lamurionline.com, Lebih dari setengah bulan pascabencana, rakyat Aceh masih berjuang untuk sekadar makan dan bertahan hidup. Banyak wilayah terdampak belum pulih, bantuan belum merata, obat-obatan masih langka, dan layanan dasar berjalan tersendat. Namun di hadapan publik nasional, negara seolah ingin mengatakan bahwa semuanya terkendali. Inilah ironi paling menyakitkan dari sebuah kekuasaan yang sibuk menjaga citra, tetapi gagal menjaga rakyatnya.
Sebagai akademisi ilmu politik dan ilmu sosial, saya harus menyatakan dengan tegas: Aceh hari ini bukan hanya korban bencana alam, tetapi juga korban kegagalan tata kelola negara. Negara terlihat hadir dalam pernyataan, tetapi absen dalam kenyataan.
Lebih menyedihkan lagi, muncul kesan kuat bahwa kondisi Aceh sedang ditutup-tutupi. Bantuan dari luar dipersulit, akses di bandara diperketat, dan solidaritas sipil dibatasi atas nama koordinasi. Padahal, rakyat masih lapar. Dalam logika kebencanaan modern, tindakan semacam ini bukan kehati-hatian, melainkan ketakutan negara kehilangan kendali narasi.
Pernyataan Presiden bahwa “tidak ada tongkat Nabi Musa” terdengar sangat problematik. Kalimat ini mungkin dimaksudkan untuk menurunkan ekspektasi, tetapi bagi korban bencana, itu terdengar seperti alibi atas ketidakmampuan. Rakyat tidak meminta mukjizat, Pak Presiden. Rakyat hanya meminta negara tidak mempersulit orang-orang yang ingin menolong.
Lebih ironis lagi, di tengah pidato keras tentang pemberantasan korupsi, izin penebangan hutan lindung tetap diberikan kepada pengusaha. Negara tegas kepada rakyat kecil, tetapi permisif terhadap modal. Inilah wajah politik lingkungan kita: bencana dibiarkan lahir, lalu penderitaannya diserahkan kembali kepada rakyat.
Pertanyaannya sederhana namun menyakitkan: konsep apa yang sebenarnya dimiliki pemerintah untuk korban bencana di Sumatra, khususnya Aceh? Jika negara merasa sanggup, mengapa rakyat masih lapar? Jika negara tidak sanggup, mengapa bantuan dari luar dipersulit?
Pak Presiden, rakyat Aceh dikenal sabar. Namun dalam teori politik mana pun, kesabaran rakyat bukan tanpa batas. Kesabaran yang terus diuji tanpa keadilan hanya akan melahirkan kemarahan yang sah secara moral.
Jika tidak sanggup, katakan tidak sanggup. Jangan berpura-pura mampu sambil membiarkan rakyat bertahan dengan perut kosong. Aceh memiliki akses dan solidaritas global jangan ditutup, jangan dipersulit, dan jangan dikorbankan demi citra kekuasaan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

0 facebook:
Post a Comment