Oleh: Ustaz Masrul Aidi, Lc
![]() |
| Sumber foto: Tribun/Serambi Indonesia |
Kita bersyukur kepada Allah Swt bahwa di tengah hiruk pikuk kehidupan duniawi, Allah masih menanamkan dalam hati kita keinginan untuk menyemarakkan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Awalnya, peringatan Maulid ini bergeser pelan-pelan dari nilai dan rel awal. Berdasarkan fatwa-fatwa ulama, praktik Maulid memang tidak ada pada masa Rasulullah, sahabat, tabiin, atau tabi' tabiin, hingga abad ke-6 Hijriah.
Ketika semangat juang umat Islam mulai merosot, terutama saat menghadapi peperangan, para pemimpin Islam dari Dinasti Ayyubiyah berpikir keras. Mereka menyadari perlunya membangkitkan kembali jiwa umat Islam dengan satu rasa cinta yang tidak menimbulkan perbedaan pendapat: Cinta kepada Nabi Muhammad saw.
Cinta kepada selain Nabi seringkali memicu perpecahan, seperti cinta kepada partai atau pasangan dalam pemilihan. Namun cinta kepada Nabi Muhammad saw tidak akan pernah terputus. Untuk memotivasi umat, mereka menceritakan kembali kehidupan Rasulullah diselenggarakanlah sayembara untuk menuliskan sejarah kehidupan Nabi dalam bentuk sastra yang sangat indah, dengan hadiah fantastis mencapai 1.000 dinar emas. Karya yang menjadi juara dan dibaca hingga kini adalah yang kita kenal sebagai Maulid Barzanji.
Cinta Nabi sebagai Fondasi Iman
Peringatan Maulid bertujuan menumbuhkan kembali rasa cinta kepada Rasulullah. Dengan bangkitnya cinta ini, akan bangkit pula rasa cemburu (ghirah) ketika ajaran-ajaran beliau dinistakan.
Nabi saw bersabda: "Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan manusia seluruhnya."
Tingginya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih kuat daripada kecintaan kepada siapapun, termasuk orang tua atau guru. Menghormati guru dan ulama itu penting (takzim), namun tidak boleh berlebihan (ghuluw) hingga menempatkan mereka sejajar dengan Allah dan Rasul. Penghormatan harus seimbang. Jika kita salah dalam memuliakan, kita berisiko mengalami ketidakseimbangan dalam pemahaman agama.
Kesalahpahaman dalam Narasi Agama
Saat ini, kita menyaksikan ketidakseimbangan narasi dalam agama. Misalnya seringkali seluruh kesalahan digantungkan kepada kaum wanita (Hawa), padahal dalam Al-Qur'an, Allah Swt. tidak pernah menyalahkan Hawa sendirian.
"Lalu setan menggelincirkan keduanya dari surga..." (QS. Al-Baqarah: 36).
Ketika bertaubat, Allah hanya mengajarkan Adam beberapa kalimat taubat dan taubat Adam diterima. Ini menunjukkan bahwa dalam rumah tangga, tanggung jawab kepemimpinan dan kesalahan utama berada pada pihak laki-laki (suami).
Selain itu, narasi agama sering didominasi oleh laki-laki, sehingga isu-isu seperti poligami sering dibahas tanpa mengindahkan keadilan. Poligami itu bukan kesalahan dari sisi agama, tetapi menjadi kesalahan jika tidak diiringi dengan keadilan dan melupakan hak-hak wanita.
Pentingnya Adab dalam Berselawat
Penting untuk menjaga adab dalam berinteraksi dengan Rasulullah, bahkan saat berselawat. Berselawat adalah bentuk cinta, tetapi kadang kala adab itu hilang. Allah Swt sendiri tidak pernah memanggil Nabi dengan namanya dalam Al-Qur'an ("Ya Muhammad"), tetapi selalu dengan sebutan pangkat: "Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..." (QS. Al-Ma'idah: 67).
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Peran Wanita dalam Pendidikan dan Ilmu
Saat ini, terjadi kemunduran di kalangan pemuda dalam hal prestasi akademik, terutama laki-laki. Di banyak sekolah, juara kelas didominasi oleh perempuan.
Meskipun Nabi saw pernah bersabda bahwa wanita itu naqisatu 'aqlin wa din (kurang akal dan kurang agama), yang merujuk pada ketentuan syariat tentang kesaksian dan kewajiban ibadah, namun Allah Swt menciptakan akal laki-laki dan perempuan berbeda. Akal laki-laki lebih fokus pada logika (fikir), sedangkan perempuan lebih pada perasaan (perasaan).
Faktanya, akal yang digunakan untuk berfikir akan menurun kemampuannya seiring waktu, sementara kecerdasan perempuan yang didukung oleh hormon yang berbeda, memungkinkan mereka untuk menjadi profesor dan ahli ilmu. Perempuan memiliki perasaan yang lebih kuat, sehingga mereka lebih mudah tergerak.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk kembali pada ajaran Nabi saw, fokus pada peningkatan ilmu, dan membangun generasi penerus yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. (Smh)
Dirangkum dari ceramah peringatan maulid Nabi di Masjid Abu Indrapuri, Sabtu, 18 Oktober 2024 seperti disiarkan YouTube Masjid Abu Indrapuri

0 facebook:
Post a Comment