Oleh: Syahrati, S.HI., M. Si.

Penyuluh Agama Islam Kab. Bireuen

Rindu adalah bahasa hati yang universal. Ia hidup di dada siapa pun, baik seorang ibu, ayah, suami, istri, bahkan seseorang yang kini menjalani masa pembinaan di balik jeruji. Rindu yang mereka rasakan bukan hanya pada keluarga, tetapi juga pada kedekatan, sentuhan kasih sayang dan kehidupan normal yang pernah mereka miliki. Di balik semua itu, ada ujian besar yang sering luput dari perhatian, yaitu berupa ujian syahwat dan kesepian hati di ruang sunyi lembaga pemasyarakatan.

Islam tidak menolak keberadaan syahwat. Dorongan seksual fitrah manusia, anugerah Allah untuk menjaga kelangsungan hidup dan kasih sayang, namun fitrah itu bisa berubah menjadi ujian ketika tidak tersalurkan dalam koridor halal.

Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (QS. Al-Mu’minun: 5–6)

Allah Swt menegaskan, penyaluran syahwat hanya dibenarkan dalam hubungan halal, namun bagaimana dengan mereka yang sementara waktu kehilangan kesempatan tersebut, seperti para narapidana yang harus hidup terpisah dari pasangan sahnya.

Ujian syahwat di dalam lembaga pemasyarakatan bukan sekadar persoalan moral, melainkan realitas kemanusiaan yang menuntut pengakuan. Baik laki-laki maupun perempuan, mereka sama-sama menghadapi tekanan biologis, kesepian, dan dorongan alami. 

Dalam konteks Lapas, gelora fitrah yang tertekan ini seringkali disalurkan melalui cara-cara non-syar'i, seperti tindakan masturbasi atau bahkan berpotensi memicu penyimpangan perilaku seksual di antara warga binaan. Mengabaikan realitas ini sama dengan menimpakan masalah baru, yaitu stres, depresi, atau pelanggaran moral yang berkelanjutan.

Hal ini sejalan dengan pandangan ulama kontemporer. Dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili menegaskan, Islam memerintahkan manusia menjaga diri dari pelampiasan haram, namun tidak menutup mata terhadap dorongan alami. 

Karena itu, Islam selalu membuka ruang solusi yang syar’i dan manusiawi. Begitu pula Yusuf al-Qaradawi dalam Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam menulis bahwa Islam memuliakan fitrah, bukan menindasnya.

Manusia hanya diminta mengendalikannya sampai tiba waktu yang halal, bukan mematikan nalurinya. Rasulullah saw bahkan memberi panduan spiritual, yaitu puasa: “Barang siapa belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa, zikir, kegiatan produktif, dan pembinaan rohani adalah jalan spiritual yang menenangkan hati, namun narapidana yang terpisah lama, pendekatan moral perlu diiringi dengan solusi sistemik yang mengatasi akar permasalahan biologis dan sosial.

Solusi Manusiawi

Sudah saatnya lembaga pemasyarakatan di Indonesia mulai mengkaji konsep ruang kunjungan suami-istri (conjugal visit) bagi narapidana yang sah secara hukum dan agama. Kunjungan tersebut bukan bentuk kelonggaran atau kemewahan, melainkan bagian dari Hak Asasi Manusia dan upaya menjaga kehormatan diri (Hifz al-Irdh), yang merupakan salah satu tujuan utama syariat (Maqasid Syariah).

Kebijakan conjugal visit atau kunjungan privat keluarga bukan konsep baru. Di tingkat global, praktik ini telah diterapkan di berbagai negara sebagai bagian dari sistem pemasyarakatan yang berorientasi pada rehabilitasi. 

Yang relevan, beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim, seperti Arab Saudi, telah lama menerapkan kunjungan suami-istri ini, didasarkan pada prinsip menjaga kehormatan (hifz al-'irdh) dan keutuhan rumah tangga sebagai bagian dari syariat.

Dalam perspektif fikih kontemporer, kebijakan seperti ini dapat dibenarkan melalui prinsip maslahah mursalah (kemaslahatan publik) karena bertujuan mewujudkan kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan syariat (menjaga kehormatan dan keutuhan keluarga), serta tidak bertentangan dengan dalil syar'i mana pun. 

Penerapan conjugal visit untuk menjaga kestabilan emosi narapidana, memperkuat ikatan keluarga, dan secara signifikan mengurangi risiko penyaluran seksual non-syar'i di Lapas.

Kehidupan di balik jeruji merupakan masa pembinaan, bukan penghancuran, maka sistem yang manusiawi akan membantu para narapidana menjaga fitrah, memperkuat taubat, dan mempersiapkan diri menjadi pribadi yang lebih baik setelah bebas.

Menjaga Martabat

Bagi mereka yang belum memiliki kesempatan seperti itu, Islam tetap memberikan jalan mulia, melalui sabar, puasa, zikir, dan memperbanyak amal. 

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Madarij as-Salikin menulis: “Barang siapa mampu menahan syahwatnya di saat tak ada yang melihat selain Allah, maka ia termasuk hamba yang benar dalam keimanannya.”

Menahan diri di tempat sepi ibarat jihad besar. Rindu yang dijaga menjadi pahala. Dorongan yang dikendalikan menjadi kehormatan. Dan, kesabaran di balik jeruji bisa menjadi jalan menuju surga.

Jadi dapat kita pahami, ujian syahwat bukan hanya milik penghuni penjara, namun bagi mereka yang hidup terpisah dari pasangan, ujian itu terasa lebih berat karena terputusnya ruang kebebasan yang halal. 

Di sinilah agama dan negara perlu hadir bersama. Agama memberi kekuatan batin, sementara negara memberi solusi kebijakan yang manusiawi. Pada akhirnya, pembinaan sejati bukan hanya memenjarakan tubuh, tetapi membebaskan jiwa dari dosa dan keputusasaan.

Editor: Sayed M. Husen

SHARE :

0 facebook:

 
Top