Oleh: Juariah Anzib, S.Ag
Penulis Buku Wakaf di Aceh, Tradisi, Inovasi dan Keberkahan
Kekayaan penopang kehidupan dunia, namun, ia akan menjadi sangat bermanfaat untuk kehidupan akhirat jika dipergunakan sesuai tuntunan syariat. Harta memang bukan tujuan utama dalam Islam, tetapi ia merupakan sarana penting yang dapat menunjang kesuksesan dan kebahagiaan hidup di akhirat. Tanpa harta, seseorang berpotensi menjadi beban bagi orang lain, padahal Islam secara tegas mengajarkan agar manusia tidak boleh hidup bergantung kepada sesama.
Islam tidak mentoleransi pengangguran dengan alasan semata-mata berkonsentrasi pada ibadah. Sikap demikian sama artinya dengan membiarkan dunia terbengkalai, padahal Allah Swt telah memerintahkan hamba-Nya bekerja dan berusaha di dalamnya. Upaya ini bagian integral demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, karena kehidupan di dunia penunjang bagi kehidupan di akhirat.
Larangan Meninggalkan Tanggung Jawab
Dalam Pengajian Muslimah di Dayah Darul Washilin Al-Amiriyah Lamtheun, Teungku Syaikh Mukhtaruddin menyampaikan, seseorang yang meninggalkan keluarganya dengan dalih beribadah sangat dilarang, bahkan ia mewajibkan agar orang tersebut lebih mengutamakan mencari harta dan tidak menjadi pengangguran. Menyengsarakan keluarga bentuk kedzaliman yang nyata.
Hal ini sejalan dengan perkataan Umar bin Khathab ra, "Jangan hanya berdoa, akan tetapi berusahalah." Islam mengajarkan bahwa menutup kefakiran dengan berusaha merupakan ibadah. Dalam konteks ini, mencari nafkah jauh lebih utama daripada melaksanakan ibadah sunah.
Pengecualian Bagi Pencari Nafkah
Imam Al-Ghazali merinci empat kategori laki-laki yang diizinkan meninggalkan aktivitas mencari nafkah secara langsung, asalkan nafkah keluarganya sudah terjamin:
Pertama, seorang 'abid (ahli ibadah) yang memiliki aset berharga (seperti toko sewaan, rumah kontrakan, atau aset lainnya) yang secara jelas dan berkelanjutan menjamin nafkah untuk keluarganya. Ia boleh tidak bekerja karena jaminan nafkahnya sudah pasti.
Kedua, seorang Laki-laki Sufi yang memiliki harta yang banyak dan mampu menjamin nafkah keluarganya tanpa menyusahkan mereka. Ia boleh menyibukkan diri dengan ilmu hakikat atau thariqat, asalkan tanggungannya tidak menjadi beban bagi orang lain, sebab membiarkan hal itu terjadi adalah kedzaliman.
Ketiga, seorang 'alim (ilmuwan/ulama) yang perlu melakukan pengajaran atau penelitian secara berkesinambungan dan mendatangkan manfaat bagi orang banyak, namun ia tetap harus mengutamakan tanggung jawab keluarga. Ia tidak boleh meninggalkan kewajiban ini sebelum ada jaminan nafkah yang pasti. Mengabaikan kewajiban dengan menelantarkan mereka demi berharap disantuni orang lain merupakan kesalahan besar.
Keempat, seorang Pemimpin yang bekerja untuk kemaslahatan umat sehingga menyebabkannya tidak sempat mencari nafkah. Ia boleh tidak bekerja asalkan ada pihak yang menanggung biaya hidup keluarganya. Kesibukan mengurus umat bukan berarti boleh mengabaikan tanggung jawabnya sebagai penanggung nafkah. Jaminan nafkah ini bisa bersumber dari aset pribadi maupun pemerintah/negara. Jika amanah tersebut sudah terjamin, barulah ia boleh fokus mengurus umat tanpa mengabaikan keluarga.
Mulianya Tangan Pencari Nafkah
Sementara itu, pada Pengajian Muslimah Mingguan di Dayah Thalibul Huda Bayu, Abi Hasbi Al-Bayuni juga menguatkan materi tentang kewajiban memberi nafkah. Rasulullah saw bersabda, "Ada sebagian dosa yang tidak terampuni kecuali dengan lelahnya mencari nafkah."
Begitu mulianya tangan pencari nafkah, hingga saat bertemu dengan seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai pemecah batu, beliau mencium tangannya, bahkan orang yang bersungguh-sungguh mencari nafkah akan diberikan pahala syuhada. Nabi saw sangat memuliakan mereka yang berjuang keras mencari nafkah, bersabar, dan tidak menempuh jalan haram demi menyelamatkan keluarganya dari murka Allah.
Dalam suatu majelis, Rasulullah saw juga menyampaikan perbandingan pahala: satu dinar yang dinafkahkan dalam peperangan, satu dinar untuk memerdekakan hamba sahaya, satu dinar untuk sedekah fakir miskin, dan satu dinar untuk menafkahi keluarga. Ketika para sahabat bertanya, "Manakah di antaranya yang paling utama dan lebih besar pahalanya, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menafkahi keluarga." Seorang penanggung nafkah tidak boleh mengenyangkan dirinya sendiri sebelum keluarganya, apalagi memberikannya kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat.
Mencari Nafkah Halal
Dari pembahasan ini, dapat kita pahami betapa besar tanggung jawab dan kemuliaan seorang laki-laki dalam menafkahi keluarganya. Nafkah wajib dicari dengan cara yang halal agar mengandung keberkahan.
Keberkahan ini tecermin dalam banyak aspek: kebahagiaan dunia akhirat, anak-anak yang tumbuh menjadi generasi salih/salihah, kedamaian dalam rumah tangga, pakaian yang dipakai untuk beribadah, kesehatan, dan sebagainya. Sesuatu yang mendatangkan kebaikan dan manfaat untuk dunia dan akhirat, itulah tanda dari nafkah yang penuh berkah.

0 facebook:
Post a Comment