalan dengan adil tanpa diskriminasi gender. Proses hukum harus menjadi alat yang mampu memberikan keadilan bagi istri yang hak-haknya terabaikan tanpa rasa takut maupun tekanan social.
Hukum Islam dan syariah di Aceh memberikan kerangka hukum yang jelas untuk menangani pernikahan tanpa hubungan suami istri, dengan memberi ruang pembatalan nikah sebagai mekanisme keadilan. Perlindungan hak istri melalui putusan fasakh adalah jawaban atas keresahan sosial dan ketidakadilan yang terjadi. Namun demikian, keberhasilan menerapkan ketentuan ini sangat bergantung pada peningkatan pemahaman hukum, pendidikan agama, dan penyediaan layanan konseling keluarga.
Pernikahan adalah fondasi keluarga yang harus dipelihara dengan cinta, hak, dan kewajiban yang terpenuhi. Melalui sinergi antara syariah, pendidikan, dan pendampingan, pernikahan dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati. Melindungi hak-hak istri di dalamnya bukan hanya sebuah kewajiban hukum, tapi sebuah amanah sosial dan spiritual yang harus dijaga dengan sepenuh hati demi masa depan yang lebih adil dan harmonis di Aceh

0 facebook:
Post a Comment