Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

“Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, dan memandang apa yang diinfakkannya (di jalan Allah) sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai jalan untuk (memperoleh) doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya; sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah: 99).

Ayat di atas bukan sekadar pernyataan teologis, melainkan sebuah prinsip sosial-ekonomi yang hidup. Ia menggambarkan sebuah siklus vertikal-horisontal: keimanan melahirkan infak, infak memperkuat keimanan dan mendekatkan diri kepada Allah, serta menjadi wasilah doa Rasul, yang pada akhirnya berujung pada rahmat Ilahi. Di Aceh, provinsi yang secara konstitusional menerapkan Syariat Islam, konsep ini tidak berhenti pada ranah personal, tetapi telah diinstitusionalisasi dan diuji dalam laboratorium sosial yang nyata. Infak, dalam praktiknya yang luas meliputi zakat, wakaf, sedekah, dan sumbangan social, ternyata membuktikan diri bukan sebagai beban, melainkan sebagai jalan menuju kesuksesan, baik secara spiritual maupun komunal.

Fondasi bagi Praktik Infak yang Terstruktur

Penerapan Syariat Islam di Aceh sejak 2001 melalui UU No. 44/1999 dan Qanun-Qanun turunannya telah menciptakan ekosistem yang unik. Keberadaan Wilayatul Hisbah (polisi syariat), Mahkamah Syar’iyah, dan peraturan-peraturan yang mendorong kehidupan Islami, menempatkan amal sosial seperti infak pada posisi yang sangat strategis dan terhormat. Ini bukan lagi sekadar anjuran, tetapi telah menjadi bagian dari budaya hukum dan sosial. 

Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Aceh menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam penghimpunan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Pada 2021 misalnya, penghimpunan ZIS di Aceh mencapai lebih dari Rp 200 miliar, angka yang terus meningkat rata-rata 10-15% per tahun dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini tidak lepas dari kesadaran kolektif yang dibangun melalui pendidikan syariat dan legitimasi kelembagaan.

Infak sebagai Penggerak Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan. Kesuksesan material dalam perspektif Islam bukanlah akumulasi kapital individualistik, tetapi pemerataan kemakmuran. Di sinilah infak berperan sebagai social equalizer dan mesin penggerak ekonomi mikro.

Dana Bergulir untuk UMKM: BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat lainnya di Aceh, seperti Rumah Zakat dan Dompet Dhuafa, aktif menyalurkan dana infak dan zakat sebagai modal usaha bagi mustahik (penerima). Program seperti Zakat Productive atau Economic Empowerment telah melahirkan ribuan wirausaha mikro. Data BAZNAS Aceh 2022 menunjukkan bahwa penyaluran dana untuk program ekonomi mencapai 30% dari total dana terdistribusi, dengan tingkat pengembalian (untuk program qardhul hasan/ pinjaman lunak) di atas 90%. Ini membuktikan bahwa infak yang dikelola profesional tidak habis dikonsumsi, tetapi berputar menciptakan siklus ekonomi baru.

Pendidikan dan Beasiswa: Infak telah menjadi tulang punggung pendidikan bagi anak-anak yatim dan dhuafa. Ribuan santri di dayah-dayah (pesantren) Aceh belajar dengan biaya dari infak masyarakat. Program beasiswa seperti “Beasiswa Yatim Dayah” yang didanai zakat dan infak telah melahirkan generasi baru yang berpendidikan agama dan umum. Hasilnya, Aceh memiliki salah satu angka partisipasi pendidikan agama tertinggi di Indonesia, yang berkontribusi pada pembangunan karakter dan mengurangi risiko kenakalan remaja.

Kesehatan dan Bantuan Sosial: Layanan kesehatan gratis atau murah melalui klinik dan rumah sakit wakaf (seperti Rumah Sakit Oman MD di Banda Aceh yang berbasis wakaf) merupakan buah dari pengelolaan infak dan wakaf yang masif. Ini meningkatkan produktivitas masyarakat karena akses kesehatan yang lebih baik.

Membangun Modal Sosial yang Kokoh

Kesuksesan sejati, dalam lensa Aceh yang bersyariat, mencakup kesalehan individual dan harmoni sosial. Infak adalah jembatan antara keduanya.

Memperkuat Solidaritas (Ukhuwah): Praktik infak yang massif memperkuat ikatan sosial antara yang kaya dan yang kurang mampu. Dalam konteks Aceh pasca-konflik dan tsunami, infak memainkan peran krusial dalam rekonsiliasi dan rehabilitasi. Budaya “meuseuraya” (gotong royong) yang sudah ada, dimaknai ulang dan diperkuat dengan semangat infak syar’i.

Membersihkan Harta dan Jiwa: Keyakinan bahwa dalam harta ada hak orang lain (QS. Adz-Dzariyat: 19) membuat infak dipandang sebagai proses pembersihan dan penyucian harta. Kesuksesan finansial dianggap tidak berkah jika tidak disertai dengan penyucian melalui infak. Pandangan ini meredam kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Mendapatkan “Doa Rasul” dan Kedamaian: Seperti dalam QS. At-Taubah: 99, infak dianggap sebagai jalan memperoleh doa kebaikan. Dalam praktiknya, ini diterjemahkan sebagai doa dari mustahik yang tulus, yang menciptakan atmosfer spiritual positif dalam komunitas. Perasaan berkontribusi bagi kemaslahatan bersama memberikan kedamaian batin (psychological well-being) yang merupakan indikator kesuksesan non-material.

Tantangan dan Optimisme Ke Depan

Tentu, penerapannya tidak tanpa tantangan. Masih ada kesenjangan antara potensi dan realisasi penghimpunan dana infak dan zakat. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan di beberapa lembaga amil masih perlu ditingkatkan untuk memelihara kepercayaan publik. Selain itu, perlu inovasi instrument keuangan syariah seperti wakaf uang dan wakaf produktif yang lebih masif.

Namun, optimisme tetap tinggi. Pemerintah Aceh, melalui Dinas Syariat Islam dan BAZNAS, terus mendorong digitalisasi pembayaran ZIS untuk memudahkan masyarakat. Edukasi tentang infak sebagai investasi akhirat yang berdampak dunia juga gencar dilakukan melalui khutbah dan media.

Dalam laboratorium sosial Aceh, ayat 99 Surat At-Taubah hidup dan bernafas. Infak telah membuktikan diri bukan sebagai tindakan karitatif yang pasif, melainkan sebagai instrumen aktif menuju kesuksesan multidimensi. Ia adalah jalan spiritual mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus jalan material membangun kemandirian ekonomi umat. Ia membersihkan harta individu sekaligus membersihkan lingkungan sosial dari kemiskinan dan ketergantungan.

Kesuksesan Aceh ke depan sangat bergantung pada kemampuannya mengoptimalkan potensi spiritual ini menjadi kekuatan ekonomi yang berkeadilan. Infak, yang dikelola dengan prinsip amanah, profesional, dan transparan dalam bingkai Syariat Islam, bukanlah jalan alternatif, melainkan jalan utama menuju kesuksesan sejati: masyarakat yang maju, berkeadilan, dan diridhai Allah Swt. Inilah hakikat “rahmat” yang dijanjikan dalam regulasi ilahiah tersebut, yang mulai diwujudkan dari bumi Serambi Mekkah untuk kesalehan dan kesejahteraan bersama.

SHARE :

0 facebook:

 
Top