Oleh: Rafiqa Maulidya  


lamurionline.com -- Selama ini, banyak orang memandang pustakawan hanya sebagai penjaga buku di perpustakaan seseorang yang tugasnya sekadar menata, mencatat, dan meminjamkan koleksi kepada pengunjung. Pandangan ini sudah saatnya kita ubah. Di era digital yang serba cepat, pustakawan bukan lagi sekadar “penjaga buku”, tetapi arsitek pengetahuan yang berperan penting dalam mengelola, menyeleksi, dan menyebarkan informasi secara bijak.

Perpustakaan kini bukan lagi ruang sunyi yang dipenuhi rak buku. Ia telah bertransformasi menjadi pusat literasi informasi tempat di mana masyarakat dapat belajar, berdiskusi, berinovasi, dan mengembangkan gagasan. Dalam perubahan ini, pustakawan menempati posisi sentral. Mereka tidak hanya dituntut memahami sistem katalogisasi, tetapi juga menguasai teknologi informasi, media digital, hingga pengelolaan data. Dengan kemampuan tersebut, pustakawan berperan sebagai penghubung antara pengetahuan dan masyarakat.

Sebagai arsitek pengetahuan, pustakawan merancang bagaimana informasi dapat diakses dengan mudah, akurat, dan relevan. Mereka tidak hanya mengatur koleksi, tetapi juga menyusun alur pengetahuan agar pengguna dapat menemukan sumber informasi yang tepat. Misalnya, ketika mahasiswa mencari referensi penelitian, pustakawan membantu menelusuri basis data, mengenali sumber tepercaya, dan memberikan pelatihan tentang literasi informasi. Dalam hal ini, pustakawan menjadi pendidik informasi yang menumbuhkan kemampuan berpikir kritis di tengah banjir data digital.

Namun, menjadi pustakawan masa kini bukan tanpa tantangan. Perkembangan teknologi yang pesat menuntut mereka untuk terus belajar dan beradaptasi. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) dan mesin pencari canggih memang mempermudah pencarian informasi, tetapi tidak dapat menggantikan kemampuan analisis manusia dalam menilai kebenaran, relevansi, dan konteks suatu informasi. Disinilah peran pustakawan menjadi sangat vital mereka membantu masyarakat membedakan antara informasi yang valid dan yang menyesatkan.

Sayangnya, profesi pustakawan masih sering dipandang sebelah mata. Padahal, tanpa pustakawan yang kompeten, perpustakaan hanya akan menjadi gudang buku tanpa arah. Karena itu, perlu ada pengakuan dan apresiasi yang lebih besar terhadap profesi ini mulai dari peningkatan pelatihan, penyediaan fasilitas kerja yang memadai, hingga kebijakan yang mendukung pengembangan sumber daya pustakawan.

Sebagai mahasiswa, kita perlu melihat pustakawan bukan sekadar orang yang bekerja di balik meja, tetapi sebagai motor penggerak literasi dan penjaga intelektualitas bangsa. Mereka adalah sosok yang memastikan setiap generasi memiliki akses terhadap pengetahuan yang benar, teruji, dan bermutu.

Maka, sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap pustakawan. Mereka bukan lagi “penjaga rak buku”, tetapi arsitek pengetahuan yang membangun fondasi intelektual masyarakat modern. Tanpa mereka, literasi hanya akan menjadi slogan, bukan gerakan nyata.

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Email: rapikamaulidya@gmail.com | No. HP: 082369447521

 

SHARE :

0 facebook:

 
Top