Oleh: Prof. Dr. Muhammad Yasir Yusuf, MA

Wakil Rektor I UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Ada sebuah kegelisahan yang mendalam, terutama melihat perkembangan anak-anak kita hari ini: mengapa di waktu shalat subuh hari banyak pemuda tidak hadir pada shaf-shaf shalat di masjid ? Di mana mereka ? Adakah kegelisahan kita sebagai seorang ayah, apakah anak kita sudah shalat atau belum ?

Fenomena yang terjadi menunjukkan, banyak anak muda begadang hingga larut malam dalam aktivitas scrolling HP dan terlibat dalam kegiatan yang menjauhkan mereka dari masjid, bahkan hingga luput dari shalat Subuh. 

Dekadensi moral, seperti peningkatan kasus LGBT dan perzinaan di kalangan anak muda (bahkan mahasiswa), adalah fakta yang sangat mengkhawatirkan di kota-kota besar. Kegiatan seperti olahraga futsal hingga jam tiga pagi menjadi penyebab utama kelelahan yang membuat mereka tidak sanggup bangun untuk Subuh.

Kita perlu bertanya: seberapa banyak dosen yang peduli menanyakan shalat Subuh mahasiswanya? Seberapa sering orang tua menanyakan kegiatan ruhani anak-anak mereka ? 

Seorang mahasiswa yang terlibat LGBT pernah mengaku bahwa ayahnya tidak pernah peduli dengan kegiatannya, hanya memenuhi kebutuhan hartanya. Ini menunjukkan betapa pentingnya peran ayah yang tidak hanya menyediakan materi, tetapi juga perhatian dan bimbingan spiritual.

Harta Terendah dan Rezeki Terbaik

Syekh Mutawalli Sya'rawi pernah mengatakan bahwa: harta itu adalah rezeki yang paling rendah kedudukannya. Yang paling tinggi adalah Al afiah (kesehatan). Orang kaya dengan harta melimpah namun sakit (diabetes, stroke) tidak bisa menikmati rezekinya. Namun, ada rezeki yang lebih agung lagi.

Manakah yang kita pilih: harta banyak tapi anak kita rusak, atau harta tidak terlalu banyak tapi anak kita menjadi anak yang saleh ?

Maka, Syekh Sya'rawi melanjutkan: rezeki yang paling afdal (utama) yang Allah curahkan kepada kita adalah shahul abna, anak-anak yang saleh.

Dosa terbesar (termasuk dosa-dosa besar) adalah uququl walidain (durhaka kepada orang tua). Namun, kita juga harus bertanya, apakah orang tua itu durhaka kepada anak ? Ini berarti, sejauh mana orang tua bertanggung jawab mendidik anak sehingga anak tidak durhaka.

Ayah yang Yatim di Tengah Anaknya

Ada fenomena anak yatim tapi ayahnya masih hidup. Kenapa ? Karena anak tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. Ayahnya tidak peduli dengan aktivitas mereka, bahkan tidak pernah bertanya, "Nak, kamu sudah shalat belum ? Semalam kamu di mana ?"

Saat merujuk kepada Al-Qur'an, tanggung jawab ayah diungkapkan lebih besar daripada ibu dalam mendidik. Dari 14 ayat dialog antara orang tua dan anak, 13 di antaranya adalah dialog ayah dengan anak. Ini menegaskan bahwa dialog dan komunikasi paling utama dalam keluarga adalah dialog ayah.

Ambil contoh dalam Surah Al-Baqarah ayat 133, ketika Nabi Ya'kub menjelang wafat: “Apakah kamu menjadi saksi ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, apa yang kamu sembah sepeninggalku ?”

Kita tentu berharap anak kita bahagia memandikan dan menjadi imam shalat jenazah kita. Namun, sudahkah kita persiapkan mereka ? Sudahkah kita latih mereka menjadi imam, minimal di rumah tangga kita sendiri ?

Kekhawatiran Warisan: Harta vs Akidah

Dalam perencanaan keuangan keluarga, seringkali yang dipikirkan adalah warisan harta agar anak tetap bisa sekolah dan hidup normal. Namun ada hal yang jauh lebih penting untuk diwariskan: akidah, iman, dan amal saleh.

Nabi Ya'kub bertanya, Ma ta’buduna mim ba’di ? (Apa yang engkau sembah setelah aku mati ?). Soal rezeki, kita tak perlu takut, karena rezeki setiap anak hadir bersama dirinya. Kekhawatiran berlebihan akan kemiskinanlah yang memicu orang tua berbuat kejahatan (korupsi, mencuri). Al-Qur'an telah mengingatkan: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.

Salah satu kunci rezeki anak adalah mewarisi kesalehan orang tua. Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Surah Al-Kahfi mengajarkan bahwa Allah membangun kembali rumah karena ayahnya adalah orang saleh (wa kana abuhuma shalih). Kesalehan kita memitigasi risiko kemiskinan pada anak-anak kita.

Anak-anak Nabi Ya'kub menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.") Mereka tidak menjawab "menyembah Allah," tetapi "Tuhan yang kamu sembah." Ini karena Nabi Ya'kub adalah uswah (teladan) bagi anak-anaknya.

Tiga Peran Vital Ayah

Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai ayah ? Minimum ada tiga hal yang perlu kita tekankan, pertama, qudwah (keteladanan).  Jika anak berkata, "Kami menyembah Tuhan yang ayah sembah," ini berarti apa yang ayah buat, kami ikut. Jika ayah menyembah Allah, ajaklah kami jumpa Allah.

Anak belajar dengan melihat. Cara kita memakai sepatu, cara kita makan, cara kita berbicara, semua menjadi template atau kerangka bagi mereka. Jika kita tidak memberikan teladan, mereka akan mencari suri teladan yang lain, yang saat ini banyak muncul dari media sosial dan AI (Artificial Intelligence).

Anak-anak hari ini sering bertanya kepada AI tentang "pakaian islami untuk olahraga," dan AI menyajikan model yang ketat dan kurang sesuai dengan syariat, yang kemudian dianggap sebagai "ustaz" oleh mereka karena viral dan terekspos. Kita tidak bisa lagi mendiamkan, karena anak-anak tidak lagi datang ke masjid untuk bertanya kepada ustaz, melainkan bertanya kepada kecerdasan buatan.

Kedua, kasih sayang. Kisah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bermain kuda-kudaan dengan cucu beliau, Hasan dan Husein, bahkan ketika mereka buang air di baju beliau, menunjukkan pentingnya kasih sayang. Rasulullah bersabda: Ma la yarham la yurham. (Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi).

Kita harus menghindari menjadi ayah yang emosional dan kasar, yang mudah marah atau memukul. Kisah anak yang menggambar di mobil baru ayahnya, yang berakhir dengan amputasi kedua tangannya karena infeksi, adalah pengingat betapa mobil 10 biji bisa kita beli, tapi hati anak yang sudah tergores tidak bisa dikembalikan.

Ayah bukanlah mesin cari uang. Kita harus meluangkan waktu, memeluk dan membelai anak-anak kita. Ketika pulang kerja, sambutan dari anak-anak akan menghilangkan semua rasa lelah dan masalah.

Ketiga, keadilan. Perlakukanlah anak dengan adil. Jangan pernah membandingkan anak yang satu dengan yang lain, misalnya, "Anak saya yang pertama keren, cerdas, beda dengan adiknya."

Ungkapan seperti itu, jika didengar anak, akan menumbuhkan perasaan "Ayah tidak adil" dan berpotensi melukai hati. Semua anak lahir dari rahim yang sama dan diproduksi oleh ayah-ibu yang sama. Kita harus mengapresiasi semua kelebihan dan memaklumi semua kekurangan mereka tanpa menghinakannya.

Wahai para ayah, mari kita menjadi ayah yang ketika meninggal dunia, betul-betul meninggalkan rezeki yang afdal: anak-anak yang saleh. Merekalah yang akan mengangkat doa kita, menyalatkan kita, dan menjadi penerus kesalehan kita. Ini tidak bisa terjadi jika kita sebagai ayah tidak mengambil peran utama dalam mendidik mereka. (Smh) 

Disampaikan pada Tausyiah Safari Subuh Sabtu (S3) di Masjid Nurul Huda Kantor BPKP Aceh, Gampong Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh, 19 Rabiul Akhir 1447/11 Oktober 2025, dengan Imam Tgk. H. Jamhuri Ramli, SQ., MA. Sumber: YouTube Popoen Ajteh.

SHARE :

0 facebook:

 
Top