Oleh: Tgk Rasyidi

Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Aceh perlahan mulai surut. Air kembali ke sungai, lumpur dibersihkan, dan aktivitas masyarakat mulai berjalan. Namun di balik itu semua, muncul sebuah pertanyaan yang lebih dalam dan menyentuh hati: apakah kita juga sedang membersihkan dosa, atau hanya membersihkan halaman rumah?

Sejarah Islam mengajarkan bahwa bala dan musibah tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu hadir membawa pesan. Allah Ta‘ala berfirman:

 “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”

(QS. Asy-Syura: 30)

Dalam Bala Ada Maksiat yang Dilalaikan

Para ulama menjelaskan bahwa musibah bisa datang:

Sebagai peringatan

Sebagai ujian

Atau sebagai akibat dari kemaksiatan yang dibiarkan

Ironisnya, setelah banjir ini:

Masih ada yang meninggalkan shalat

Aurat kembali dibuka seolah tanpa rasa malu

Warung kopi dan kafe kembali ramai hingga lalai waktu shalat

Pengajian dan masjid justru terlihat sepi

Air sudah naik sampai dada, bahkan sampai setinggi tiang listrik,

tetapi hati belum juga tunduk kepada Allah.

Masjid Sepi, Kafe Penuh: Ada Apa dengan Hati Kita?

Fenomena ini menjadi kegelisahan banyak tokoh agama.

Di satu sisi, masyarakat mengeluh:

 “Mengapa banjir sering datang?”

Namun di sisi lain:

Azan berkumandang, tidak disambut

Waktu shalat lewat begitu saja

Meja kopi lebih dirindukan daripada sajadah

Allah telah mengingatkan dengan jelas:

 “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah?”

(QS. Al-Hadid: 16)

Banjir seharusnya mendekatkan manusia ke masjid,

bukan mengembalikannya ke kelalaian lama.

Belajar dari Nabi Nuh: Bencana dan Ketaatan

Dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihis salam, banjir besar tidak datang tiba-tiba. Ia didahului oleh:

Kemaksiatan yang dianggap biasa

Nasehat yang diolok-olok

Ibadah yang ditinggalkan

Namun perbedaan besar antara kaum Nabi Nuh dan kita hari ini adalah:

mereka binasa tanpa sempat kembali, sementara kita masih diberi waktu.

Pertanyaannya:

 Apakah kita ingin belajar sebelum terlambat, atau menunggu peringatan berikutnya?

Banjir Bukan Akhir, Tapi Awal Introspeksi

Para ulama selalu mengingatkan:

“Jika Allah menurunkan musibah lalu manusia kembali kepada-Nya, maka itu rahmat.

Jika manusia tetap bermaksiat, maka musibah itu adalah peringatan yang belum dipahami.”

Aceh dikenal sebagai negeri syariat, negeri ulama, negeri masjid.

Maka sungguh menyedihkan jika setelah bencana:

Shalat tetap ditinggalkan

Aurat tetap dibuka

Maksiat kembali dianggap hiburan

Jangan Biarkan Air Naik Lagi untuk Mengingatkan Kita

Banjir sudah surut.

Pertanyaannya sekarang bukan tentang air,

tetapi tentang arah hidup.

Apakah kita kembali kepada Allah?

Atau hanya kembali ke kebiasaan lama?

 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

(QS. Ar-Ra’d: 11)

Jika masjid masih sepi dan kafe masih ramai saat azan berkumandang,

maka sesungguhnya yang perlu diselamatkan bukan lagi rumah, tetapi iman.

Semoga Allah melembutkan hati kita

sebelum peringatan berikutnya datang.

SHARE :

0 facebook:

 
Top