Lamurionline.com--BIREUEN — Berjuluk Kota Juang, Kabupaten Bireuen dikenal semasa agresi Belanda pertama dan kedua (1947-1948) dalam upaya mempertahankan RI dari penjajah. Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, Bireuen belum memiliki monumen sebagai Kota Juang.

Demikian diungkapkan Agus Irwanto, pemerhati budaya dan dosen di STIE Kebangsaan Bireuen, Rabu (9/10/2013). Kata Agus, sudah sepantasnya Monumen Kota Juang dibangun sebagai identitas kota perjuangan.

Ia mengurai, sejak 1945, Kota Bireuen dikenal sebagai pusat kemiliteran Aceh. Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Kolonel Hussein Joesoef berdudukan di Bireuen (Pendopo Bupati) sekarang. 

“Bahkan Bireuen pernah menjadi ibukota RI ketiga ketika jatuhnya Jogyakarta pada 1948. Sebagai referensi saya temukan, Presiden Soekarno hijrah dari ibukota RI kedua, yakni Yogyakarta ke Bireuen pada 18 Juni 1948. Selama seminggu Bireuen menjadi wilayahnya (Soekarno) mengendalikan Republik Indonesia dalam keadaan darurat,” jelas Agus. 

Julukan Kota Juang Bireuen dikukuhkan kembali oleh Letjen Purn Bustanil Arifin pada 1987. Acara itu dihadiri sejumlah tokoh, termasuk gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan. Beberapa tokoh pejuang dan alim ulama pun menjadi saksi pengukuhan kembali tersebut.

Agus menyebutkan, sesederhana apapun bentuknya, monumen selayaknya dibangun agar masyarakat umum tahu sejarah Kota Bireuen. “Apakah berupa monumen tank atau monumen pemancar Radio Rimba Raya yang pernah digunakan sebagai sarana perjungan,” jelas Agus.

Pemancangannya pun ia harapkan berada di seputaran Simpang IV Kota Bireuen yang menjadi lintasan jalan negara. 

Sumber: kompas.com
SHARE :
 
Top