Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wakaf di Aceh: Tradisi, Inovasi dan Keberkahan
Harta kekayaan tujuan utama hampir semua golongan. Sejak masa prasejarah hingga zaman modern, manusia berupaya keras meraih kekayaan, baik sebagai bentuk investasi dunia maupun bekal di akhirat.
Dalam bukunya, Harta Nabi, Dr. Abdul Fattah As-Samman mengharapkan agar kita mengoreksi pandangan yang keliru mengenai kefakiran Rasulullah saw. Sebagian umat Islam terlanjur memiliki persepsi bahwa Rasulullah saw adalah seorang yang fakir, miskin, dan sering kelaparan. Pandangan ini dikhawatirkan dapat membekukan semangat umat Islam dalam kemiskinan. Padahal Rasulullah saw sesungguhnya memiliki harta yang melimpah sehingga mampu menafkahi keluarga, membantu fakir miskin, dan mendukung kepentingan umat Islam.
Abdul Fattah menulis, Rasulullah saw seorang miliarder yang telah direalisasikan janji kekayaan oleh Allah Swt. Keyakinan sebagian umat Islam mengenai kefakiran Rasulullah saw seringkali didasari anggapan beliau sosok yang menjauhkan diri dari dunia. Pemahaman ini jelas bertolak belakang dengan perintah Allah untuk memakmurkan dan menikmati keindahan alam semesta yang telah Dia ciptakan sebagai anugerah untuk disyukuri.
Mereka juga berpegangan pada prinsip bahwa Rasulullah saw bersikap zuhud yang diidentikkan dengan kefakiran. Jika pemahaman ini terus dianut, akan timbul persepsi keliru bahwa zuhud adalah kemalasan dan menjauh dari usaha dunia sebagai sebuah keutamaan.
Selain itu, jika harta kekayaan berada di tangan orang yang sangat menonjolkan zuhud dalam artian sempit, mereka mungkin akan senantiasa menuduh diri sendiri sebagai pencinta dunia dan tergolong orang-orang yang merugi. Akibatnya, untuk menyelamatkan diri, mereka memilih segera menjauhi kekayaan dan memprioritaskan hidup miskin. Padahal Islam mengajarkan kita untuk mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Jika orang mukmin diserukan menjauhkan diri dari dunia dan meninggalkan usahanya, lantas siapa yang akan memakmurkan keindahan alam ini? Kekayaan yang merupakan nikmat Allah dan menjadi penunjang perjalanan menuju kehidupan akhirat justru dianggap sebagai penghalang. Segala nikmat, keindahan, dan perhiasan yang Allah ciptakan ditujukan untuk kebutuhan manusia. Allah menyeru kita mencari kekayaan, asalkan tidak melampaui batas.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an surah Al-Qashash ayat 77: "Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi."
Dalam hal ini, Allah Swt menganjurkan umat beriman agar menjadikan harta kekayaan dunia sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat, karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Memiliki harta kekayaan di dunia adalah investasi untuk alam akhirat. Untuk itu, mari kita alihkan pandangan bahwa harta kekayaan akan menjadi jaminan masuk surga jika dibelanjakan di jalan Allah Swt, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw melalui infak, sedekah, dan wakaf.
Editor: Sayed M. Husen

0 facebook:
Post a Comment