Oleh : Baihaqi
Pada saat Rasulullah saw masih
berada di Mekkah bersama kaum
musyrikin, arah kiblat untuk shalat adalah
Baitul Maqdis di Palestina, tetapi setelah
beliau hijrah ke Madinah dan tinggal di
sana selama 16 tatau 17 bulan, barulah
turun perintah Allah untuk berpaling
kearah kiblat yang baru yakni ke Baitulah
(Ka'bah) di Masjidil Haram Mekkah.
Dalam Alquran, dijelaskan pada ayat
144 dari Surat al-Baqarah yang artinya :
“Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu
ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang
mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan”
Kiblat adalah segala sesuatu yang
ditempatkan di muka, atau sesuatu yang
kita menghadap kepada nya, jadi secara
harfiah kiblat mempunyai pengertian arah
ke mana orang menghadap. Oleh karena
itu Ka'bah disebut sebagai kiblat karena
menjadi arah yang kepada nya orang harus
menghadap dalam mengerjakan shalat.
Penentuan arah kiblat pada hakikatnya
adalah menentukan posisi Ka'bah dari
suatu tempat di permukaan bumi, atau
sebaliknya.
Pada zaman Nabi dahulu, penentuan
arah kiblat memang tidak menjadi
permasalahan, karena umat Islam masih
berada di sekitar Mekkah saja, sehingga
mudah untuk menghadap ke Ka'bah.
Namun untuk zaman sekarang, umat
Islam telah tersebar ke seluruh penjuru
dunia, sehingga menentukan arah kiblat
bagi orang yang jauh dari Ka'bah menjadi
hal yang penting untuk dibahas mengingat
menghadap ke arah kiblat, merupakan
salah satu syarat sahnya shalat.
Di Indonesia, masih banyak
ditemukan arah kiblat masjid yang belum
t e p a t . S a l a h s a t u f a k t o r y a n g
menyebabkan tidak tepatnya arah kiblat
adalah teori perhitungan dan metode
pengukuran arah kiblat yang digunakan
belum akurat. Banyak masjid kuno yang
arah kiblatnya ditemukan tidak tepat,
karena pada saat itu metode pengukuran
yang digunakan masih sederhana, serta
alat yang digunakan masih terbatas
sehingga hal demikian merupakan sebuah
kewajaran.
Secara historis cara penentuan arah
k i b l a t d i I n d o n e s i a m e n g a l a m i
perkembangan sesuai dengan kualitas
dan kapasitas intelektual di kalangan
kaum muslim. Perkembangan penentuan
arah kiblat ini dapat dilihat dari
perubahan besar dimasa K.H. Ahmad
Dahlan atau dilihat pula dari alat-alat
yang dipergunakan untuk mengukurnya,
seperti miqyas, tongkat istiwa', rubu'
mujayyab, kompas, dan theodolit. Selain
itu, sistim perhitungan yang dipergunakan
mengalami perkembangan pula, baik
mengenai data koordinat maupun
mengenai sistim ilmu ukurnya.
Perkembangan penentuan arah kiblat
ini dialami oleh kaum muslimin secara
antagonistis, artinya suatu kelompok
telah mengalami kemajuan jauh ke
depan sementara kelompok lainnya masih
mempergunakan sistim yang lama
Realitas empiris semacam ini
disebabkan beberapa faktor antara lain
adalah tingkat
pengetahuan
k a u m
muslimin yang
beragam.
Menghad
a p k e a r a h
kiblat menjadi
syarat sah bagi
u m a t I s l a m
yang hendak
m e n u n a i k a n
s h a l a t b a i k
shalat fardhu lima waktu sehari semalam
atau shalat-shalat sunat yang lain. Para
ulama sepakat bahwa menghadap kiblat
(istiqbal al-qiblah) wajib hukumnya bagi
orang yang shalat. Bagi orang yang dapat
melihat Ka'bah, arah kiblatnya adalah
bangunan Ka'bah ('ainul Ka'bah) itu
sendiri. Dalilnya firman Allah SWT
(artinya) : “Dan dari mana saja kamu
keluar, maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah :
149). Imam Qurthubi berkata,”Ayat ini
berlaku untuk orang yang melihat
Ka'bah.”. Imam Syafi'i berkata,”Orang
Mekkah yang dapat melihat Ka'bah, harus
tepat menghadap ke bangunan Ka'bah
('ainul bait).”
Sedangkan bagi orang yang tidak
dapat melihat bangunan Ka'bah ('ainul
ka'bah), yang wajib adalah menghadap ke
arah Ka'bah (jihatul Ka'bah).
Menentukan Arah kiblat sendiri
terdapat beberapa metode, salah satunya
yadalah dengan ilmu ukur segitiga bola
atau disebut juga dengan istilah
trigonometri bola (spherical trigonometri)
yang merupakan ilmu ukur sudut bidang
datar yang diaplikasikan pada permukaan
berbentuk bola yaitu bumi yang kita
tempati.
Ilmu ini pertama kali dikembangkan
para ilmuwan muslim dari Jazirah Arab
seperti Al Battani dan Al Khawarizmi dan
terus berkembang hingga kini menjadi
sebuah ilmu yang mendapat julukan
Geodesi. Segitiga bola menjadi ilmu
andalan tidak hanya untuk menghitung
arah kiblat bahkan termasuk jarak lurus
dua buah tempat di permukaan bumi.
Namun bukan berarti ilmu ini posisinya di
atas fiqh, keberadaan ilmu ini untuk
melengkapi supaya terjadi sinergitas
antara fiqh dan sains. Tidak mungkin sains
mengadili Al-Qur`an dan Hadits.
Namun bagi kita masyarakat awam,
cara yang paling sederhana dan akurat
adalah dengan
melihat posisi
matahari yang
a k a n b e r a d a
t e p a t d i a t a s
Kakbah, yaitu
pada tanggal 28
Mei pukul 16:18
W I B ( 0 9 : 1 8
GMT) dan pada
tanggal 16 Juli
pukul 16:27 WIB
( 0 9 : 2 7 G M T )
setiap tahunnya. Sedangkan selang
setengah tahun berikutnya posisi matahari
akan tepat membelakangi Kakbah yaitu
tepat pada tanggal 28 November pukul
21:09 WIB (04:09 GMT) dan pada
tanggal 16 Januari pukul 21:29 WIB
(04:29 GMT). Dengan kita melihat posisi
matahari tersebut, maka secara sederhana
kita akan bisa menentukan arah Kiblat dari
tempat kita berada secara tepat.
Penulis
adalah Aktivis Mesjid di Kecamatan
Sukamakmur, alumnus Jurusan Geografi
Alwashliyah Banda Aceh.