Oleh: Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc, MA

Dosen HES Pascasarjana IIQ Jakarta

Prof Teungku Abubakar Aceh merupakan salah satu ilmuwan dan intelektual Muslim kontemporer yang berpengaruh dari Aceh. Beliau lahir pada tahun 1909 di Peureumeu, Aceh Barat. Ayah beliau seorang ulama terkemuka, Teungku Syekh Abdurrahman Peureumeu, dan ibunya bernama Ummi Hj. Naim yang berasal dari Peulanggahan, Banda Aceh.

Sejak usia dini, Teungku Abubakar Aceh telah mendapatkan didikan dasar-dasar keilmuan Islam langsung dari ayahnya, sebuah lingkungan yang menumbuhkan kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi pada dirinya. Selain sang ayah, beliau juga memperdalam ilmunya dengan berguru kepada beberapa ulama Aceh lainnya, seperti Teungku Haji Abdussalam Meuraxa dan Tuanku Raja Keumala.

Teungku Haji Abdussalam Meuraxa sendiri dikenal sebagai ulama Banda Aceh yang merupakan murid dari dua ulama besar lulusan Mekkah, yaitu Teungku Chik Abbas Lambirah dan Teungku Chik Jakfar Lamjabat. 

Menariknya, kedua ulama tersebut adalah putra dari Teungku Chik Muhammad Lambirah, pendiri dayah besar Lambirah Aceh Besar, dan Teungku Chik Jakfar Lamjabat juga merupakan mertua dari Teungku Haji Abdussalam Meuraxa. 

Sementara itu, Tuanku Raja Keumala, ulama sekaligus bangsawan kenamaan Aceh yang juga menjadi guru Teungku Abubakar Aceh, pernah berguru kepada Syekh Dorab dan Teungku Chik Pante Geulima. Tuanku Raja Keumala juga sempat menimba ilmu di Mekkah pada rentang waktu 1904 hingga 1908, menjadikannya segenerasi dengan Mufti Kerajaan Deli, Syekh Hasan Maksum.

Setelah menuntaskan pendidikan di Aceh, beliau melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Sumatera Barat untuk belajar selama beberapa tahun. Pada tahun 1936, beliau menunaikan ibadah haji dan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk belajar dari berbagai ulama di Mekkah. 

Mengingat tahun kedatangannya, beliau kemungkinan besar sempat berguru kepada ulama-ulama muta'akhirin (kontemporer) yang masyhur pada masa itu, seperti Syekh Sayyid Alawy al-Maliki, Syekh Sayyid Amin Kutbi, Syekh Sayyid Hasan Muhammad al Masyath, Sayyid Muhsin Al Musawa, dan para ulama besar lainnya.

Puncak karir keilmuan dan pengabdian Teungku Abubakar Aceh terlihat semenjak kepindahannya ke Yogyakarta. Karena penguasaan ilmu yang mendalam, keahlian dalam bahasa asing, dan ketawadhu'an yang melekat, beliau tidak hanya didaulat sebagai sesepuh masyarakat Aceh di Yogyakarta (banyak pelajar dan mahasiswa asal Aceh yang dibantu oleh beliau), tetapi juga dipercaya memegang jabatan strategis. Beliau ditunjuk sebagai Kepala Penerbitan di Kementerian Agama Republik Indonesia di bawah Menteri saat itu, Kiyai Haji Abdul Wahid Hasyim.

Kepercayaan terhadap sosoknya semakin besar ketika beliau diangkat sebagai Staf Ahli Menteri Agama KH. A. Wahid Hasyim. Beliau bahkan pernah ditugaskan sebagai Pimpinan Rombongan Jama'ah Haji Indonesia pada tahun 1953. Perhatiannya pada Kiyai A. Wahid Hasyim berlanjut ketika beliau menghabiskan waktu sekitar satu tahun untuk mengumpulkan data, mewawancarai orang-orang terdekat, dan mengumpulkan berbagai dokumen, yang kemudian menghasilkan karya agung (magnum opus) berjudul KH. A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Buku ini merupakan bukti nyata dari kepakaran dan kedalaman ilmu yang dimilikinya.*


Atas pengabdian dan kiprahnya yang besar dalam keilmuan Islam, Teungku Abubakar Aceh kemudian dikukuhkan sebagai Professor dalam bidang ilmu-ilmu keislaman.

Sebutan "Aceh" yang melekat pada namanya merupakan panggilan kehormatan yang diberikan oleh Presiden Soekarno, yang kagum atas kedalaman ilmu dan daya ingat beliau yang sangat kuat.


Selain sebagai ilmuwan dan intelektual hebat, Teungku Abubakar Aceh juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Bobot karya tulisnya sering menempatkan beliau setara dengan penulis handal lainnya seperti Prof. Buya Hamka dan Prof. Teungku Hasbi Shiddieqy. 


Di akhir usianya, beliau banyak bergelut dan menulis tentang Tasawuf. Salah satu kontribusi pentingnya adalah sebagai penerjemah Kitab Miftahussudur karya Syekh Ahmad Sohibul Wafa Tajul Arifin (dikenal sebagai Abah Anom Suryalaya), Mursyid Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.


Setelah berbagai pengabdian dan kontribusi besar untuk umat dan bangsa, ulama ilmuwan Teungku Abubakar Aceh wafat pada tahun 1979.*

SHARE :

0 facebook:

 
Top